Kamis, 09 Januari 2014

Tentang Cita-cita [a chapter]




“Apa cita-cita kalian?”
Seperti itu kira-kira gambaran  sewaktu kita kecil dulu saat orang-orang dewasa menanyai kita. Jawaban kita?
“Aku mau jadi insinyur”
“Kalo’ aku jadi polisi”
“Dokteeeeeer”
“Aku mau jadi guru”

Apa dulu jawabanmu? Ada yang berbeda? Aku punya keyakinan hampir 95% untuk mengatakan ‘Ya’ sebagian besar dari kita akan menjawab dengan jenis-jenis pekerjaan diatas atau pekerjaan sejenis. Pekerjaan yang berpangkat, terlihat,  gagah, mewah, mentereng. Sampai saat ini pun ketika saya bertanya pada anak-anak kecil, ya pokoknya yang berumur dibawah saya, masih banyak yang menjawab dengan menyebutkan pekerjaan-pekerjaan diatas. Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban-jawaban itu. Justru bagus sudah menanamkan cita-cita yang tinggi lagi mulia, berguna untuk sesama.

Aku dulu juga seperti itu, ketika ditanya tentang cita-cita atau diminta untuk menuliskan cita-cita aku selalu menjawabnya dengan menyebutkan pekerjaan GURU. Sebuah cita-cita yang aku yakin sampai kapan pun merupakan cita-cita paling mulia, karena dalam kitab umat Islam pun dikatakan untuk menuntut ilmu meski sampai depan liang lahat. Selain itu juga karena ibuku adalah seorang guru yang hebat untukku. Beliau bisa mencerdaskan beribu anak orang dibangku sekolah hingga sekarang, dan beliau tak lupa untuk membuat aku dan saudara-saudaraku pintar. Aku yakin apa yang terpatri dalam diriku saat ini, meskipun tanpa belajar aku tetap mampu mengatasi segala hal akademikku, tidak lain berkat gen dari ibuku dan ketelatenan beliau merawatku dalam masa-masa pertumbuhan dulu. Sewaktu sekolah dasar aku tak pernah mendapat ranking dibawah tiga. Ya, itu kadang membuat teman-temanku iri, tapi apa iya aku harus mengingkari anugerah Tuhan. Lalu sewaktu SMP aku masuk dalam rangking 30 besar paralel dengan jumlah 200 siswa di angkatanku. Saat SMA, entah aku lupa karena waktu itu rangking sudah tak begitu dipedulikan, yang jelas aku lulus UAN dan bisa masuk PTN lewat jalur SNMPTN tanpa kendala yang berarti. Puji Syukur, anggap saja itu lancar. Tapi disini bukan berarti aku memberikan contoh untuk tak acuh pada belajar. Sekali lagi ‘belajarlah walaupun sampai depan  liang lahat’. Mungkin tanpa aku sadari waktu itu aku punya metode belajar sendiri yang tidak sama dengan cara belajar teman-teman yang lain atau yang kalian lakukan. Seperti aku lebih senang membawa bukuku untuk sekedar dibaca saat aku juga sedang asik bermain kasti dengan teman-temanku. Entah bagaimana, tapi waktu itu aku bisa. Atau aku belajar IPA dari buku cerita yang dibawakan oleh ibuku dari perpustakaan di sekolahnya. Belajar dari buku yang lebih menyenangkan dan itu bukan buku yang dipakai secara massal dikelas sehingga aku merasa membaca hal yang berbeda dengan teman-temanku. Ya, sampai SD kelas enam aku mendapat suply buku dari Om yang tak dimiliki oleh teman-teman lain. Dan itu mengasyikkan.

Kembali pada cerita cita-cita. Saat mulai beranjak masuk pada usia-usia mencari jati diri, mencari hal yang berbeda dengan orang lain, menjadi kritis, menjadi realistis, dan menjadi kreatif hampir 50% orang akan mebuang cita-cita masa kecilnya (prosentase menurut insting penulis). Pikiran orang makin berkembang, itu sudah pasti, dan itu membuat orang terpacu untuk lebih realistis meletakkan cita-citanya. Realistis pada sumber daya diri masing-masing dan pencapaian yang didapat meskipun tekad itu juga mutlak ada. Selain itu kita juga semakin tahu bahwa pekerjaan tidak hanya itu-itu saja. Tak ada anak kecil yang berpikir untuk bercita-cita menjadi editor, tapi toh pekerjaan itu ada, menyenangkan, dan untuk masalah finansial justru sangat bagus. Ada pekerjaan yang isinya hanya berangan-angan tapi toh justru lebih menghasilkan, menjadi copywriter contohnya. Mungkin juga kita bisa punya cita-cita menjadi pengusaha sukses bidang kuliner atau peternakan. Itu justru lebih menguntungkan sekarang. Kita bisa menjadi bos dan mempunyai pegawai, membuka lapangan pekerjaan. Lebih realistis daripada kita menggantungkan diri pada sebuah instansi. Intinya kita memberdayakan kemampuan sendiri. Dan itu juga akan didukung negara karena membantu mereka memperkecil angka pengangguran. Mulia juga kan? Menguntungkan? Iya.  Bermanfaat? Tentu.

Tak ada yang salah dengan cita-cita masa kecil. Ini hanya sebuah coretan karena sesungguhnya aku sendiri pun sedang gamang memilih apa yang akan aku letakkan sebagai cita-citaku ketika aku mulai sadar aku punya keinginan sendiri dan mulai mendengarkan kata hati. Aku ingin menjadi guru (itu sebabnya aku kuliah di jurusan pendidikan), tapi bukan guru yang biasa seperti yang aku temui selama ini. Mungkin aku akan menjadi guru, tapi bukan di ruang kelas. Aku suka membaca, dan aku ingin menjadi mereka. Aku menulis. Aku ingin jadi penulis. Di lain hal aku ingin juga menjadi editor, tapi masih minder sama kemampuan berbahasaku. Bergeser sedikit lagi aku ingin menjadi dramawan dan aktor (sudah lebih dari 6 tahun aku berada di lingkungan teater. Suatu saat aku akan menceritakannya). Satu lagi aku suka menggerakkan tubuhku, and i’ll be a dancer (amiiin). Hahaha, begitu banyak keinginanku. Tak apa, semua itu sedang coba aku rintis, dan suatu saat nanti aku akan menemukan mana tujuanku, mana batu loncatanku, mana hobiku, dan mana tempatku akan mengabdi.

Untuk kita yang sama-sama sedang mengejar mimpi, jangan pernah takut. Meski kadang rasanya tak mungin, tapi tekad akan mengetuk pintu Tuhan untuk membukakan jalan kita.
Semangat Berkarya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar