Rabu, 22 Januari 2014

Ketika Penerbit Berbicara [catatan]



Seperti biasa saat itu aku sedang asik scrolling twitter, mencari-cari hal yang menarik di timeline. Selalu menarik ketika nama beberapa orang (baca: penulis) itu muncul, apalagi kalau muncul dengan link blog pribadi mereka dan hestek #newpost. Dua hari lalu aku menemukan postingan menarik ini di timeline. Postingan dari Mba' Windy. Sayangnya masih terpenggal-penggal pada batasan 140 karakter. Untuk itu sekarang aku mencoba mentranskrip dan menyatukannya agar lebih enak dibaca karena sayang kalau kicauan ini lewat begitu saja.
Kata @benzbara_ tentang tulisan Mba' W ini lewat akun twitternya :
siapapun yang memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis, bisa bawa tweets @windyariestanty sore ini. #penting
 Sebelumnya, kenapa kicauan-kicauan itu menarik? Karena beberapa waktu lalu aku sempat mendengar sebuah kabar tak sedap dari seorang penulis baru. Siapa dia? Pasti teman-teman yang sedang belajar menulis dan suka blog walking tahu. Dikatakan bahwa buku yang diterbitkan penulis itu bukan buatannya namun diakui miliknya. Selain itu penulis ini dikatakan sebagai selebtwit (waktu itu aku nggak mudeng apa itu selebtwit). Entah benar entah tidak kabarnya, tapi sangat menyedihkan menurutku jika seperti itu kenyataannya. Lalu Karena kabar tak sedap di dunia tulis menulis itu aku juga mencoba untuk jalan-jalan di blog yang berkaitan (membahas) tentang fenomena itu dan fenomena selebtwit. Yang aku serap dari membaca sana-sini tentang selebtwit itu orang yang rajin banget ngetwit tiap hari, followersnya mencapai angka ratusan ribu, banyak retweetannya. Nah, banyak dari seleb twit ini yang tiba-tiba menerbitkan buku. Saat aku jalan-jalan ke Togamas untuk mencari-cari buku dari penulis idolaku, banyak banget disana berjajar buku-buku baru hasil karya selebtwit. Sempat juga aku membaca ada yang mengatakan intinya seperti ini 'percuma nulis buku kalau nggak punya follower banyak. Pasti nggak laku'. Nah lo. Gimana kalau udah kayak gitu? Fenomena ini entah lama kelamaan ternyata menimbulkan semacam ketakutan bagi penulis-penulis pemula. Aku juga orang yang sedang belajar menulis, maka dari itu bahasan pop tentang dunia menulis ini selalu menarik untukku. Dan poin kenapa aku merangkai postingan twitter dari Mba' W ini bukan untuk mendiskriminasi si penyebab keresahan orang-orang yang sedang belajar menulis atau selebtwit yang menerbitkan buku.

Postingan Mba' W kali ini sedikit banyak menurutku juga terilhami dari fenomena menyedihkan disana meskipun Mba' W menuliskan alasan postingan tersebut karena sebuah email dari seorang anak SMA. Mba' W ini adalah seorang penulis, editor, dan published author. Seperti ini kata Mba' W lewat @windyariestanty:

Kayaknya sudah lama gue nggak ngomongin soal penerbitan dan penulisan. Well, sebuah email dari anak SMA siang ini menggerakkan gue. Sebelumnya harus gue sampaikan ini bukan tema yang enak dibahas. Gue juga butuh menimbang-nimbang apakah gue mau membahas ini. Namun email anak SMA ini bikin gue cemas. Ia ingin jadi penulis, namun ia berpikir membatalkannya karena membaca twit seorang penulis. Jadi, gue putuskan mari kita membahasnya agar jelas di semua pihak atau siapa pun yang ingin menjadi penulis buku. Si anak bertanya tentang isi lama. 'kata akun xxxxxx percuma nulis buku bagus kalau follower kita nggak banyak, kak. Gak bakal laku.' Si akun xxxxx tersebut adalah seorang penulis yang kebetulan penjualan bukunya tak cukup bagus. Ia memuntahkan kekesalannya ke sosmed. Anak ini follower penulis tersebut. Ia jadi gentar untuk mengirimkan naskahnya karena sejumlah alasan yang disampaikan penulis idolanya.
 Begini, pertanyaan paling dasar yang gue ajukan, 'apakah ada penerbit di muka bumi ini yang berharap buku terbitannya tak laku?' Gue berani bertaruh 100% gak bakal ada yang mau. Setiap penerbit menerbitkan karya seorang penulis karena ia melihat sesuatu di naskah itu. Untuk menerbitkan 1 judul beroplag min. 3000 saja, penerbit berinvestasi puluhan juta. Belum termasuk biaya lainnya di luar ongkos produksi.
 Di dalam dunia penerbitan, gue sendiri mengenal 4 kuadran terbitan. Dan ini yang gue lihat selama hampir 10 tahun gue main di industri ini. 1. ada buku bagus yang penjualannya bagus; 2. ada buku bagus yang penjualannya tidak bagus; 3. ada buku jelek penjualan bagus; dan yang ke-4 inilah yang berusaha mati-matian dihindari penerbit: buku jelek yang penjualannya jelek.
Begitulah wajah pasar. Tak ada seorang pun yang mampu menebaknya dengan tepat. Gue sendiri nggak pernah bisa jawab kalo ada yang nanya ini. 'Gimana caranya bikin buku bestseller, mbak w?' Guys, kalau gue udah tahu, maka gue nggak bakal puyeng mikirin omzet yang naik-turun. ;p
 Nah, kalau gue dan teman-teman di gagasmedia grup tahu rumusan bikin buku bestseller, kita udah jadi penerbit paling kaya di dunia, dong. Yang kami tahu sebagai penerbit kami berupaya menebak pasar. Penerbit mayor atau indie semuanya sama, kita berhadapan dengan pasar. Jadi, ketika sebuah buku yang kami anggap bagus justru tidak direspons pasar, itu juga sebuah kekecewaan bagi penerbit. Tapi apakah kami lantas menyalahkan pembaca (baca: pasar)? menyalahkan penulis karena membuat karya tak laku? Tentu tidak. Semua jadi PR. Atau kalau sekarang, tiba-tiba menganggap faktor follower lah yang membuat sebuah buku laku. Kawan, mari gue beri tahu: TIDAK.
Baru-baru ini gagasmedia menerbitkan sebuah novel karya anak SMA yang tak main di jejaring media sosial. Ia juga bukan seorang pesohor. Bukunya #tearsinheaven mendapatkan respon positif. Nama penulisnya Angelia Caroline. Kami mempromosikan buku ini lewat media sosial. Banyak juga penulis lama yang lahir sebelum era twitter tak memiliki follower hingga ribuan. Namun, tetap saja penjualan bukunya bagus. Media sosial buat gue hanyalah salah satu alat untuk mengetahui apakah seseorang punya 'konten'. Dulu pada 2000-an, blog adalah alat itu. Ketika twitter booming, maka mereka yang memiliki konten menarik yang biasanya mampu menarik audiens untuk mengklik 'follow'. Tarik mundur lagi. Masih ingat zaman Anita Cemerlang? Yang suka baca cerpen umumnya beli majalah ini. Kenapa? Karena kontennya. 
Selamanya, menjadi penulis adalah persoalan apa yang kita sampaikan di tulisan kita. Bukan soal follower. Bukan soal siapa yang lo kenal. Penerbit bertaruh soal 'konten' itu. Sama seperti para penulis. Penerbit bahkan tidak hanya berhenti pada persoalan laku-tidak laku. Ketika buku terbitannya tidak laku, ia berhadapan dengan persoalan stock yang menumpuk di gudang & bagaimana mencari pasar alternatifnya. Ketika sebuah buku tak direspons dengan baik, penerbit pun sebenarnya gelisah. Pekerjaan rumahnya panjang. Belum lagi menghadapi penulisnya. Hal lain yang perlu dipahami, zaman berubah. Penlis sekarang justru lebih memiliki alternatif sarana berpromosi yang lebih banyak.
Realitas: Penerbit tak hanya mengurusi satu penulis. Ia tak hanya memikirkan penulis yang bukunya telah terbit, tetapi juga yang belum. Berdasarkan pendeknya pengalaman gue, gue merumuskan satu hal: alat berpromosi paling ampuh dari sebuah tulisan adalah penulisnya. Sewajarnya penulis berjuang mati-matian menjadi juru bicara untuk karyanya. Penerbit akan mendukung sesuai kapasitas. Di industri perbukuan dan penulisan: content in the king. Itu tak pernah terbantahkan. Namun 'pasar' selamanya adalah sebuah misteri. Berhentilah menyalahkan banyak pihak. Menyalahkan jumlah follower, menyalahkan selera baca, menyalahkan penerbit.
Kalau ingin jadi penulis, maka menulis. Kalau ingin tahu bagaimana menulis yang baik, maka bacalah banyak buku dan menulislah lagi. Kalau kau menjadikan followr atau penjualan yang buruk sebagai alasan untuk tidak atau berhenti menulis, maka gue hanya bisa bilang 2 hal. Penulis adalah profesi yang menuntut ketahanan mental. Kedua, Penulis bukan profesi untuk para pemalas.
Jadi Kau mau berhenti menulis?
 Begitulah yang sudah dituliskan Mba' W lewat akun twitternya.

