Rabu, 01 Januari 2014

Sastra: Siapa yang Berhak Menentukan Keabsahannya? [esai]


Sastra: Siapa yang Berhak Menentukan Keabsahannya?
Oleh: Bela Yusti Suryani

doc. abdisr.blogspot.com 


Karya sastra masih merupakan hal yang menarik untuk dibahas karena karya sastra itu terus berkembang, sepertihalnya karya seni yang lain (rupa, musik, gerak). Termasuk ketika saat ini saya menjajarkannya dalam kategori seni bersama dengan karya rupa, musik, dan gerak. Semenjak kecil saya tidak diajarkan memaknai sastra itu sebagai salah satu wujud karya seni, begitu pula ketika di sekolah. Seni adalah menggambar, menyanyi, dan menari. Sedangkan puisi? Itu dalah Pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang banyak orang bilang menjemukan. Tapi saya menyukai puisi karena puisi itu indah. Seni adalah sebuah karya yang indah. Puisi adalah karya sastra dan indah. Jadi saya begitu bahagia ketika saya mengambil sikap bahwa sastra itu termasuk dalam sebuah karya seni. Seni mengolah kata menjadi indah, atau menjadi lebih bermakna dari apa yang seharusnya. Karena saya pun menemukah hal yang semiotik dalam karya rupa dan gerak seperti halnya bahasa khususnya yang dibentuk dalam karya sastra. Saya juga menemukan bahwa musik memiliki alur seperti sebuah cerita.
Namun setiap hal punya dua sisi seperti koin. Seperti halnya karya rupa, musik, dan gerak yang memiliki sisi ‘tak dimengerti’ oleh penikmatnya jika hal tesebut merupakan karya seni, sastra juga memiliki sisi koin tersebut.  Terkadang orang tak mengerti bahwa hal itu adalah karya sastra dan lebih menyedihkan lagi tak ingin mengnganggap karya tersebut masuk dalam karya sastra. Analoginya seperti ketika saya tak mengerti tentang seni lukis dengan aliran absurd atau abstrak. Misalnya ketika penikmat lukis menikmati karya ‘untitled’ karya Wassily Kandinsky yang disana dilukiskan ada garis-garis, goresaan tinta, dan noda-noda cat yang berwarna-warni di sebuah background berwarna putih dan tidak terlalu padat itu menganggap karya tersebut sebagai sebuah karya masterpiece, lain lagi dengan saya. Saya hanya melihat seperti goresan spontan anak TK yang sedang senang bermain dengan crayon warna  baru pemberian ibunya. Tak ada gagasan disana menurut saya.
Seperti itu juga sastra baik prosa panjang, prosa pendek, maupun puisi.  Banyak karya sastra yang tak dimengerti mengapa itu menjadi karya sastra yang begitu bagus, dan mengapa yang lain tidak, atau mengapa karya ini bisa digolongkan sebagai karya sastra sedangkan karya yang lain tidak. Saya ambil contoh puisi berjudul Kotak Sembilan milik Sutardji yang didalamnya hanya berisi kotak persegi besar yang kemudian dibagi lagi menjadi 9 kotak persegi yang lebih kecil. Saya mengenal bentuk tersebut sejak kecil, ada permainan SOS yang memakai bentuk dasar kotak sembilan tersebut untuk memainkannya. Namun ketika saya menggambarkannya itu tidak disebut puisi. Puisi menurut saya misalkan saja seperti puisi anak SD yang bercerita tentang hidung karya Aldi Hairul berikut ini:
HIDUNG
Aku bisa mencium bunga mawar
Aku bisa mencium kentut
Aku bisa mencium bau kaos kaki
Aku bisa mencium bau kotoran anjing
Aku bisa mencium bau badan
Aku bisa mencium bunga matahari
Semua karena kupunya hidung yang baik
Terima kasih hidung!

Karya Aldi diatas lebih bisa saya sebut sebagai puisi daripada sebentuk kotak sembilan. Tapi pada kenyataannya Kotak Sembilan merupakan puisi yang bagus dan sering dibahas dimana-mana termasuk di bangku perkuliahan anak satra Indonesia. Mungkin terlalu jauh ketika saya membandingkan karya penyair Sutardji dengan karya seorang anak SD. Sekarang saya akan mencoba membandingkan puisi karya saya yang belum sempat saya beri judul dengan karya seorang penulis muda dari Yogyakarta bernama Bernard Batubara (Bara) dalam kumpulan puisinya Angsa-angsa Ketapang. Berikut ini puisi saya:
Tanpa Judul
sunyi 
hampa 
pekuburan itu 
sama saja dengan diriku 
menyimpan aroma kematian 
tentang perasaan

dan berikut ini puisi Bara:
Mei, Sore Hari Saat Minum Teh yang Begitu Pahit Aku Teringat tentang Rumah Tua di Dalam Hutan Pinus Tempat Kita Dahulu Pernah Ingin Terjun ke Jurang di Dekatnya dan Menceburkan Diri ke Kali di Bawahnya
Di mana sempat kulihat kandang merpati
Pintunya terbuka

Dan sehelai bulu mungil
Terkulai
Dibaliknya

Ya, anda memang tidak salah melihat. Judul puisi milik Bara memang lebih panjang dari isi puisinya yang begitu lugas mendeskripsikan pemandangan yang ia lihat dari rumah tua tersebut. Sedangkan dalam puisi saya, saya mencoba mengolah kata menjadi indah untuk menyampaikan kesepian saya. Sama-sama puisi yang tidak memperhatikan rima-irama atau apapun itu. Bedanya puisi Bara sudah memiliki keabsahan sebagai puisi sedangkan milik saya belum.
Selain puisi, pada karya prosa juga terjadi hal yang sama. Banyak penulis prosa saat ini bermunculan, akan tetapi tidak semua bisa disebut sastrawan atas dasar karyanya. Misalkan saja ketika ditanya, Fira Basuki yang memiliki latar cerita filosofi kejawen dan perjalanan spiritual (Trilogi Atap, Jendela, Pintu) dengan Bilangan Fu (Serial) karya Ayu Utami dengan latar cerita yang juga mengangkat hal-hal berbau spiritual, siapakah diantara mereka yang layak untuk digolongkan sebagai sastrawan? Kebanyakan akan menjawab Ayu Utami, sedangkan Fira Basuki bisa jadi malah tak banyak yang tahu. Padahal karya mereka hampir mirip. Namun nama Fira Basuki sulit untuk digolongkan sebagai penulis karya sastra.
Lalu prosa-prosa pop lain yang saat ini banyak bermunculan seperti kumpulan cerita tentang perjalanan milik Windy Ariestanty terbitan Gagas Media yang berjudul ‘Life Traveler’ dan kumpulan cerita ‘Madre’ milik Dewi ‘Dee’ Lestari yang tidak bisa disebut kumcer maupun antologi puisi karena keduanya bergabung. Apakah karya-karya mereka bisa masuk dalam kategori karya sastra Indonesia? Apakah mereka bisa digolongkan sebagai sastrawan? Apakah sekali melekat nama sastrawan ataupun penyair berarti selamanya apa yang mereka tuliskan adalah karya sastra? Jika karya mereka bukan sastra dan bukan pula karya ilmiah, termasuk kedalam kategori apakah tulisan mereka?
Saya jadi teringat ketika saya bertanya pada salah satu dosen sastra saya tentang ‘seperti apa hakikatnya yang disebut puisi’?  Cara mudahnya memamng melihat jika kumpulan kata dengan tipografi tertentu tersebut ada dalam kumpulan puisi, maka itu adalah puisi. Lalu bagaimana jika saya menggambar sebuah segitiga dengan segala makna yang saya miliki tentang segitiga tersebut dan saya beri judul ‘Segitiga’, maka itu bisa dinamakan puisi seperti milik Sutardji atau tetap tidak bisa karena Sutardji adalah seorang penyair yang bisa bebas mengatakan bahwa karyanya adalah puisi, sedangkan saya yang hanya seorang mahasiswa tidak bisa semudah itu mengatakan bahwa karya saya adalah puisi? Apakah faktor egoisitas bahwa penulis itu terkenal berpengaruh untuk menyebutkan ke dalam kategori mana karya mereka? Siapa yang sesungguhnya berhak mengetuk palu atas keabsahan suatu karya disebut karya sastra? Penulis, Pembaca, atau komunitas sastra yang sudah diakui?
Dosen saya hanya menjawab dengan sebuah analogi kurang lebih seperti ini,” kain lap yang digunakan oleh Picasso untuk membersihkan noda cat di kuasnya pun diakui sebagai maha karya Picasso oleh penganutnya, bahkan mungkin oleh dunia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar