Rabu, 16 April 2014

Siang di Golden Gate [cerpen]


gdefon.com


Aku berjalan menyusuri jalan berkabut ini. Didepanku lautan seperti tak berujung. Hanya Golden Gate yang menyadarkan bahwa ada ruang lain setelah air yang maha takberujung itu. Matahari menyusup dicelah-celah kabut yang tebal. Ini musim panas. Tapi aku di San Fransisco. Kueratkan ikatan syal dileher. Aku masih berjalan, ringan, seolah-olah ringan. Kuhirup dalam-dalam udara San Fransisco. Dingin. Menusuk. Hampir aku tersedak saking sesaknya. Tapi tak bisa mengalahkan sesak dari dalam.
Aku terus berjalan dan menghampiri tumpukan kotak peti kemas tak terpakai dan duduk diatasnya.
"Golden Gate, sedingin inikah kau tiap musim? Atau, hanya kali ini saja kau begitu dingin?"
"Hanya di musim panas tempat ini menjadi begitu dingin. Ini, kopi hangat."
"Eh, Hans, terimakasih." Aku mengambil gelas dari tangan Hans.
"Saat dingin, disini justru tak sedingin ini. San Fransisco memang unik."
"Kau pernah kesini sebelumnya?"
"Belum. Diandra yang menceritakannya padaku."
"Ah,maaf. Aku tidak bermaksud."
"Sudah cerita lama. Tak apa. Bagaimana? Ada kabar dari Cakra?"
Aku hanya menggeleng.
"Hai, tersenyumlah. Golden Gate menyambutmu dengan manis. Kau mau menyia-nyiakannya dengan terus menunduk seperti ini?"
Hans berusaha menghiburku. Diceritakannya keunikan dan keindahan San Fransisco yang belum aku ketahui, termasuk gedung pertunjukan dimana esok aku dan dia akan melihat drama kolosal ternama.
***
Dua minggu sebelumnya.
Halo kamu, apakabar? Dimana kamu sekarang? Masihkah merasakan bahwa ada seseorang menunggumu? Atau justru kamu telah lupa bahwa pernah membuat seseorang bisa bertahun-tahun rela menunggumu?
Terkadang aku yakin bisa bertahan. Tapi tak jarang aku ingin menyerah karena harus berjuang sendiri, dan karena kenyataan bahwa kau pergi.
Aku tekan tombol enter, dan sedetik kemudian apa yang baru saja aku ketik muncul diberanda sebuah jejaring sosial. Aku pikir kali ini sama saja dengan catatan yang sudah-sudah. Angin, jejaring maya, dan gelombang apapun tak ada yang pernah bisa menyentuh telinganya dan berkabar bahwa aku mencarinya. Aku masih menyimpan rindu untuknya. Aku rindu dia.
Ting!
Sebuah tanda pembaharuan menyala. Ada namanya disana. Benar-benar namanya. Cakra Sadwikarna. Dan sebuah pesan.
Cakra: apa kabar? Masih ingat aku?
Pertanyaan bodoh pikirku. Tentu aku tak akan lupa. Kamu yang setiap hari ada dalam pikiranku, dalam kecemasanku, dalam hatiku.
Aku: tentu. Tak mungkin aku lupa padamu. Kabarku baik. Kau?
Cakra: aku juga baik. Sekarang aku sedang dalam perjalanan berlayar mengelilingi Amerika.
Aku: Oh ya? Dimana kau akan berlabuh?
Cakra: tujuan pertama Amerikanya Amerika. Amerika Serikat.
Aku: berapa lama kau akan disana?
Cakra: lumayan lama. 2minggu. Bisa jadi lebih.
Aku: oh ya? 2minggu dari sekarang aku ada liputan ke San Fransisco.
Cakra: benarkah? Want to meet? Aku sungguh rindu pada rumah. Sudah lama aku tak pulang. Sungguh membahagiakan jika kau membawakanku sesuatu dari rumah.
Aku: dengan senang hati. Kau ingin aku bawakan apa?
Cakra: apapun. Yang bisa menuntaskan rinduku pada rumah.
Aku: baiklah. Akan aku siapkan yang terbaik yang dipunyai oleh rumah. Agar kau juga ingat untuk pulang. Dimana kita bertemu?
Cakra: sekitar Golden Gate.
Aku: bagaimana aku bisa menghubungimu?
Cakra: aku yang akan menemukanmu.
Seketika setelah balasan itu sampai, nyala hijau pada namanya berubah abu-abu. Setiap hari menjelang keberangkatanku aku selalu membuka akunnya. Tak ada tanda-tanda keberadaannya setelah hari itu. Dia menghilang. Lagi.
Aku mempersiapkan segala keperluan, termasuk apa yang diminta Cakra. Aku bawakan beberapa makanan khas rumah yang awet beberapa hari, tas selempang dengan lukisan batik, dan sebuah gelang yang aku rangkai sendiri. Semua ku kemas rapi dalam box berwarna ungu.
****
"Hans, besok hari terakhir kita disini. Sudah tiga kali kita datang ke tempat ini." Kataku mulai puturg asa setelah melihat akun milik Cakra. Berharap ia mengabarkan sesuatu dari sana.
"Sabar Aela. Mungkin dia sedang ada urusan mendesak dan terlambat menemuimu."
"Apa kamu akan berkata bahwa aku bodoh selama ini? Sekian tahun berharap pada hal kosong dan mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak ada. Menjadi begitu bersemangat saat tiba-tiba ia muncul lagi dan meminta sesuatu padaku, dan aku lupa bahwa itu juga yang dulu ia lakukan padaku. Memintaku tak menjauhinya, tapi justru dia yang pergi. Bukankah karena aku terlalu bodoh hingga harus jatuh pada lubang yang sama dan tak bisa mewaspadainya?" Tiba-tiba tangisku meledak. Aku tahu ini tumpahan air mata yang telah berusaha ku bendung sekian lama. Ini bukan hanya karena lelah berjam-jam menunggu disini atau kelelahan yang sama tiga hari yang lalu. Ini adalah kelelahan yang terakumulasi sekian tahun.
"Hans, aku lelah." Kataku disela isak tangis yang mulai tersedak-sedak.
"Ayo kita pulang. Semakin sore cuaca disini semakin dingin. Kita harus bersiap untuk besok. Tentu kamu tak ingin apa yang kamu impikan selama ini rusak begitu saja kan? Pikirkanlah bahwa hanya untuk pertunjukan besok kau datang kesini."
Hans mencoba untuk memapahku.
"Tunggu. Aku tak boleh membawa ini lagi." ku keletakkan box ungu itu diatas peti kemas. Ku ambil juga gelang dari kantong tas kulitku dan kuletakkan diatas box.
"Aku tak ingin membawanya lagi."
Aku dan Hans berjalan menjauhi dermaga tanpa sadar ada mata yang terus mengamatiku sampai hilang diujung deretan truk pengangkut cargo. Pelan-pelan sosok itu mendekati apa yang aku tinggalkan diatas peti kemas.
"Aela. Maaf aku menuntaskan rinduku seperti seorang pecundang. Dan dengan egois membiarkan rindumu tak tertuntaskan. Aku terlalu jahat untuk terus kamu rindukan. Aku tak tega jika harus bertemu dan kau menangkap sesuatu pada jari kiriku."
Dibukanya box ungu itu dan dilihatnya apapun yang telah dipersiapkan Aela untuknya. Termasuk sebuah gelas plastik ice cream yang tak asing baginya. Ia ingat, itu adalah gelas ice cream dimana Aela bisa menyuapinya dengan malu-malu dan gembira. Sekian tahun lalu.

(uploded on Thumbstory on 12th April 2014. Id thumb: belasuryani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar