Jumat, 10 Januari 2014

Elang, Haruskah Aku Mendendam Pada Lautan? [a chapter]



Aku ingin terbang tinggi
Seperti elang
Melewati siang malam
Menembus awan

Ini tanganku untuk kau genggam
Ini tubuhku untuk kau peluk
Ini bibirku untuk kau cium
Tapi tak bisa kau miliki... aku

Tak usah kau terus tangisi kepergianku
Air mata takkan memanggilku
Untuk kembali...

Aku adalah mimpi - mimpi sedang melintasi
Sang perawan yang bermain dengan perasaan

(Aku adalah mimpi - mimpi, tiada arti)
(Aku ingin terbang tinggi seperti elang)
[elang_dewa19]


Lagu 'Elang' dari Dewa19 malam itu mengalun dari suara-suara kami yang tak seberapa merdu diiringi gitar yang salah satu senarnya baru saja putus. Kami menyanyi, lebih tepatnya berteriak di tengah-tengah malam. Toh tak ada yang mendengar kecuali kami diantara gedung-gedung perkuliahan yang telah senyap itu. Tengah malam, kalau bukan anak-anak seperti kami ya pasti lebih memilih sudah meringkuk dalam kamar berselimuttebal yang nyaman daripada untuk sekedar latihan dan mengobrol ngalor-ngidul. Lagu-lagu yang dimainkan sesuka hati, tak direncanakan.

Sesaat aku tak ikut berteriak melantunkan lagu itu. Aku diam dan meresapi liriknya. Air mukaku berubah. Dari baja tiba-tiba menjadi air. Diam dan seolah tenang namun rapuh meski hanya kecipak kecil yang datang.

Aku memandang jauh ke depan. Elang. Seolah aku menemukan sesuatu. Ya, aku menemukan bagaimana caraku harus menyebutmu, memanggilmu. Aku menemukanmu di kedalaman lagu itu.
Kau, orang yang tak pernah bisa terikat, tak pernah bisa tinggal. Kau orang yang lebih memilih untuk kemana pun, sesuka hatimu, semau hatimu, seinginmu. Kadang kamu disini begitu lama, kadang kau pulang kerumah sekejap, kadang kau pulang kerumah lama, dan sering kau menghilang. Benar-benar menghilang. Tak ada satu pun yang tahu kau kemana dan sedang apa. Padahal sebagai seorang yang masih belajar di kampus, hampir lima kali dalam seminggu seharusnya kau hadir. Kau lebih senang mengembara ke negeri antah berantah, terbang ke langit lepas, berlayar ke lautan bebas. 

Elang. Kau pernah sejenak hinggap dengan tenang, tapi sayapmu enggan berhenti mengepak. Elang, kau pernah ada saat aku benar-benar bisa memelukmu erat, dan kau seolah membiarkan aku merasakan setiap inchi dirimu. Elang, kau meminta aku untuk menyimpan wangimu. Tapi kau tetap Elang dengan sayap.

Tapi elang itu gagah, kuat, tangguh, dan kau? Kau menjadi Elang tangguh yang lain bagiku meski dari badanmu aku seperti melihat tulang-tulang berbungkus kulit. Tulang-tulang yang menyimpan suatu kekerasan dan kebulatan tekad tersendiri. Kau tangguh namun keras kepala. Elang dan kau sama-sama makhluk gagah yang angkuh untuk terlihat lemah. 




Tak usah kau terus tangisi kepergianku
Air mata takkan memanggilku
Untuk kembali...


Lagu ini, entah mengapa seolah memang hadir dalam sosokmu. Awalnya aku hanya berpikir bahwa tangisanku hanya untuk sebuah pertemuan yang dipisahkan oleh ego masing-masing dan jiwa ketidakterikatanmu, tapi malam selanjutnya aku temukan jawabannya.

Elang, kau tahu? Aku selalu berpikir aku akan mudah melupakanmu saat kita terpisahkan jarak dan ruang. Ternyata? Aku tak pernah siap untuk itu. Aku lebih ingin untuk tetap memelihara kecintaanku padamu daripada aku harus berjarak begitu jauh denganmu. Aku selalu ingin hidupmu membaik dan lebih baik. Apa yang menjadi susahmu sekarang, aku selalu ingin membantumu meski hanya dengan doa-doa yang ku titipkan pada angin agar disampaikan pada Yang Maha.

Entah ini sebuah jawaban atau sebuah jalan dari takdir yang lain. Kau kudengar memilih untuk berpindah dan menyongsong lautan untuk masa depanmu. Semester ini hampir berakhir Elang. Aku kemarin berharap agar kau mau membenahi kuliahmu, kau menjawab seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun tiba-tiba aku dengar kau akan pindah. Kalu saja waktu itu hati bisa se-transparant mungkin, mereka akan tahu sederas apa tangisku dan sekosong apa hatiku saat mendengarmu akan pergi, kau akan membuat jarak yang lain, yang lebih jauh. Aku ingin berjarak denganmu, aku ingin menjaga hatiku, tapi bukan seperti ini yang aku sangkakan.

Ini sebuah keadaan yang paradoksal dari hatiku. Entah aku harus bersyukur atau mendendam bahwa kau ingin memperbaiki hidupmu, dan kau harus pergi dari kami untuk itu. Atau aku mungkin terlalu egois menatap takdir?  Lautan yang selama ini aku cintai dengan cara menyimpan keping-keping lara, haruskah aku mendendam padanya karena menjadi tujuanmu sekarang? Kau akan pergi seperti layaknya jiwo yang lebih dahulu menyeberangi lautan untuk kembali, kembali pada bapak dan emaknya untuk mencari nasib yang lebih baik? Salah apa aku pada lautan itu? Aku sedih Elang jika harus kesekian kalinya berpisah denganmu. Aku terbiasa mencintaimu dengan cara ini. Namun aku masih selalu ingin hidupmu yang lebih baik. 

Bagaimana aku harus mengikhlaskan lagi keadaan ini? Elang, aku tak ingi egois. Tapi aku terlalu sedih. Aku hanya ingin kau mengatakan itu langsung padaku. Aku terlalu terluka pada kepergianmu yang tak pernah dengan kata pamit, meski entah siapa aku bagimu. Tapi aku orang yang yang menyimpan erat wangimu. Elang, aku hanya ingin kau berbicara padaku meski harus sepahit pamitan yang tak berujung. Sepahit pamitan yang entah kau pun tak tahu akan seperti apa nantinya karena kau memilih ingin mendalami ilmu untuk berlayar, sedangkan aku tak bercita-cita memiliki laki-laki yang berpetualang di tengah gelombang. Tapi diantara kita tak pernah ada yang tahu bagaimana nanti. Yang kita tahu saat ini aku masih menjadikanmu kecintaanku, aku masih begitu keras menyayangimu.

Entah Elang, apakah aku harus terus menulis untuk menantikanmu berbicara lagi padaku? Apakah aku harus terus berenang-renang dengan kata-kata untuk menunggumu tiba disampingku? Aku tahu, ini baru sebuah kabar, tapi hatiku sudah sebegitu remuk redamnya mendengarkan kabar ini.
Elang, bantu aku mengakhiri kesedihanku ini. Bantu aku mengakhiri tulisan yang seolah tak habis untuk mengatakan bahwa aku belum siap harus berjarak yang lebih jauh lagi denganmu.

Elang....
Jangan pergi tanpa pamit (lagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar