Selasa, 09 September 2014

Merekam Samuel Beckett Dalam Suara Krapp [review]





Menampilkan Beckett adalah sebuah tantangan tersendiri bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pertunjukan drama. Tidak semua pelaku seni di bidang tersebut berani untuk menampilkan karya Beckett. Mereka yang berani pun belum tentu berhasil membawakan naskah Beckett dengan tetap memiliki jiwa Beckett. Samuel Beckett adalah penulis naskah yang tetap hidup  dalam karyanya meskipun raganya sudah tak ada. Seseorang yang berani membawakan naskahnya tapi tak bisa memahami ia, maka sebagian besar akan mengalami keadaan dimana orang tersebut tidak menyampaikan apa inti naskah tersebut. Pertunjukannya nanti pun akan terkesan membosankan karena Beckett memang senang bermain-main dengan kesunyian yang magis dalam semua naskahnya. Hampir setiap orang yang menonton ‘garapan’ yang berasal dari naskah Beckett (asli maupun saduran) selalu menanti-nantikan jiwa Beckett hadir disana. “Mana Beckett-nya?” kalimat itu adalah kalimat yang senantiasa akan selalu bergema dalam masing-masing hati dan pikiran penikmat maupun kritikus drama saat melihat pementasan yang mengangkat naskah Beckett. Ketika penonton tak bisa menemukan kesunyian Beckett yang magis, khusyuk, dan penuh arti tersebut, maka bisa jadi penonton hanya akan disuguhi keheningan yang kosong, dan membosankan. Apalagi bagi mereka yang ingin menonton untuk mendapatkan hiburan. Hiburan identik dengan hingar bingar, sedangkan Beckett jauh dari itu. Tak ada hingar bingar dalam naskah Beckett. Sebut saja ‘Menunggu Godot’. Apa yang dilakukan para aktornya? Menunggu. Ya, hanya menunggu, dan dalam waktu yang lama, lebih dari dua jam ketika naskah ini pertama kali ditampilkan. Lalu ‘hiburan’ macam apa yang diinginkan Beckett dari naskahnya? Disini bisa saya katakan Beckett mengajak kita untuk beramah tamah dengan keheningan, kesunyian, kesendirian, kesepian, dan mungkin juga kegelapan. Banyak orang yang mengatakan takut dengan kesendirian, kesepian, maupun kesunyian, tapi tak bisa dipungkiri mereka melekat dalam kehidupan kita. Beckett mengajak kita untuk mengakrabi mereka. Khusyuk menjalani setiap detail yang kita lakukan. Merenung, merenung, dan merenung, kediaman yang Beckett ciptakan membawa kita untuk merenung diantara kehidupan yang terus menderu dan semakin cepat saja tiap dekadenya.
Diantara banyak karya ‘hening’ Beckett, salah satunya adalah Krapps’s Last Tape atau yang diterjemahkan dengan bebas dalam Bahasa Indonesia menjadi Rekaman Terakhir Krapp. Krapp’s Last Tape adalah karya yang ditulis Beckett pada tahun 1958. Pada Oktober  tahun itu pula naskah ini pertama kali di pentaskan di Royal Court Theater London.
 Krapp’s Last Tape, sebuah naskah monolog yang menghadirkan cerita dari seorang bernama Krapp. Krapp’s Last Tape bukan satu-satunya naskah yang menghadirkan tokoh Krapp. Krapp juga hadir dalam naskah-naskah Beckett yang lain seperti End Game dengan masalah yang berbeda. Lagi-lagi dalam naskah ini Beckett menampilkan kepiawaiannya dalam menangkap fenomena absurditas.
Menonton Krapp? Silahkan saja. Kali ini, dalam Rekaman Terakhir Krapp, Beckett mengangkat kisah Krapp yang ‘gelap’ sampai akhir hayatnya. Krapp dalam cerita ini sudah berumur 69 tahun. Dalam usia tersebut temannya hanyalah kesepian dan keheningan. Krapp tua itu memiliki hobi yang unik, ia selalu bercerita dan ia merekamnya. Hal itu ia lakukan sejak dulu. Suatu hari ia mencari-cari sesuatu dalam laci mejanya. Ia menemukan pisang, makanan yang menjadi kegemarannya sejak dulu, ia berencana memakannya tapi diurungkan. Tiba-tiba ia mencari-cari sebuah gulungan rekamannya di masa lalu. Dengan susah payah akhirnya ia menemukannya.kemudian ia memutar pita tersebut dalam sebuah tape dan mendengarkannya melalui telinga yang sudah kehilangan sebagian daya dengarnya. Krapp mendengarkan rekaman yang ia buat 30 tahun yang lalu. Ia mendengarkan dengan saksama ceritanya pada saat itu. Tigapuluh tahun lalu adalah masa dimana ia merasa menjadi masa paling jaya dalam hidupnya. Dalam rekaman tersebut Krapp dewasa sedang mengomentari masa remaja Krapp. Ia bercerita tentang bagaimana Krapp remaja mengagumi seorang gadis bernama Bianca. Selanjutnya ia teringat tentang ibunya yang menemui ajal di rumah yang terletak diatas kanal. Saat itu ada satu gadis ‘gelap’ yang tinggal disekitar rumah itu dan juga ia kagumi, namun ia tak berani untuk berkenalan dengannya. Krapp dewasa menyumpahi hal yang terjadi pada Krapp remaja. Selanjutnya Krapp dewasa bercerita bahwa kemudian hidupnya menjadi penuh dengan bermain wanita. Selesai ia mendengarkan, Krapp tua mematikan tape dan memasang pita kosong. Krapp tua merekam dirinya. Ia menyumpahi lagi dirinya yang pernah menjadi sangat kelam tersebut. Krapp seolah-olah ingin melupakan masa kelam tersebut tapi ia sadar bahwa kelam selama ini telah bersamanya sampai hari itu. Ia sadar bahwa kegelapan selalu bersamanya hingga menjelang hari akhirnya.
Beckett menggiring emosi dan psikologi pembaca untuk mengikuti kemauan Krapp tua yang dihadirkan dengan sangat perlahan. Detail-detail keheningan yang diberikan Beckett sangat banyak dalam naskahnya. Begitupun ketika naskah ini ditampilkan. Pertunjukan akan menggiring penontonnya untuk masuk kedalam Krapp secara perlahan. Mencoba untuk memahami apa yang dilakukan Krapp dan ketika ada yang tak dipahami maka pertanyaan akan muncul. Munculnya pertanyaan tersebut nantinya akan menjadi hal yang baik karena penonton ikut terbawa arus perenungan Krapp atas hidup yang telah dijalaninya (mungkin penonton juga akan ikut merenungi hidupnya) dan membawa penonton untuk sama-sama menggali apa yang sedang dipikirkan oleh Krapp.
Apakah kita selalu bisa membaca pemikirannya? Dalam memproduksi karya pendek, Beckett melakukan pendekatan karakteristik teks yang diciptakan sendiri. Backett mencoba menggali unsur tematiknya dan hal itu juga bisa kita temui dalam Krapp. Memainkan Beckett sama halnya sedang melakukan kompromi dengannya. Sutradara memberikan penawaran-penawaran seperti aktor juga menunjukkan penawaran atas ciptaannya. Aktor sendiri perlu menerjemahkan kata-kata yang disampaikan oleh Beckett, kata-kata yang menjadi simbolisasi atas kekuasaan politik, budaya, dan moralitas. Aktor tidak hanya menampilkan ketepatan dan kecepatan dalam gerak tubuh, bisnis akting, dan pendekatan karakter akan tetapi juga dituntut untuk mengetahui apa yang menjadi motivasi dirinya bergerak. Gerakan yang dilakukan bukan semata-mata hanya improvisasi. Re-interpretasi diperlukan aktor karena aktor dituntut untuk mengetahui karakter tokoh pada teks berdasarkan pemaknaan dialog.
Pertunjukan ini memiliki sisi unik tersendiri yang sudah dimunculkan oleh Beckett yaitu dengan adanya alat elektronik yang dihadirkan hidup diatas panggung dan bukan sekedar sebagai properti  atau pendukung (Krapp mendengarkan pita rekamannya melalui tape). Hal ini menjadi istimewa karena apa yang ditampilkan aktor nantinya dan apa yang diputar melalui tape sama-sama harus memiliki karakter yang kuat. Emosi yang terjalin antara aktor yang memerankan Krapp dan Krapp dalam rekaman haruslah sinkron, saling mengisi, dan saling mendukung. Pemahaman secara utuh tentang Krapp dimasa remaja, dewasa, dan tua sangat dibutuhkan disini. Tantangan lainnya seperti naskah-naskah Beckett yang lain yaitu bagaimana agar penonton mampu bertahan dalam ‘kebosannnya’ menonton pertunjukan Beckett dan bagaimana cara memunculkan pertanyaan dalam diri penonton sebagai hasil merenung dan refleksi dalam dirinya.
Meskipun begitu, pertunjukan tetap boleh diragukan karena tak selalu memiliki makna tunggal. Interpretasi boleh meleset. Memainkan Beckett ibarat menembak target yang bergerak. Sesekali kena sayap, sesekali kena kaki, sesekali memecahkan kepala, dan kadang meremukkan ulu hati.

Bela Yusti Suryani
(Teater Mishbah)

Sabtu, 16 Agustus 2014

Lidah Ibu: Warung Kopi Citarasa Rumah [kuliner]

Salah satu sudut Lidah Ibu/ *dok. pribadi


Hallo man teman. Sambil nunggu bufferingan desain mending sambil nulis kali ya. Kayaknya enak nih review kuliner dikit. This time mau ngebahas tempat nongkrong yang cozy di Jogja nih, termasuk tempat dimana aku saat ini menulis.
Ya, empat tahun di Jogja akhirnya jadi latah juga ikut-ikutan hobi nongkrong. Buat para tersangka yang membuat aku jadi hobi nongkrong, tanggung jawab kalian! Hehe. Nongkrong nggak harus mahal, ya walaupun sekali-kali pernahlah nggak sengaja dapat tempat yang harganya diatas rata-rata. Hehe. Biasalah anak kos harus pintar-pintar cari tempat makan murah tapi enak. Jadi biasanya sebelum nongkrong tanya-tanya dulu ke teman yang pernah masuk ke tempat tersebut atau nyari-nyari info di Mbah Gugel.
Aku sendiri bisa nongkrong di tempat yang murah abis sampai yang 'lumayan' mahal. Burjoan-sering, angkringan-sering juga, cafe-pernah lah, warung kopi-sering dan jenis ini nih yang kadang menjebak, restoran mahal-iya, tapi ditraktir. Haha. Ya begitulah, ini nih konkrit tempat-tampatnya bakalan aku sebutin. Ada 4 warung burjo (yang nggak jual burjo) di sekitaran UNY, pokoknya di dekat FBS sama di karangmalang (tapi nggak apal namanya dan sering ngasih nama sendiri). Spesial Sambal, Warung Steak, Ngudi Rejeki, Ayam Penyet Suroboyo, Lesehan Aldan, Ayam Cobek Prabowo, Seafood Annisa dekat Sanata Dharma, Kedai Ngapak, Warung Inyong, Lumpia Boom (itu kategori tempat makan harga terjangkau yang bisa didatengin sama keluarga). Next Dixie pasta (itu isinya menu-menu barat semua). Sejenis warung kopi: Grisse (favorit aku, coklatnya mantap), Mato, Nagata, Cuppajjo, B'jong, Blandongan Kafe, Semesta, English coffe, Djendelo Koffie, Greek Coffe, dan ini tempat baru yang sedang aku 'jajal' Warung Kopi Lidah Ibu.

Warkop Lidah Ibu yang bakalan aku kupas sekarang, yang lain besok-besok ya. Hehe

Warkop Lidah Ibu ada di daerah dekat Sanata Dharma dan Atma Jaya. Kalau dilihat dari nama sih cocoknya jadi nama rumah makan keluarga gitu, eh tapi setelah sampai tempatnya ternyata warung kopi yang cozy juga buat nongkrong bebarengan ataupun yang pengen sendiri dan mengerjakan tugas atau juga buat yang ingin berdua-duaan. Nggak terlalu gede dan hanya ada beberapa set bangku (mungkin 15 set), mungkin itu yang membuat Lidah Ibu nggak terlalu crowded jadi walaupun kita datang sendirian tempatnya nggak terlalu 'horor', dan kalau kita ngerjain tugas tetap masih nyaman. Disambut cahaya neon yang remang-remang, pagar bambu dan dua set kursi kayu bercat putih. Simple but sweet. Masuk ke dalam ada kursi-kursi bambu yang enank buat teman-teman yang datang rombongan. Tempatnya fresh, banyak angin mengalir. Pertama masuk juga disambut kata-kata yang unik di black board mini yang ditaruh di tengah pintu masuk. Dari tatanan tempat pokoknya cozy buat segala tujuan. Selain itu ada juga book corner disana yang bisa dipinjam dan dibaca-baca.

Menu Lidah Ibu lumayan variatif, dari cemilan sampai makanan berat, dan minumnya lumayan lengkap lah. Makanan berat ada nasi goreng, penyetan, dan mie. Cemilannya ada pisang (goreng-bakar), roti bakar, kentang goreng-terong goreng. Minumnya ada kopi, teh, susu, coklat, dan beberapa lainnya. Harganya terjangkau, ada di kisaran 4,5ribu sampai 15ribu. Buka dari jam 15.00-01.00.

Rasa dari menunya buat aku termasuk kategori enak. Kalau dinilai dari 10-100, aku kasih nilai 89. Why? Awalnya mau ngasih nilai 90 dari menu yang tersaji di atas meja. Hari ini aku memesan menu terong krispi, cokelat panas, dan mie goreng, sedangkan temanku cukup dengan nasi goreng ayam dan et tehnya. Terong krispinya paling lezat diantara terong krispi yang pernah aku coba sebelum-sebelumnya, mie goreng sama nasi goreng rasanya hampir sama dan enak, tehnya benar-benar rasa teh (bukan air gula kaya di tempat makan kebanyakan), tapi sayangnya cokelat panasnya masih belum bisa ngalahin cokelat panas Grisse. Maklum, aku lagi doyan banget sama cokelat panas, jadi dimanapun tempat yang menyediakan cokelat panas pasti aku coba. Walhasil tetap Grisse juaranya (juara 2 sih sebenarnya, katanya di Legend cafe lebih enak, tapi belum nyoba). Cokelat panas di Lidah Ibu terlalu encer dan rasanya menurutku hampir sama kaya Delfi Hot Chocolate sachet.

Yah mungkin itu dulu. Semoga menambah referensi kuliner dan tempat nongkrong di Jogja :)
I recomended it!
Binyang 4,5
Oh iya, Tempatnya Free Wifi lho :D

Senin, 11 Agustus 2014

Tahun kedua tentangmu [a chapter]


Aku bukan tak tahu tahu kemana alamat rindu ini

Aku tahu persis kemana tujuannya

Tak berubah, tetap sama dengan saat itu
Meskipun kadang terbawa angin kedalam pusaran badai atau melintasi gurun, namun ia tetap kembali pada arah tujuannya
Hanya saja sekarang aku takut untuk menerbangkannya
Sayapnya terluka dalam penantian yang sia-sia
Kini aku tak mungkin menyembuhkan semua luka itu agar rinduku tak lagi berusaha terbang kembali menemuimu
Tidak, setelah jatuh bangun ia mengendalikan diri agar tak meledak dan membuatku gila



*)12 Agustus 2014
Tahun kedua tentangmu

Minggu, 10 Agustus 2014

Buku ke-3 Siklus Warisan Eragon: Brisingr [Review]

Setelah lama tidak menulis, penyakitnya pasti selalu banyak hal menumpuk yang ingin dituliskan. Heh, baiklah. Pelan-pelan dan satu persatu dulu :)

Kali ini tentang satu novel fantasi yang baru saja aku selesaikan :)

BRISINGR!



Ya, buku ketiga dati siklus empat warisan Eragon. Bisa dibilang aku sudah agak lupa bagaiman detailnya buku pertama dan kedua (Eragon dan Eldest) karena sudah lebih dari tiga tahun lalu aku membacanya dari buku pinjaman dan tak bisa membaca ulang. Peminat Eragon memang tak sebanyak peminat Harry Potter. Tapi untukku novel ini tetaplah menjadi novel fantasi yang harus aku khatamkan membacanya. Hehe. Brisingr yang aku beli ini merupakan buku cetakan keempat, dicetak pada tahun 2012 (dan aku baru memberinya di tahun 2014). Aku memutuskan membeli karena tidak ada teman yang memiliki buku ini, jadilah aku harus membelinya sendiri. Setelah sekian lama akhirnya aku mampu membeli kelanjutan novel yang aku baca itu dengan susah payah menabung, menyisihkan uang disela-sela kebutuhan kuliah dan dengan semangat mengoleksi novel :)


Setelah sekian lama banyak hal yang tak bisa kuingat dalam dua buku sebelumnya, tapi pada ininya aku masih ingat bahwa Eragon dan Saphira akhirnya melawan saudaranya sendiri yaitu Murtagh dan Si Naga Merah Thorn. Dalam Brisingr diceritakan bagaimana kelanjutan kaum Varden dan Eragon serta seluruh penduduk Alagaesia berjuang. Kaum Varden kini dipimpin Nasuada karena Ajihad, ayahnya telah tewas terbunuh.Dengan kemampuan yang dimilikinya Nasuada berusaha untuk memimpin Varden seperti ketika ayahnya memimpin. Nasuada dibantu oleh Jordmund, penasehatnya dan Raja Orin dari Sudra. Di buku ke tiga ini Eragon juga memiliki misi khusus di tengah-tengah kaum kurcaci untuk mempercepat pemilihan raja baru mereka (raja lama juga tewas di pertempuran Farthen Dur) dan memastikan keberpihakan kaum kurcaci untuk Varden melawan Gallbatorix. Selain itu di tanah kamu kurcaci, Saphira juga berusaha untuk menepati janjinya memperbaiki Isidhar Mithrim, Bintang Mawar kebanggaan kaum kurcaci yang hancur saat pertempuran melawan para urgal dan tentara Gallbatorix.

Kini kaum Urgal sudah berjuang bersama kaum Varden, Ratu Elf Islanzadi sedang pergi ke sebuah tempat untuk juga mencari cara menghancurkan Gallbatorix, dan Eragon berjuang mendapatkan dukungan dari kaum Kurcaci. Sebelum itu Eragon dan Roran juga berada dalam sebuah perjalanan mengerikan menuju Helgrind untuk menyelamat Katrina (dan Sloan, namun akhirnya disembunyikan Eragon di du Welden Varden sehingga Katrina dan Roran mengira Sloan sudah meninggal). Eragon akhirnya sukses mendapatkan dukungan kaum Kurcaci dan Orik (saudara angkatnya) yang kemudian menjadi Raja kaum Kurcaci, Saphira berhasil memperbaiki Isidar Mithrim, Roran berhasil membuktikan kehebatannya memimpin kaum Varden untuk bergerilya melawan tentara Galbatorix, dan Arya selalu membantu Eragon. Dalam buku ini muncul 12 Elf (dipimpin Bloodghram) yang dikirimkan Islanzadi untuk membantu Eragon. Selain itu Eragon juga memaksa Nasuada untuk mengizinkannya ke du Weldenvarden untuk menuntaskan belajarnya dengan Oromis dan Glaedr. Di du Weldenvarden akhirnya Eragon memiliki pedang penunggang lagi setelah Zar'roc dirampas Murtagh. Pedang baru Eragon ia beri nama Brisingr (api-dalam bahasa kuno). Brisingr memiliki keunikan sendiri. Dalam prosesnya Rhunon (penempa pedang penunggang terbaik dari kaum Elf) yang sudah berjanji tidak akan menempa pedang lagi akhirnya mengerjakan pedang tersebut menggunakan badan Eragon yang pikirannya dikendalikan olehnya. Setelah jadi setiap Eragon menyebutkan nama pedang itu-tanpa bermaksud mengeluarkan sihir- selalu keluar kilatan api biru dari Brisingr. Itulah keistimewaan dari pedang Eragon yang kini berwarna biru, sama seperti sisik Saphira.



Akhir dari buku tersebut adalah Oromis dan Glaedr keluar dari persembunyiannya untuk melawan langsung Gallbatorix karena merasa Eragon telah cukup mendapatkan ilmunya dan setelah mewarisi Eldunari -jantund dari jantung- milik Glaedr yang memiliki banyak memoro dan pengalaman Oromis dan Glaedr. Selama Eragon membantu kaum Varden menyerang Feinster yang semula telah diduduki tentara Gallbatorix, Oromis melawan Murtagh di Urubaen. Gallbatorix hadir melalui raga Murtagh melawan Oromis dan akhirnya Oromis dan Glaedr tewas.

Itulah akhir dari buku ketiga ini. Buku setebal 850 halaman ini menyajikan 'kegelapan' yang semakin dirasakan di Alagaesia. Semua ras merasakan kekejaman Gallbatorix. Akan tetapi selama aku membaca 850 halaman ini,alur yang terjadi terlalu monoton. Semua terkesan teknis dan perdebatan-perdebatan menjemukan dalam peperangan. Strategi yang juga terlalu teknis namun masih kurang motivasi dan alasan dibalik tindakan yang terjadi. Suspend konflik yang ada tidak se-tarik-ulur buku-buku sebelumnya. Barulah pada halaman 689 akhirnya aku bisa mendadak berhenti membaca dan benar-benar terbawa masuk dalam diri Eragon. Saat akhirnya Eragon tahu bahwa ayahnya adalah, BROM. Ada perasaan bahagia dan lega yang ikut mengalir mengetahui 'kenyataan' itu. Beberapa saat aku menikmati keadaan lega dan bahagia tersebut sebelum akhirnya aku membaca lagi. Ya, buku ini tetap harus ada walaupun suspend dalam bukit-bukit konfliknya masih kekurangan tegangan. Selain itu satu lagi kelemahan buku ini (terjemahan Indonesia cetakan ke-4 dari penerbit Gramedia) adalah masih adanya beberapa kata yang miss dalam kegiatan editting sehingga agak mengganggu ketika membaca.



Ya itulah tadi Brisingr, buku ke-3 dari Siklus Warisan. Mengenai ketenaran Eragon dibandingkan Harry Potter (karena ini novel fantasi yang aku rasa penggemarnya melebihi novel fantasi manapun), sangat sulit untuk dibandingkan. JK Rowling memang membuat Harry Potter sebagai cerita dongeng anak-anak sehingga siapapun akan menyukainya. Sedangkan Eragon, aku rasa bukan buku dongeng anak-anak karena banyak ceritanya yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam membacanya dan menganalisis kejadiannya.


Berharap setelah ini bisa memiliki dna membaca Inheritance, dan, sangat berharap novel ini difilmkan lagi. Aku tetap menikmatinya. :)

-B-


*) Semua foto berasal dari Google

Jumat, 11 Juli 2014

Tentang Mata [Chapter-Puisi]


Tentang Mata




Aku tak sanggup menatap matanya, meski aku sudah mencoba berkali-kali. Mata itu bukan mata dewa, bukan juga mata malaikat.
Mata itu milik manusia biasa, tapi memberikan efek yang tak pernah biasa.
Mata itu, mata yang setajam mata pisau, mata yang keberadaannya mampu menancapkan bilah-bilah pedih dan dingin. Namun mata itu juga, mata yang seolah selalu meminta sesuatu, seperti mata kucing yang meminta belaian manja majikannya.
Sekali saja aku berani menatapnya, berbagai rasa akan menyerang jantungku sehingga ia berdetak tak beraturan dan seperti ditimpa ribuan jarum. Sebuah kombinasi nyeri yang aneh. Sakit namun ada sesuatu lain yang tak mampu membendung puncak pipi untuk merona kemerahan. Dan selalu, aku tak sanggup untuk menanggung rasa nyeri yang aneh itu.
Matanya, aku tak pernah bisa menatap matanya atau aku akan mati jika berani menatapnya. Karena nyeri itu bagai meracuni seluruh tubuhku, aku akan gemetar, dan jantung yang berdetak semakin dan semakin cepat seolah bisa meledakkannya.

Kamu, wahai pemilik mata itu. Adakah penawar untuk nyeri yang hebat ini? Tolong berikan. Agar aku hidup normal. Agar aku tak ketakutan dibawah pandangan matamu. Kamu yang memiliki mata bak mata panah Dananjaya, berikanlah penawar agar mencintaimu ataupun melepasmu tak akan mendatangkan kesakitan pada jantung ini.

Kamu wahai pemilik mata yang menandingi tajamnya mata dewa, aku lelah untuk selalu berjalan menunduk karena tak mampu menanggung pancaran matamu. Tak mampu tak menanggungnya tanpa harus menggigil hebat dan mati berhari-hari, karena matamu menyerap segalanya yang dipunyai jantung ini.

Kamu pemilik mata itu. Bisakah kau hentikan arus kenangan yang mengalir setiap ku menatap matamu? Karenanya bisa menyeretku dan menenggelamkanku pada lautan keputusasaan karena tak mampu melepaskan setiap inchi memori tentangmu.

Kamu, aku mohon dengan sangat. Lepaskan aku dari hukuman karena aku yang telah memilih laku untuk mencintaimu.

Jumat, 04 Juli 2014

11 Buku GagasMedia yang Wajib Dibaca

Hallo gengs pecinta buku? Sudah kehabisan bahan bacaan? Itu adalah hal yang menakutkan untuk para pecinta buku, karena kadang biasanya aku merasa seperti itu. Merasa sedih dan enggan berpisah saat buku yang kita baca sudah di lembar-lebar terakhir.
Okay, kali ini aku akan memberikan sedikit rekomendasi tentang buku yang bisa teman-teman baca. Sebagian sudah aku baca dan sebagian masih jadi wishlist. Jujur, aku tidak mudah tertarik dengan buku pop yang kadang ceritanya bisa ditebak (untuk genre fiksi). Bisa dibilang aku 'pilih-pilih' buku yang menurutku buku itu beda, asik, dan mengandung ilmu :). Buku yang akan aku rekomendasikan ini semuanya dari penerbit GAGAS MEDIA yang hari ini sedang berulangtahun yang ke-11. By the way, Happy Bornday :). Kenapa GagasMedia? Karena entah kenapa buku-buku mereka itu unik dan menarik. Dari covernya aja banyak yang langsung memikat hati.

Oke, nggak usah lama-lama. Inilah 11 Buku GagasMedia yang WAJIB teman-teman baca (nggak semua novel, tapi recomended):

1. Life Travelers-Windy Ariestanty
Ini buku kumpulan cerita yang membuat aku jatuh cinta pada Gagas dan membuatku terus memantau tentang Gagas. Buku ini berisi kumpulan cerita Windy Ariestanty melakukan travelling ke berbagai negara. Aku suka banget gaya tulisan mbak Windy, dan selalu saja ceritanya nancep dihati. Begitu pun tulisan-tulisan dia di blognya. Buku ini membuat aku jatuh cinta pada Mbak W.


2. Kala-Kali-Windy Ariestanty ft Vabyo
Buku dari Mbak W lagi, tapi featuring Vabyo untuk kali ini. Buku ini sampai mati-matian aku nyarinya karena waktu itu udah nggak ada di toko buku biasa tempat aku beli. Namanya juga udah jatuh cinta, aku kejarlah buku Mbak W ini :) Ini proyek duet Gagas. Isinya 2 cerita. Dan aku sukak banget :)



3. Hallo, Aku dalam Novel-Nuril Basri
Next, ini sebenarnya buku Gagas yang aku baca pertama kali. Aku baca pas SMA. Gambling banget pas beli buku ini. Tapi setelah aku baca, nggak nyesel deh. Ceritanya emang rada abstrak-absurd gimana gitu. Tapi aku suka cara Bang Nuril bercerita :)


4. Refrain-Winna Efendi
Buku angkatan Hallo, Aku dalam Novel yang bikin ngiler sampai sekarang karena belum kesampaian beli. Apa yang membuat aku suka? Covernya. Haha. Amplop biru dan hanya bertuliskan Refrain. Entah kenapa itu menarik banget buat aku. Dari SMA aku pengin novel ini, eh, sampai filnya udah dibuat belum juga kesampaian beli.


5. Kau-Sylvia L. Namira
Ini ceritanya tentang gadis yang unik banget. Dia 'ngeramal' (baca tanda-tanda alam) dengan melihat bentuk-bentuk awan diatas sana. Aneh kan? Makannya baca :)


6. Creative Writing-A.S. Laksana
Ini buku wajib abnget dibaca buat yang pengin belajar nulis. Sumpah asik ngikutin caranya.


7. Draft 1: Taktik Menulis Fiksi-Winna Efendi
Ini juga buat yang pengin belajar nulis. Sayangnya masih masuk wishlist juga karena belum kebeli :(


8. Paris-Prisca Primasari
Ini juga wishlist yang recomended. Kenapa? Karena aku mimpi bisa ke PARIS dan selalu tertarik dengan buku berembel-embel Paris. Hehe


9. Restart-Nina Ardianti
Ini buku belum aku baca. Tapi aku dan teman-teman sempat membuat aransemen lagu dari salah satu lirik di dalamnya. Kebetulan tugas aku itu nerjemahin liriknya karena pakai bahasa Inggris. Dan saat aku nerjemahin itu, beuh, dalem banget liriknya. Baca review teman-teman tentang buku ini juga menarik.


10. Lampau-Sandi Firly
Ini, buku ini darinsetting tempatnya aja udah nggak biasa. Hawa spirit tradisi kental di novel ini. Buku ini termasuk rekomendasi dari mb W juga di blognya :)



11. The Journeys 1-3
Kenapa buku jalan-jalan? Karena jadi traveler itu asik. Ini juga karena aku pengin backpackeran. Makanya buku tentang perjalanan seperti ini aku suka.




Ok, that's my recomendation book. Semoga bermanfaat :)

Rabu, 02 Juli 2014

Berlayar [a chapter]

doc. pribadi


Kau angkat sauh kehidupanmu. Melanjutkan apa yang pernah tertambat dan tak bergerak. Kau, pada akhirnya menyadari, berdiam adalah suatu bahaya. Berdiam adalah malapetaka.Berdiam adalah keengganan menemukan petualangan-petualangan baru.

Kau kembangkan layar, bersiap, berdoa. Pantaimu hanya sementara sebelum badai memporak-porandakannya. Kau angkat sauhmu, kau kembangkan layar. Bersama ombak yang abadi kau bergelombang dengannya.

"Kau pernah berlabuh tanpa permisi. Aku tahu. Aku tahu hari ini pasti ada. Kau akan pergi."

"Maaf,"

"Tak perlu kau ucapkan maaf. Tak ada yang salah. Begitu pun cintaku padamu. Tak salah. Hanya mungkin tak bisa bersatu."

"Tunggulah aku."

"Tidak, aku tak akan menunggu. Setelah ini aku pun akan bergerak. Mungkin mengikuti angin. Aku tak perlu menunggumu. Jika takdir ada untuk kita, anginku dan lautanmu akan berjodoh."

"Baiklah. Selamat tinggal."

Senin, 30 Juni 2014

Lari

Dari mana aku harus memulainya? Iya, ini masih tentang orang yang sama. Mungkin saja kamu sudah bosan jika akan membaca ini. Lagi-lagi tentang dia. Lagi-lagi tentang menyerah. Lagi-lagi tentang lari. Lagi-lagi tentang keras kepala yang akhirnya menyakiti diri sendiri.

Bukan, aku bukan tipe orang yang akan melukai diriku secara fisik karena hal seperti ini. Aku tidak sebodoh itu. Aku hanya keras kepala, tapi aku tidak bisa mengatasi keras kepalaku itu sendirian. Akhirnya aku memilih lari, lari dengan anggapan bahwa jarak adalah hal yang tepat untuk melupakan. Aku pun tahu aku bukan pelari yang handal, dan akhirnya aku berlari dengan tersengal-sengal. Aku limbung, jatuh terantuk kerikil yang berserakan, bangkit lagi limbung lagi dan, ah, dengan bodohnya aku menjatuhkan diriku berkali-kali. Aku tahu, sejak awal pasti akan seperti ini. Dia sudah mengatakan. Tapi aku yang terlalu percaya diri bisa menanggung jatuh cinta ini sendiri.

Akhirnya aku benar-benar jatuh, dan cinta seperti batu yang menuruni bukit terjal dan karam di sungai dibawahnya. Aku kecewa. Tapi lagi-lagi egoku enggan pernah mengakui jika aku jatuh, jika aku kecewa. Bagiku mengakuinya sama saja menyebutkan kelemahanku. Aku pura-pura tak tahu, aku pura-pura biasa saja. Dan yang selanjutnya aku lakukan adalah seolah-olah aku tak peduli pada hal itu. Aku mengambil jarak. Aku lari. Aku tak peduli, pura-pura tak peduli.

Aku lari. Iya, aku terlalu sering berlari saat aku kecewa. Aku mengambil jarak saat aku marah. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Karena mendekati justru memperburuk suasana. Begitu aku belajar tentang kecewa, lari, marah, dan jarak. Begitu pun tentang dia.

Hari ini aku mencoba untuk lari lagi. Mengambil jarak yang semakin jauh darinya. Namun sayangnya saat aku menoleh ke belakang, selalu saja, masih ada doa untuknya. Dan itu membuatku semakin terlihat bodoh di depannya.

Untukmu yang masih aku tuliskan disini. Aku lelah berlari. Aku ingin bisa berdamai denganmu. Tapi kau, aku tahu kau tak akan berpikir sejauh itu kenapa aku mengambil jarak darimu. Dan lagi-lagi hanya aku yang terlalu terlibat dalam cerita ini. Mungkin bagimu aku berkhayal, entah. Hari ini aku mencoba mengambil jarak lagi, tapi bukan dengan berlari. Entah dengan apa, tapi nanti pasti akan aku temui cara itu.

Aku sudah tak ingin terlibat lagi dengan apapun, tentangmu.

Di hari saat usiaku bertambah.
Semoga segalanya membaik.

Rabu, 18 Juni 2014

Rindu [puisi]



Karena kekasih 
Mungkin aku sudah sampai 
Pada titik terhambar 
Dari rasa manis dan pahit yang ada 

Karena kasih 
Mungkin aku sudah sampai 
Pada titik lelah 
Antara mendaki dan melembah 

Karena kekasih 
Mungkin bukan cinta yang salah 
Hanya rindu kadang tak tepat dan manja 
Menghadirkan nyeri dan sendu 
Yang harus ditanggung seorang diri 

Karena kasih 
Keras kepala telah membatu 
Tentang nyeri dan sendu

Selasa, 27 Mei 2014

Night Lover Dreamer (puisi)


Hai kekasih yang kumiliki dalam sajak
Betapa indahmu tak putus mengalir
Dalam derasnya sungai kata
Yang mendeburkan zikir-zikir namamu dikedalamannya
Hai kekasih yang kumiliki dalam setiap alpaku dari terjaga
Dan yang kupuja dalam sadar
Betapa setiap hari kulihat awan mengirimkan kapas-kapas kelembutan
Dari hatimu yang terdalam sebagai seorang insan
Hai kekasih,
Yang masih disiulkan namanya
Bersama sepoi dan badai
Yang tak pernah luput dariku
Aku bertahan dalam keyakinan
Menangkap kau pada intinya
Agar kau paham betapa aku tetap mencintaimu
Dimanapun kau
Seperti apapun kau
Dan hatiku tak henti meneriakkan
Ajak aku bersamamu! Ke lautan bebas atau ke padang gersang!
Dan aku takkan meninggalkan hatimu
Aku bersedia menemanimu menemukan oase atau pulau untuk tinggal
Wahai kasihku yang masih membatu
Nyaring siulmu telah bertiup jauh dan melenakanku
Keluarlah kau dari sajak
Dan kita bersama menarikan cinta
Bukan hanya melalui pena

Jumat, 02 Mei 2014

Selamat Pagi, Aku Rindu Kalian

Halo dunia.

Selamat pagi yang terlalu pagi. Aku sedang rindu. rindu pada seseorang, tepatnya aku juga mencemaskannya. Dia yang beberapa waktu terakhir selalu menemani kegelisahanku. Berbaik hati menjadi orang yang selalu aku hadapkan pada muka jutek-ku. Aku tahu, pasti suatu saat nanti jika setiap hari aku selalu jutek padanya, dia juga pasti akan lelah. Aku tahu. Mungkin sekarang seperti itu.

Tapi begini. Dia saat ini (sudah lama juga sebenarnya), ah, entah apa yang sedang dipikirkannya aku tak tahu. Aku hanya bisa menebak-nebak saja. Aku memang bukan orang yang peka terhadap keadaan seseorang. Jika aku tahu pun, aku juga tak tahu harus bagaimana. Aku hanya berpikir dia sedang ada masalah dengan orang yang dia suka (dan aku tidak tahu siapa gadis yang dia suka). Sedih setiap melihat dia (menurutku) sedih karena gadisnya itu. Ah, memang kebiasaanku terlalu mencemaskan perasaan orang-orang yang baik padaku, termasuk waktu itu aku juga pernah mencemaskan Samudra yang patah hati pada gadisnya diseberang sana. Meskipun ngilu di hati, sering aku tidak terima jika ada yang menyakiti hati dan mematahkan semangat Samudra. Pun mungkin ini juga yang sedang terjadi pada teman baikku ini.

Mereka, orang-orang yang sedang aku cemaskan itu adalah orang-orang yang berbaik hati padaku untuk bisa menghilangkan kegelisahanku. Aku pun berharap bisa menjadi teman yang baik untuk mereka. Bisa menemani dan menghilangkan kegelisahan mereka. Suatu kegembiraan tersendiri bisa membuat orang lain senang. Tapi, apa aku terlalu bodoh untuk tak tahu caranya? Nyatanya sekarang aku sedih karena tak bisa menjadi teman yang baik untuk mereka yang sudah berbaik hati padaku, termasuk seorang ini. Entah kenapa aku tidak bisa menjadi seperti apa yang mereka lakukan untukku.

Kamu tahu rasanya seperti itu? Aku merasa, mungkin aku hanya merepotkan kalian saja saat aku sedih, tapi aku tak bisa menghibur kalian saat kalian sedih. Betapa tak bergunannya aku. Seolah-olah, 'siapa kamu sok ikut campur'. Duh, sakit rasanya (memikirkannya). Entah seperti itu atau bukan, tapi pasti aku akan menjauh saat merasa seperti itu. Karena aku takut. Takut aku hanya merepotkan dan mengganggu.

Ah, betapa sulitnya menjalin pertemanan yang indah seperti dalam cerita-cerita. Betapa sulitnya menjadi orang yang bisa membuat orang lain bisa tersenyum, bahagia, atau paling tidak menjadi pendengar yang bisa meringankan apa yang mereka pikirkan. 

Iya, aku rindu padanya. Juga pada 'teman-teman' yang pernah membuatku menghindari mereka. Tapi sekarang, entah kenapa semua jadi canggung rasanya.

Apa harus bertahun-tahun lagi untuk memperbaiki semuanya? Kenapa aku terus-terusan merusak sesuatu yang sudah ada. Kenapa aku tak bisa mempertahankannya? Kenapa sulit untuk menjaganya?

Kalian, aku hanya ingin jadi teman lagi, teman yang baik untuk kalian.


Jumat, 18 April 2014

Kartini Masa Kini [esai pendek]


Kartini masa kini. Kartini adalah ikon emansipasi wanita. Emansipasi dalam KBBI berarti pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini dahulu adalah hak para wanita agar dapat berkembang dan maju tanpa ada pengekangan. Secara teori, hari ini wanita dan laki-laki sama derajadnya dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan tak dibedakan dalam kelas sosial. Banyak hal yang dulunya hanya diperbolehkan laki-laki kini kita sebagai wanita pun bisa melakukannya, contoh: belajar disekolah, bekerja pada instansi pemerintahan, sampai pada hobi yang dilakukan laki-laki pun sekarang tidak aneh jika kita lakukan, naik gunung misalnya.

Wanita saat ini sudah memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dan cita-citakan. Namun bagi saya, wanita tetap memiliki kodrat sebagai wanita. Emansipasi tidak lantas menjadikan kita lupa akan kodrat kita sebagi wanita. Bagiamana wanita harus menjaga dirinya, tingkah lakunya, nama baiknya, keluarganya, lingkungan sekitarnya, dan wanita juga harus mengayomi. Boleh saja kita menjadi workaholic, tapi (nantinya) saat menjadi ibu dan istri, kita juga harus bisa melakukan peran keduanya dengan baik. Disitulah kodrat wanita paling nyata ditampilkan. Jika kita masih sebagi gadis, kita tetap harus menjaga harkat dan martabat wanita.

Kartini bagi saya adalah kartini yang mampu memerankan dirinya yang tangguh dan lembut secara bersamaan. Mandiri, namun tidak lantas keras kepala. Tidak juga harus manja dan selalu minta diperhatikan secara berlebihan. Kartini sekarang juga harus futuristik, berpandangan luas ke depan. Jika dicontohkan, terutama bagi anak muda, Kartini masa kini versi saya adalah tokoh Marja Manjali dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Marja adalah sosok smart, riang, mandiri, tangguh, sekaligus lembut. Dalam hal pendidikan dia memilih mengambil jurusan Seni Rupa dikampusnya, tidak menolak karena risih ketika diajak naik gunung oleh pacarnya (Sandi Yuda), mengayomi Yuda dan Parang Jati sebagai temannya, dan ketika ditinggal Yuda dan Parang Jati memanjat gunung Marja tak lantas merengek namun ia justru mengajari les pelajaran anak kecil disekitar tempat ia menginap. Jika tokok dalam dunia nyata, mungkin saya akan menggambarkannya seperti  Dewi Lestari dan Fira Basuki. Mungkin seperti itu gambaran Kartini masa kini. Karena kita tercipta bukan untuk memuramkan dunia, namun kita membuat warna pada dunia.

Selamat Hari Kartini
-B-

Kamis, 17 April 2014

Mishbah Jalan-jalan Edisi GembiraLokaZoo [a chapter]


Demi apa Mishbah tahun ini versinya jalan-jalan setelah dua tahun lalu berlabel 'ngamen akustik dan performing art'. Bisa jadi tahun ini Mishbah alih genre-kah? Jadi komunitas jalan-jalan mungkin? Komunitas hangouts? Haha...

Ini kesekian kalinya Mishbah hangout bareng. Kali ini benar-benar hangout karena kita sama sekali bukan pergi dalam rangka melihat pementasan. Bukan juga family trip (ehm, iyakah?). So, setelah tanggal 7April2014 kemarin kita mengadakan sebuah perhelatan (Pentas Laboratory dan memperingati hari jadi Mishbah), tadi adalah saatnya kita merefresh otak. Lumayanlah, sponsorship kita kemarin keren jadinya kita dapat vocer jalan-jalan di Gembira Loka Zoo. Hahaha...

And ing eng..... Karena aku yang pertama kali sampai GLZoo-nya, aku deh yang pertamakali syok liat pemandangan yang ada. Ehm, bis besar semua. Sepertinya ini sedang bulannya anak sekolahan (tepatnya anak TK) liburan. Tapi dimana-mana jadi warna-warni kayak lolipop. Ada yang sragamnya pink, ijo, kuning, ungu, merah, biru, dan lain-lain. Haha... Hangout kita kali ini barengan sama anak TeKa. Tapi teman, kalian nggak kalah seru kok dari mereka. Haha... (Justru kalian yang lebih malu-maluin :/ )

Next, ini dia beberapa kelakuan kita disana








*) semua foto adalah koleksi pribadi TeaterMishbah

Rabu, 16 April 2014

Siang di Golden Gate [cerpen]


gdefon.com


Aku berjalan menyusuri jalan berkabut ini. Didepanku lautan seperti tak berujung. Hanya Golden Gate yang menyadarkan bahwa ada ruang lain setelah air yang maha takberujung itu. Matahari menyusup dicelah-celah kabut yang tebal. Ini musim panas. Tapi aku di San Fransisco. Kueratkan ikatan syal dileher. Aku masih berjalan, ringan, seolah-olah ringan. Kuhirup dalam-dalam udara San Fransisco. Dingin. Menusuk. Hampir aku tersedak saking sesaknya. Tapi tak bisa mengalahkan sesak dari dalam.
Aku terus berjalan dan menghampiri tumpukan kotak peti kemas tak terpakai dan duduk diatasnya.
"Golden Gate, sedingin inikah kau tiap musim? Atau, hanya kali ini saja kau begitu dingin?"
"Hanya di musim panas tempat ini menjadi begitu dingin. Ini, kopi hangat."
"Eh, Hans, terimakasih." Aku mengambil gelas dari tangan Hans.
"Saat dingin, disini justru tak sedingin ini. San Fransisco memang unik."
"Kau pernah kesini sebelumnya?"
"Belum. Diandra yang menceritakannya padaku."
"Ah,maaf. Aku tidak bermaksud."
"Sudah cerita lama. Tak apa. Bagaimana? Ada kabar dari Cakra?"
Aku hanya menggeleng.
"Hai, tersenyumlah. Golden Gate menyambutmu dengan manis. Kau mau menyia-nyiakannya dengan terus menunduk seperti ini?"
Hans berusaha menghiburku. Diceritakannya keunikan dan keindahan San Fransisco yang belum aku ketahui, termasuk gedung pertunjukan dimana esok aku dan dia akan melihat drama kolosal ternama.
***
Dua minggu sebelumnya.
Halo kamu, apakabar? Dimana kamu sekarang? Masihkah merasakan bahwa ada seseorang menunggumu? Atau justru kamu telah lupa bahwa pernah membuat seseorang bisa bertahun-tahun rela menunggumu?
Terkadang aku yakin bisa bertahan. Tapi tak jarang aku ingin menyerah karena harus berjuang sendiri, dan karena kenyataan bahwa kau pergi.
Aku tekan tombol enter, dan sedetik kemudian apa yang baru saja aku ketik muncul diberanda sebuah jejaring sosial. Aku pikir kali ini sama saja dengan catatan yang sudah-sudah. Angin, jejaring maya, dan gelombang apapun tak ada yang pernah bisa menyentuh telinganya dan berkabar bahwa aku mencarinya. Aku masih menyimpan rindu untuknya. Aku rindu dia.
Ting!
Sebuah tanda pembaharuan menyala. Ada namanya disana. Benar-benar namanya. Cakra Sadwikarna. Dan sebuah pesan.
Cakra: apa kabar? Masih ingat aku?
Pertanyaan bodoh pikirku. Tentu aku tak akan lupa. Kamu yang setiap hari ada dalam pikiranku, dalam kecemasanku, dalam hatiku.
Aku: tentu. Tak mungkin aku lupa padamu. Kabarku baik. Kau?
Cakra: aku juga baik. Sekarang aku sedang dalam perjalanan berlayar mengelilingi Amerika.
Aku: Oh ya? Dimana kau akan berlabuh?
Cakra: tujuan pertama Amerikanya Amerika. Amerika Serikat.
Aku: berapa lama kau akan disana?
Cakra: lumayan lama. 2minggu. Bisa jadi lebih.
Aku: oh ya? 2minggu dari sekarang aku ada liputan ke San Fransisco.
Cakra: benarkah? Want to meet? Aku sungguh rindu pada rumah. Sudah lama aku tak pulang. Sungguh membahagiakan jika kau membawakanku sesuatu dari rumah.
Aku: dengan senang hati. Kau ingin aku bawakan apa?
Cakra: apapun. Yang bisa menuntaskan rinduku pada rumah.
Aku: baiklah. Akan aku siapkan yang terbaik yang dipunyai oleh rumah. Agar kau juga ingat untuk pulang. Dimana kita bertemu?
Cakra: sekitar Golden Gate.
Aku: bagaimana aku bisa menghubungimu?
Cakra: aku yang akan menemukanmu.
Seketika setelah balasan itu sampai, nyala hijau pada namanya berubah abu-abu. Setiap hari menjelang keberangkatanku aku selalu membuka akunnya. Tak ada tanda-tanda keberadaannya setelah hari itu. Dia menghilang. Lagi.
Aku mempersiapkan segala keperluan, termasuk apa yang diminta Cakra. Aku bawakan beberapa makanan khas rumah yang awet beberapa hari, tas selempang dengan lukisan batik, dan sebuah gelang yang aku rangkai sendiri. Semua ku kemas rapi dalam box berwarna ungu.
****
"Hans, besok hari terakhir kita disini. Sudah tiga kali kita datang ke tempat ini." Kataku mulai puturg asa setelah melihat akun milik Cakra. Berharap ia mengabarkan sesuatu dari sana.
"Sabar Aela. Mungkin dia sedang ada urusan mendesak dan terlambat menemuimu."
"Apa kamu akan berkata bahwa aku bodoh selama ini? Sekian tahun berharap pada hal kosong dan mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak ada. Menjadi begitu bersemangat saat tiba-tiba ia muncul lagi dan meminta sesuatu padaku, dan aku lupa bahwa itu juga yang dulu ia lakukan padaku. Memintaku tak menjauhinya, tapi justru dia yang pergi. Bukankah karena aku terlalu bodoh hingga harus jatuh pada lubang yang sama dan tak bisa mewaspadainya?" Tiba-tiba tangisku meledak. Aku tahu ini tumpahan air mata yang telah berusaha ku bendung sekian lama. Ini bukan hanya karena lelah berjam-jam menunggu disini atau kelelahan yang sama tiga hari yang lalu. Ini adalah kelelahan yang terakumulasi sekian tahun.
"Hans, aku lelah." Kataku disela isak tangis yang mulai tersedak-sedak.
"Ayo kita pulang. Semakin sore cuaca disini semakin dingin. Kita harus bersiap untuk besok. Tentu kamu tak ingin apa yang kamu impikan selama ini rusak begitu saja kan? Pikirkanlah bahwa hanya untuk pertunjukan besok kau datang kesini."
Hans mencoba untuk memapahku.
"Tunggu. Aku tak boleh membawa ini lagi." ku keletakkan box ungu itu diatas peti kemas. Ku ambil juga gelang dari kantong tas kulitku dan kuletakkan diatas box.
"Aku tak ingin membawanya lagi."
Aku dan Hans berjalan menjauhi dermaga tanpa sadar ada mata yang terus mengamatiku sampai hilang diujung deretan truk pengangkut cargo. Pelan-pelan sosok itu mendekati apa yang aku tinggalkan diatas peti kemas.
"Aela. Maaf aku menuntaskan rinduku seperti seorang pecundang. Dan dengan egois membiarkan rindumu tak tertuntaskan. Aku terlalu jahat untuk terus kamu rindukan. Aku tak tega jika harus bertemu dan kau menangkap sesuatu pada jari kiriku."
Dibukanya box ungu itu dan dilihatnya apapun yang telah dipersiapkan Aela untuknya. Termasuk sebuah gelas plastik ice cream yang tak asing baginya. Ia ingat, itu adalah gelas ice cream dimana Aela bisa menyuapinya dengan malu-malu dan gembira. Sekian tahun lalu.

(uploded on Thumbstory on 12th April 2014. Id thumb: belasuryani)