Ya, dulu aku termasuk orang yang resah karena tiba-tiba banyak akun twitter (kadang dengan nick bukan nama orang) tiba-tiba berlomba-lomba menerbitkan buku. Kadang ketika aku membaca samplenya aku berpikir 'eman-eman beli buku yang kayak gini. Sama aja cuma baca twit orang. Eman-eman kertasnya yang buat nyetak.'

Tidak berarti aku mengatakan bahwa tulisan mereka jelek. Ada kok pasti dari mereka yang tulisannya bagus, hanya saja baru dalam kesempatan ini tulisan mereka bisa diterbitkan. Ada juga tulisan yang sangat bagus tapi penggemarnya memang minoritas sehingga tidak bisa jadi bestseller, mengingat sekarang ini banyak yang  lebih suka sesuatu hal yang mainstream dan ringan.

Aku juga orang yang belum bisa menulis dengan baik. Dan aku percaya tulisan yang baik dan bagus itu bukan dari karya instan. Orang-orang dengan tulisan bagus dan buku pertamanya yang terbit jika mendapat respos positif pasti punya latar dan sejarah panjang tentang proses kreatifnya dalam menulis. Cuma memang kadang sayang ketika ada tulisan yang dilihat di twitter atau blog saja cukup, kenapa harus dicetak dan menghabiskan banyak kertas. Dan untuk pembaca seperti aku yang harus cermat ketika membeli buku karena kadang harus menabung lama untuk membeli sebuah buku. Eman-eman ketika kita membeli suatu buku yang 'salah' padahal sudah lama kita menabung. 

Aku sendiri mencoba untuk membaca tulisan-tulisan yang bagus dan baik agar bisa memberikan pengaruh positif dalam proses kreatifku menulis (semoga). Tulisan-tulisan dari penulis baru tersebut, atau selebtwit memang jarang menjadi alternatif bacaanku. Ini memang menyangkut selera jenis bacaan seperti apa yang ingin kita baca, bukan karena aku 'menuduh' bahwa tulisan tersebut jelek. Buku-buku dari penulis pemula, pasti mereka juga punya penggemar sendiri kok. Misalnya saja aku sekarang tidak begitu suka membaca novel aliran teenlith dan sebangsanya, itu bukan karena tulisannya jelek tapi karena saya sendiri yang sudah beralih minat bacanya dan lebih menyukai karya-karya Dee, Ayu Utami, Fira Basuki atau Mba' Windy. Namun ketika dulu aku masih SMP, mungkin malah buku-buku penulis baru itu yang aku baca karena ringan untuk dibaca dan tak perlu mengerutkan dahi ketika membaca.

Ini hanya sebuah pendapat saja dari seorang aku yang sedang tertarik untuk menulis menaggapi fenomena yang ada di dunia penulisan saat ini. Kritik dan saran saya terima dengan lapang, apalagi tulisan ini menyangkut tentang banyak orang. Mungkin ada pendapat saya yang salah dan perlu diluruskan, sumangga.

Terimakasih yang bersedia membaca dan yang bersedia memberikan respon :)
Tetap terus berkarya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar