Rabu, 01 Januari 2014

Dari Tugas Esai hingga Sebuah Renungan tentang Resolusi [a chapter]




Seharusnya saat ini aku sedang mengetik sebuah esai tentang sastra khusus sastra Indonesia. Esai ini bahkan harus aku kumpulkan besok pagi pukul 08.00 WIB dan menjadi salah satu faktor penentu nilai mata kuliah Penulisan Kreatif Sastra yang diampu oleh salah satu profesor terpandang di kampus. Beliau adalah orang yang lebih menilai mahasiswa melalui karyanya dan bukan melalui ujian teori apalagi presensi. Dosen yang menyenangkan. Jarang mahasiswa satu kelas merasa sedih ketika dosen mengatakan bahwa ia akan mengakhiri masa kuliah, dengan alasan apapun. Mahasiswa cenderung akan bersuka-ria dan begitu berharap jika dosen akan cepat-cepat mengakhiri masa kuliah mereka meskipun minggu-minggu ujian masih lama. Tapi tidak dengan beliau. Hampir satu kelas meneriakkan ketidakinginannya berpisah dengan mata kuliah ini (tepatnya tak ingin berpisah dengan beliau) ketika beliau berkata :
"Hari ini pertemuan terakhir untuk mata kuliah ini ya."
Terdengar 'ah' yang panjang dikelas yang menandakan kekecewaan kami karena kami sudah dipenghujung kuliah. Di kelas beliau, segalanya menjadi serba menyenangkan. Sebuah kursi pun bisa menyenangkan jika ada di kelas beliau. Bagaimana beliau mendeskripsikan bahwa kursi-kursi yang kami duduki ternyata diam-diam menyimpan ratusan kentut dari mahasiswa lain, sedangkan kami tak pernah membayangkan hal tersebut. Kami justru selalu berebut kursi-kursi penuh kentut itu saat masuk kelas. Bagaimana beliau ddenagn enteng mengambil dompet dari saku belakang jeansnya dan menunjukkan foto istrinya di dalamnya. Beliau kemudian berkata "Tidak tahu kan kalian? foto ini, foto istri saya, hampir setiap hari dibaui kentut, tapi tetap sayang ini", kata beliau sambil menunjuk foto muda dari seorang wanita yang kini sudah paruh baya. Bagaimana beliau membuat kami tiba-tiba harus berdamai dengan seluruh kenangan, sukacita, patah hati, dan segala emosi yang bisa menguras air mata ketika kami harus menuliskan puisi tentang 'jarak'. Bagaimana beliau memberi stimulus bagi kami untuk membuat (rata-rata) cerpen pertama kami. Begitulah cara mengajar beliau.

Kali ini giliran kami diberi stimulus untuk membuat sebuah esai sastra. Aku sangat yakin stimulus yang memang awalnya memaksa ini (karena atas nama kuliah dan tugas kuliah identik dengan suatu pemaksaan yang kadang dirasa tak berguna. Hanya formalitas untuk sebuah nilai dalam KHS), namun saya yakin dan yakin sekali tugas ini akan lebih bermanfaat bagi kami yang nantinya akan menyandang gelar sarjana pendidikan dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Karena hal seperti ini membuat kami senang belajar tentang sastra kami dan akan meningkatkan kualitas berpikir dan daya kritis kami. Karena memang itulah yang kami perlukan untuk bisa masuk kedalam tatanan masyarakat yang sebenarnya.
Hanya saja sampai saat ini aku belum punya gambaran mengenai yang akan aku lakukan untuk memulai membuat esai ini. Ya, ini akan menjadi esai sastra pertamaku, tidak seperti puisi atau cerpen yang sebelumnya aku pernah beberapa kali membuat. Sebenarnya mudah saja bagiku (menurutku) untuk menuliskan sebuah esai sastra karena dari definisinya saja:
Esai Sastra adalah karangan prosa yang mengupas secara sepintas namun akurat, padat, dan berisi mengenai masalah kesusastraan, seni, dan budaya dari sudut pandang penulisnya secara subjektif.

Sumber: http://www.pemustaka.com/esai-sastra-dan-contohnya.html

Jika selama ini ketika membuat sebuah karya tulis atau analisis sastra saya terbebani dengan teori dan pisau analisis yang sudah dipatenkan oleh para ahli sastra maupun filsuf, untuk tulisan yang satu ini seharusnya saya lebih bebas karena sudut pandang yang dipakai adalah subjektif menurut penulis yang dalam hal ini adalah saya. Kendala yang aku hadapi saat ini adalah kebuntuan ide tentang apa yang harus aku bahas. Biasanya ketika aku mendapatkan sebuah tugas menulis aku langsung tahu objek apa yang ingin aku bahas. Namun kali ini tidak. Sejak diberi tugas itu hingga sekarang belum terlintas satu pun ide mengenai apa yang ingin aku bicarakan dalam esai kali ini. Padahal biasanya aku menemui fakta atau pertanyaan menarik tentang sastra kita saat ini. Hanya kebiasaan burukku adalah aku tak pernah mau menuliskan ide yang kadang tiba-tiba muncul walaupun hanya sekelumit itu dalam sebuah jurnal ide, sedangkan aku ini seorang pelupa.

Dan kenapa aku tiba-tiba justru menulis dalam laman blog pribadi ini? Haha, setelah sekian paragraf yang aku tulis tentang tugas esai, sebenarnya di awal aku ingin menulis tentang sebuah resolusi tahun baru karena baru 25 jam yang lalu kita memasuki tahun 2014 (sekarang ini pukul 01.15 tanggal 2 Januari 2014). Semua sedang berlomba menulis tentang resolusi setahun ke depan. Dari yang aku baca ada yang membuat resolusi dengan penuh percaya diri untuk bisa terwujud, banyak yang hanya mengekor agar seolah punya resolusi, tak sedikit yang memang menjadikan itu sebuah motivasi hidup yang harus dicapai, dan banyak bermunculan nada skeptis menanggapi resolusi teman-temannya karena menganggap itu hanya sebuah gaya menghadapi tahun baru dan entah serius dilakukan atau tidak. Ya begitulah. Aku sendiri pun terkadang menganggap hal tersebut terlalu berlebihan dan buang-buang waktu ketika menuliskan sebuah resolusi tanpa benar-benar berniat menjalankannya. Tapi terkadang aku juga perlu sebuah target agar aku sendiri pun yakin setiap tahun aku mengalami peningkatan dalam kedewasaanku di dunia nyata yang bersinggungan dengan banyak tipe orang ini. Kadang aku butuh suatu takaran untuk menyatakan aku berhasil, gagal, atau belum mencapai target. Karena berjalan tanpa sebuah target itu seperti daun jatuh yang tertiup angin. Tak punya mata, tak punya kehendak, dan tak punya pegangan. Tak bisa menentukan ingin mendarat dimana. Beruntung jika bisa mendarat disebuah kasur yang empuk dan ditemukan oleh gadis manis yang kemudian merawatnya. Namun bagaimana jika tiba-tiba saja kau jatuh disebuah selokan mampet dan bau atau malah jatuh dalam kobaran api bersama daun-daun gugur yang lain. Kau akan terinjak, hilang, dan terlupa. Sedangkan kita manusia, bukan daun. Kita punya mata, hati, otak, dan keinginan. Kita bisa menentukan jalan kita, walaupun sesekali kita penasaran untuk mencoba jalan yang terjal atau sedikit bermain-main dengan api. Tapi kita punya hak untuk keinginan, harapan, tujuan, dan mimpi. Tak ada salahnya untuk bermimpi. Seperti yang orang-orang bijak (atau sok bijak) berkata tentng mimpi yang harus digantung setinggi langit.

Ya, begitulah kita manusia diciptakan. Untuk bermimpi. Dan mewujudkan mimpi.

Setelah dulu sewaktu saya masih labil (masa-masa SMP/SMA) saya ingat pernah sekali menuliskan resolusi sepanjang satu halaman pada buku catatan saya yang merupakan hadiah ulang tahun dari seorang sahabat, dan setelah itu saya tak pernah menuliskan atau mengucapkan lagi barang sebuah resolusi, kali ini sepertinya saya ingin membuat (minimal sebuah) resolusi.
Kenapa menjadi begitu ingin? Semula aku juga enggan membuat dan menuliskannya mengingat itu akan sia-sia (lagi) dan aku cenderung sedang banyak tugas kuliah yang harus segera aku tuliskan agar selesai (termasuk esai tadi). Namun saat sedang membuka http://www.bisikanbusuk.com/ milik @benzbara_ dan berharap bisa menggali ide untuk esai, aku menemukan tulisan bang ben tentang resolusi (ternyata penulis seperti dia juga masih berminat untuk membuat catatan tentang resolusi). Aku belum membaca apa isinya, namun melihat judulnya saja membuat aku tergoda untuk menuliskan (apapun itu) tentang resolusi dan ingin memiliki minimal satu resolusi untuk tahun ini.

Sama dengan teman-temanku yang saat ini sedang dipenghujung semester tujuh, tentu saja resolusi pertama yang ingin aku tulis adalah 'maksimal desember 2014' aku sudah harus menamatkan kuliahku dan mendapat gelar S.Pd. Meskipun aku punya keinginan untuk sedikit santai menjalani kuliahku saat ini, tapi waktu maksimal satu tahun aku rasa cukup untuk menyelesaikan skripsi hingga ujian pendadaran dan yudisium (sekaligus wisuda). Resolusi lain yang aku lebih senang menyebutnya sebagai sebuah tujuan yang akan aku capai di waktu yang tepat adalah aku ingin menjadi seorang penulis dan memiliki sebuah buku yang diterbitkan. Entah itu kumpulan puisi, kumpulan cerita, atau sebuah novel yang aku ingin tetap berkualitas. Itu  tujuanku untuk tahun setelah 2014karena 2014 aku ingin berjuang lebih dulu untuk tugas akhir. Namun selama menunggu 2015 semoga aku mendapatkan batu loncatan untuk bisa mewujudkan keinginanku menjadi seorang penulis. Kemudian aku ingin berada pada dunia tulis menulis dengan tidak melupakan kewajibanku untuk mengabdi pada masyarakat. Gelar S.Pd nanti akan membuatku menjadi seorang pendidik di sebuah tempat bernama sekolah. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin menjadi pendidik yang tidak hanya berangkat dari teori-teori dalam buku, namun aku ingin menjadi pendidik dengan referensi pengalaman. Bukan tak ingi mengajar di sekolah dan mewujudkan keinginan orang tua. Hanya saja aku masih merasa modalku dari bangku kuliah ini belum cukup untuk menjadi seorang pendidik yang benar-benar mendidik. Aku hanya belajar di dalam kotak dan membaca literatur yang kadang aku merasa dipaksakan untuk keadaan di dunia nyata saat ini. Aku ingin belajar di universitas kehidupan (begitu kata Cak Nun). Aku ingin pengalamanku dari perjalananku sendiri yang menjadi narasumber untuk mendidik. Aku tak ingin membentuk manusia-manusia robot lagi yang hanya mementingkan keberhasilan dari angka-angka (aku pernah membaca entah artikel atau cerita tentang hidup dalam dunia angka, namun aku lupa siapa penulis dan apa judulnya). Entah ini sebuah cita-cita mulia atau hanya sebuah mimpi (sekali lagi mimpi itu perlu), tapi saya rindu saat semua tidak hanya diukur dengan angka namun ditakar dalam ukuran yang pas sesuai kebutuhan. Saya ingin menjadi siswa sekolah kehidupan dan nanti mengajar disana. Mungkin lewat buku-buku, cerita dari blogku, atau dari telinga ke telinga nanti murid-muridku akan belajar. Tak perlu bertatap muka langsung namun apa yang aku katakan dan tuliskan lebih bermakna dari keberhasilan 100% menjawab 50 soal multiple choice di seelembar kertas buram.
Ya sederhananya seperti itu tujuan yang sedang aku bentuk sekarang. Tapi dengan catatan aku menjalankannya dalam nuansa yang selalu nikmat dalam segala suasana. Bahkan patah hati pun nanti akan aku jalani dengan nikmat. Air mata pun adalah sebuah kenikmatan yang pas pada waktunya.

Ya, seperti itu mungkin bisa dikatakan sebuah resolusi yang positive thingking. Kata 'belum tercapai' nanti tetap akan aku temui karena aku memang bukan orang yang penuh dengan keberuntungan untuk menjalani sesuatu dengan mudah. Tapi aku punya keyakinan.

Dan dari semua yang saya tuliskan diatas, saat ini saya mencoba untuk tidak lagi mempertaruhkan harapan dan tujuan saya dalam angka-angka. Saya hanya perlu untuk memulai melakukan. Dan tidak peduli itu saat ini, 2014, atau 2015, atau angka-angka selanjutnya.
Pergantian tahun mungkin hanya sebuah cara untuk memudahkan kita melihat seberapa jauh pencapaian-pencapaian kita. Namun renungan, mimpi, dan usaha kita lalukan setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik.

Untuk harapan-harapan baik. Semoga Malaikat mengamini dan Tuhan mengabulkan doa kita semua dengan memberikan jawaban yang pas, tak kurang, tak lebih dari usaha yang kita perbuat.

Selamat mengganti tahun kalian menjadi 2014 dalam setiap lembar ujian maupun proposal kehidupan.

Akhirnya saya telah menuliskan satu catatan di awal 2014 ini. Karena saya lekas menjadikan keyboard ini lantai dansa untuk jari-jemari saya. Karena saya akhirnya memulai, dan saya mendapati sesuatu yang berbeda setelah saya memulai di halaman blog saya.

Yk, 2 Januari 2012 dini hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar