Selasa, 09 September 2014

Merekam Samuel Beckett Dalam Suara Krapp [review]





Menampilkan Beckett adalah sebuah tantangan tersendiri bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pertunjukan drama. Tidak semua pelaku seni di bidang tersebut berani untuk menampilkan karya Beckett. Mereka yang berani pun belum tentu berhasil membawakan naskah Beckett dengan tetap memiliki jiwa Beckett. Samuel Beckett adalah penulis naskah yang tetap hidup  dalam karyanya meskipun raganya sudah tak ada. Seseorang yang berani membawakan naskahnya tapi tak bisa memahami ia, maka sebagian besar akan mengalami keadaan dimana orang tersebut tidak menyampaikan apa inti naskah tersebut. Pertunjukannya nanti pun akan terkesan membosankan karena Beckett memang senang bermain-main dengan kesunyian yang magis dalam semua naskahnya. Hampir setiap orang yang menonton ‘garapan’ yang berasal dari naskah Beckett (asli maupun saduran) selalu menanti-nantikan jiwa Beckett hadir disana. “Mana Beckett-nya?” kalimat itu adalah kalimat yang senantiasa akan selalu bergema dalam masing-masing hati dan pikiran penikmat maupun kritikus drama saat melihat pementasan yang mengangkat naskah Beckett. Ketika penonton tak bisa menemukan kesunyian Beckett yang magis, khusyuk, dan penuh arti tersebut, maka bisa jadi penonton hanya akan disuguhi keheningan yang kosong, dan membosankan. Apalagi bagi mereka yang ingin menonton untuk mendapatkan hiburan. Hiburan identik dengan hingar bingar, sedangkan Beckett jauh dari itu. Tak ada hingar bingar dalam naskah Beckett. Sebut saja ‘Menunggu Godot’. Apa yang dilakukan para aktornya? Menunggu. Ya, hanya menunggu, dan dalam waktu yang lama, lebih dari dua jam ketika naskah ini pertama kali ditampilkan. Lalu ‘hiburan’ macam apa yang diinginkan Beckett dari naskahnya? Disini bisa saya katakan Beckett mengajak kita untuk beramah tamah dengan keheningan, kesunyian, kesendirian, kesepian, dan mungkin juga kegelapan. Banyak orang yang mengatakan takut dengan kesendirian, kesepian, maupun kesunyian, tapi tak bisa dipungkiri mereka melekat dalam kehidupan kita. Beckett mengajak kita untuk mengakrabi mereka. Khusyuk menjalani setiap detail yang kita lakukan. Merenung, merenung, dan merenung, kediaman yang Beckett ciptakan membawa kita untuk merenung diantara kehidupan yang terus menderu dan semakin cepat saja tiap dekadenya.
Diantara banyak karya ‘hening’ Beckett, salah satunya adalah Krapps’s Last Tape atau yang diterjemahkan dengan bebas dalam Bahasa Indonesia menjadi Rekaman Terakhir Krapp. Krapp’s Last Tape adalah karya yang ditulis Beckett pada tahun 1958. Pada Oktober  tahun itu pula naskah ini pertama kali di pentaskan di Royal Court Theater London.
 Krapp’s Last Tape, sebuah naskah monolog yang menghadirkan cerita dari seorang bernama Krapp. Krapp’s Last Tape bukan satu-satunya naskah yang menghadirkan tokoh Krapp. Krapp juga hadir dalam naskah-naskah Beckett yang lain seperti End Game dengan masalah yang berbeda. Lagi-lagi dalam naskah ini Beckett menampilkan kepiawaiannya dalam menangkap fenomena absurditas.
Menonton Krapp? Silahkan saja. Kali ini, dalam Rekaman Terakhir Krapp, Beckett mengangkat kisah Krapp yang ‘gelap’ sampai akhir hayatnya. Krapp dalam cerita ini sudah berumur 69 tahun. Dalam usia tersebut temannya hanyalah kesepian dan keheningan. Krapp tua itu memiliki hobi yang unik, ia selalu bercerita dan ia merekamnya. Hal itu ia lakukan sejak dulu. Suatu hari ia mencari-cari sesuatu dalam laci mejanya. Ia menemukan pisang, makanan yang menjadi kegemarannya sejak dulu, ia berencana memakannya tapi diurungkan. Tiba-tiba ia mencari-cari sebuah gulungan rekamannya di masa lalu. Dengan susah payah akhirnya ia menemukannya.kemudian ia memutar pita tersebut dalam sebuah tape dan mendengarkannya melalui telinga yang sudah kehilangan sebagian daya dengarnya. Krapp mendengarkan rekaman yang ia buat 30 tahun yang lalu. Ia mendengarkan dengan saksama ceritanya pada saat itu. Tigapuluh tahun lalu adalah masa dimana ia merasa menjadi masa paling jaya dalam hidupnya. Dalam rekaman tersebut Krapp dewasa sedang mengomentari masa remaja Krapp. Ia bercerita tentang bagaimana Krapp remaja mengagumi seorang gadis bernama Bianca. Selanjutnya ia teringat tentang ibunya yang menemui ajal di rumah yang terletak diatas kanal. Saat itu ada satu gadis ‘gelap’ yang tinggal disekitar rumah itu dan juga ia kagumi, namun ia tak berani untuk berkenalan dengannya. Krapp dewasa menyumpahi hal yang terjadi pada Krapp remaja. Selanjutnya Krapp dewasa bercerita bahwa kemudian hidupnya menjadi penuh dengan bermain wanita. Selesai ia mendengarkan, Krapp tua mematikan tape dan memasang pita kosong. Krapp tua merekam dirinya. Ia menyumpahi lagi dirinya yang pernah menjadi sangat kelam tersebut. Krapp seolah-olah ingin melupakan masa kelam tersebut tapi ia sadar bahwa kelam selama ini telah bersamanya sampai hari itu. Ia sadar bahwa kegelapan selalu bersamanya hingga menjelang hari akhirnya.
Beckett menggiring emosi dan psikologi pembaca untuk mengikuti kemauan Krapp tua yang dihadirkan dengan sangat perlahan. Detail-detail keheningan yang diberikan Beckett sangat banyak dalam naskahnya. Begitupun ketika naskah ini ditampilkan. Pertunjukan akan menggiring penontonnya untuk masuk kedalam Krapp secara perlahan. Mencoba untuk memahami apa yang dilakukan Krapp dan ketika ada yang tak dipahami maka pertanyaan akan muncul. Munculnya pertanyaan tersebut nantinya akan menjadi hal yang baik karena penonton ikut terbawa arus perenungan Krapp atas hidup yang telah dijalaninya (mungkin penonton juga akan ikut merenungi hidupnya) dan membawa penonton untuk sama-sama menggali apa yang sedang dipikirkan oleh Krapp.
Apakah kita selalu bisa membaca pemikirannya? Dalam memproduksi karya pendek, Beckett melakukan pendekatan karakteristik teks yang diciptakan sendiri. Backett mencoba menggali unsur tematiknya dan hal itu juga bisa kita temui dalam Krapp. Memainkan Beckett sama halnya sedang melakukan kompromi dengannya. Sutradara memberikan penawaran-penawaran seperti aktor juga menunjukkan penawaran atas ciptaannya. Aktor sendiri perlu menerjemahkan kata-kata yang disampaikan oleh Beckett, kata-kata yang menjadi simbolisasi atas kekuasaan politik, budaya, dan moralitas. Aktor tidak hanya menampilkan ketepatan dan kecepatan dalam gerak tubuh, bisnis akting, dan pendekatan karakter akan tetapi juga dituntut untuk mengetahui apa yang menjadi motivasi dirinya bergerak. Gerakan yang dilakukan bukan semata-mata hanya improvisasi. Re-interpretasi diperlukan aktor karena aktor dituntut untuk mengetahui karakter tokoh pada teks berdasarkan pemaknaan dialog.
Pertunjukan ini memiliki sisi unik tersendiri yang sudah dimunculkan oleh Beckett yaitu dengan adanya alat elektronik yang dihadirkan hidup diatas panggung dan bukan sekedar sebagai properti  atau pendukung (Krapp mendengarkan pita rekamannya melalui tape). Hal ini menjadi istimewa karena apa yang ditampilkan aktor nantinya dan apa yang diputar melalui tape sama-sama harus memiliki karakter yang kuat. Emosi yang terjalin antara aktor yang memerankan Krapp dan Krapp dalam rekaman haruslah sinkron, saling mengisi, dan saling mendukung. Pemahaman secara utuh tentang Krapp dimasa remaja, dewasa, dan tua sangat dibutuhkan disini. Tantangan lainnya seperti naskah-naskah Beckett yang lain yaitu bagaimana agar penonton mampu bertahan dalam ‘kebosannnya’ menonton pertunjukan Beckett dan bagaimana cara memunculkan pertanyaan dalam diri penonton sebagai hasil merenung dan refleksi dalam dirinya.
Meskipun begitu, pertunjukan tetap boleh diragukan karena tak selalu memiliki makna tunggal. Interpretasi boleh meleset. Memainkan Beckett ibarat menembak target yang bergerak. Sesekali kena sayap, sesekali kena kaki, sesekali memecahkan kepala, dan kadang meremukkan ulu hati.

Bela Yusti Suryani
(Teater Mishbah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar