Rabu, 22 Januari 2014

Ketika Penerbit Berbicara [catatan]



Seperti biasa saat itu aku sedang asik scrolling twitter, mencari-cari hal yang menarik di timeline. Selalu menarik ketika nama beberapa orang (baca: penulis) itu muncul, apalagi kalau muncul dengan link blog pribadi mereka dan hestek #newpost. Dua hari lalu aku menemukan postingan menarik ini di timeline. Postingan dari Mba' Windy. Sayangnya masih terpenggal-penggal pada batasan 140 karakter. Untuk itu sekarang aku mencoba mentranskrip dan menyatukannya agar lebih enak dibaca karena sayang kalau kicauan ini lewat begitu saja.
Kata @benzbara_ tentang tulisan Mba' W ini lewat akun twitternya :
siapapun yang memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis, bisa bawa tweets @windyariestanty sore ini. #penting
 Sebelumnya, kenapa kicauan-kicauan itu menarik? Karena beberapa waktu lalu aku sempat mendengar sebuah kabar tak sedap dari seorang penulis baru. Siapa dia? Pasti teman-teman yang sedang belajar menulis dan suka blog walking tahu. Dikatakan bahwa buku yang diterbitkan penulis itu bukan buatannya namun diakui miliknya. Selain itu penulis ini dikatakan sebagai selebtwit (waktu itu aku nggak mudeng apa itu selebtwit). Entah benar entah tidak kabarnya, tapi sangat menyedihkan menurutku jika seperti itu kenyataannya. Lalu Karena kabar tak sedap di dunia tulis menulis itu aku juga mencoba untuk jalan-jalan di blog yang berkaitan (membahas) tentang fenomena itu dan fenomena selebtwit. Yang aku serap dari membaca sana-sini tentang selebtwit itu orang yang rajin banget ngetwit tiap hari, followersnya mencapai angka ratusan ribu, banyak retweetannya. Nah, banyak dari seleb twit ini yang tiba-tiba menerbitkan buku. Saat aku jalan-jalan ke Togamas untuk mencari-cari buku dari penulis idolaku, banyak banget disana berjajar buku-buku baru hasil karya selebtwit. Sempat juga aku membaca ada yang mengatakan intinya seperti ini 'percuma nulis buku kalau nggak punya follower banyak. Pasti nggak laku'. Nah lo. Gimana kalau udah kayak gitu? Fenomena ini entah lama kelamaan ternyata menimbulkan semacam ketakutan bagi penulis-penulis pemula. Aku juga orang yang sedang belajar menulis, maka dari itu bahasan pop tentang dunia menulis ini selalu menarik untukku. Dan poin kenapa aku merangkai postingan twitter dari Mba' W ini bukan untuk mendiskriminasi si penyebab keresahan orang-orang yang sedang belajar menulis atau selebtwit yang menerbitkan buku.

Postingan Mba' W kali ini sedikit banyak menurutku juga terilhami dari fenomena menyedihkan disana meskipun Mba' W menuliskan alasan postingan tersebut karena sebuah email dari seorang anak SMA. Mba' W ini adalah seorang penulis, editor, dan published author. Seperti ini kata Mba' W lewat @windyariestanty:

Kayaknya sudah lama gue nggak ngomongin soal penerbitan dan penulisan. Well, sebuah email dari anak SMA siang ini menggerakkan gue. Sebelumnya harus gue sampaikan ini bukan tema yang enak dibahas. Gue juga butuh menimbang-nimbang apakah gue mau membahas ini. Namun email anak SMA ini bikin gue cemas. Ia ingin jadi penulis, namun ia berpikir membatalkannya karena membaca twit seorang penulis. Jadi, gue putuskan mari kita membahasnya agar jelas di semua pihak atau siapa pun yang ingin menjadi penulis buku. Si anak bertanya tentang isi lama. 'kata akun xxxxxx percuma nulis buku bagus kalau follower kita nggak banyak, kak. Gak bakal laku.' Si akun xxxxx tersebut adalah seorang penulis yang kebetulan penjualan bukunya tak cukup bagus. Ia memuntahkan kekesalannya ke sosmed. Anak ini follower penulis tersebut. Ia jadi gentar untuk mengirimkan naskahnya karena sejumlah alasan yang disampaikan penulis idolanya.
 Begini, pertanyaan paling dasar yang gue ajukan, 'apakah ada penerbit di muka bumi ini yang berharap buku terbitannya tak laku?' Gue berani bertaruh 100% gak bakal ada yang mau. Setiap penerbit menerbitkan karya seorang penulis karena ia melihat sesuatu di naskah itu. Untuk menerbitkan 1 judul beroplag min. 3000 saja, penerbit berinvestasi puluhan juta. Belum termasuk biaya lainnya di luar ongkos produksi.
 Di dalam dunia penerbitan, gue sendiri mengenal 4 kuadran terbitan. Dan ini yang gue lihat selama hampir 10 tahun gue main di industri ini. 1. ada buku bagus yang penjualannya bagus; 2. ada buku bagus yang penjualannya tidak bagus; 3. ada buku jelek penjualan bagus; dan yang ke-4 inilah yang berusaha mati-matian dihindari penerbit: buku jelek yang penjualannya jelek.
Begitulah wajah pasar. Tak ada seorang pun yang mampu menebaknya dengan tepat. Gue sendiri nggak pernah bisa jawab kalo ada yang nanya ini. 'Gimana caranya bikin buku bestseller, mbak w?' Guys, kalau gue udah tahu, maka gue nggak bakal puyeng mikirin omzet yang naik-turun. ;p
 Nah, kalau gue dan teman-teman di gagasmedia grup tahu rumusan bikin buku bestseller, kita udah jadi penerbit paling kaya di dunia, dong. Yang kami tahu sebagai penerbit kami berupaya menebak pasar. Penerbit mayor atau indie semuanya sama, kita berhadapan dengan pasar. Jadi, ketika sebuah buku yang kami anggap bagus justru tidak direspons pasar, itu juga sebuah kekecewaan bagi penerbit. Tapi apakah kami lantas menyalahkan pembaca (baca: pasar)? menyalahkan penulis karena membuat karya tak laku? Tentu tidak. Semua jadi PR. Atau kalau sekarang, tiba-tiba menganggap faktor follower lah yang membuat sebuah buku laku. Kawan, mari gue beri tahu: TIDAK.
Baru-baru ini gagasmedia menerbitkan sebuah novel karya anak SMA yang tak main di jejaring media sosial. Ia juga bukan seorang pesohor. Bukunya #tearsinheaven mendapatkan respon positif. Nama penulisnya Angelia Caroline. Kami mempromosikan buku ini lewat media sosial. Banyak juga penulis lama yang lahir sebelum era twitter tak memiliki follower hingga ribuan. Namun, tetap saja penjualan bukunya bagus. Media sosial buat gue hanyalah salah satu alat untuk mengetahui apakah seseorang punya 'konten'. Dulu pada 2000-an, blog adalah alat itu. Ketika twitter booming, maka mereka yang memiliki konten menarik yang biasanya mampu menarik audiens untuk mengklik 'follow'. Tarik mundur lagi. Masih ingat zaman Anita Cemerlang? Yang suka baca cerpen umumnya beli majalah ini. Kenapa? Karena kontennya. 
Selamanya, menjadi penulis adalah persoalan apa yang kita sampaikan di tulisan kita. Bukan soal follower. Bukan soal siapa yang lo kenal. Penerbit bertaruh soal 'konten' itu. Sama seperti para penulis. Penerbit bahkan tidak hanya berhenti pada persoalan laku-tidak laku. Ketika buku terbitannya tidak laku, ia berhadapan dengan persoalan stock yang menumpuk di gudang & bagaimana mencari pasar alternatifnya. Ketika sebuah buku tak direspons dengan baik, penerbit pun sebenarnya gelisah. Pekerjaan rumahnya panjang. Belum lagi menghadapi penulisnya. Hal lain yang perlu dipahami, zaman berubah. Penlis sekarang justru lebih memiliki alternatif sarana berpromosi yang lebih banyak.
Realitas: Penerbit tak hanya mengurusi satu penulis. Ia tak hanya memikirkan penulis yang bukunya telah terbit, tetapi juga yang belum. Berdasarkan pendeknya pengalaman gue, gue merumuskan satu hal: alat berpromosi paling ampuh dari sebuah tulisan adalah penulisnya. Sewajarnya penulis berjuang mati-matian menjadi juru bicara untuk karyanya. Penerbit akan mendukung sesuai kapasitas. Di industri perbukuan dan penulisan: content in the king. Itu tak pernah terbantahkan. Namun 'pasar' selamanya adalah sebuah misteri. Berhentilah menyalahkan banyak pihak. Menyalahkan jumlah follower, menyalahkan selera baca, menyalahkan penerbit.
Kalau ingin jadi penulis, maka menulis. Kalau ingin tahu bagaimana menulis yang baik, maka bacalah banyak buku dan menulislah lagi. Kalau kau menjadikan followr atau penjualan yang buruk sebagai alasan untuk tidak atau berhenti menulis, maka gue hanya bisa bilang 2 hal. Penulis adalah profesi yang menuntut ketahanan mental. Kedua, Penulis bukan profesi untuk para pemalas.
Jadi Kau mau berhenti menulis?
 Begitulah yang sudah dituliskan Mba' W lewat akun twitternya.

Ya, dulu aku termasuk orang yang resah karena tiba-tiba banyak akun twitter (kadang dengan nick bukan nama orang) tiba-tiba berlomba-lomba menerbitkan buku. Kadang ketika aku membaca samplenya aku berpikir 'eman-eman beli buku yang kayak gini. Sama aja cuma baca twit orang. Eman-eman kertasnya yang buat nyetak.'

Tidak berarti aku mengatakan bahwa tulisan mereka jelek. Ada kok pasti dari mereka yang tulisannya bagus, hanya saja baru dalam kesempatan ini tulisan mereka bisa diterbitkan. Ada juga tulisan yang sangat bagus tapi penggemarnya memang minoritas sehingga tidak bisa jadi bestseller, mengingat sekarang ini banyak yang  lebih suka sesuatu hal yang mainstream dan ringan.

Aku juga orang yang belum bisa menulis dengan baik. Dan aku percaya tulisan yang baik dan bagus itu bukan dari karya instan. Orang-orang dengan tulisan bagus dan buku pertamanya yang terbit jika mendapat respos positif pasti punya latar dan sejarah panjang tentang proses kreatifnya dalam menulis. Cuma memang kadang sayang ketika ada tulisan yang dilihat di twitter atau blog saja cukup, kenapa harus dicetak dan menghabiskan banyak kertas. Dan untuk pembaca seperti aku yang harus cermat ketika membeli buku karena kadang harus menabung lama untuk membeli sebuah buku. Eman-eman ketika kita membeli suatu buku yang 'salah' padahal sudah lama kita menabung. 

Aku sendiri mencoba untuk membaca tulisan-tulisan yang bagus dan baik agar bisa memberikan pengaruh positif dalam proses kreatifku menulis (semoga). Tulisan-tulisan dari penulis baru tersebut, atau selebtwit memang jarang menjadi alternatif bacaanku. Ini memang menyangkut selera jenis bacaan seperti apa yang ingin kita baca, bukan karena aku 'menuduh' bahwa tulisan tersebut jelek. Buku-buku dari penulis pemula, pasti mereka juga punya penggemar sendiri kok. Misalnya saja aku sekarang tidak begitu suka membaca novel aliran teenlith dan sebangsanya, itu bukan karena tulisannya jelek tapi karena saya sendiri yang sudah beralih minat bacanya dan lebih menyukai karya-karya Dee, Ayu Utami, Fira Basuki atau Mba' Windy. Namun ketika dulu aku masih SMP, mungkin malah buku-buku penulis baru itu yang aku baca karena ringan untuk dibaca dan tak perlu mengerutkan dahi ketika membaca.

Ini hanya sebuah pendapat saja dari seorang aku yang sedang tertarik untuk menulis menaggapi fenomena yang ada di dunia penulisan saat ini. Kritik dan saran saya terima dengan lapang, apalagi tulisan ini menyangkut tentang banyak orang. Mungkin ada pendapat saya yang salah dan perlu diluruskan, sumangga.

Terimakasih yang bersedia membaca dan yang bersedia memberikan respon :)
Tetap terus berkarya :)

Kamis, 16 Januari 2014

Catatan Lepas Berproses Sri Bersama Rendezvous [a chapter]

foto: @ugaangga

Aku tak bisa menatap apa pun. Semuanya kabur. Hanya campuran warna yang aku lihat dari kotak akuarium raksasa itu. Seperti itu aku melihat kerumunan penonton tanpa kacamata merah yang sudah terbiasa menyatu dengan mataku. Semalam adalah sebuah waktu, entah untuk pembuktian, entah puncak, entah awal, yang pasti waktu untuk memperlihatkan hasil kami berproses.

Aku sendiri tak pernah menyangka akhirnya bisa berada dalam sebuah panggung yang digagas oleh Teater Garasi, dimana aku selama ini hanya berangan bisa bersentuhan dengan mereka. Sebuah hajatan ulang tahun ke-20 untuk Teater Garasi. Mengangkat tajuk berjudul 'Bertukar Tangkap Dengan Lepas', dua minggu penuh mereka mengadakan pameran dokumentasi pentas dan festival pertunjukan reenactment & recreation. Sebuah gagasan baru untuk merekaulang sejarah (baca: pementasan) yang pernah dilakukan dengan mengimitasi dan mengkreasikan kembali.

para penggagas

Berasal dari pemikiran orang-orang yang menyatakan diri mereka selo aku diajak untuk bergabung dalam proses penggarapan 'Sri', sebuah naskah saduran karya yang berjudul 'Yerma' dan pernah digarap oleh Teater Garasi dengan sutradara Gunawan Maryanto di tahun 1999. Tahun dimana Teater Garasi pertamakali berproses setelah keluar dari lingkup kampus. Moments of timeless pleasure membuat RendeZvous ( @RdZvs_ ) ada untuk menggarap proses ini. Sebuah proses yang dikatakan sebagai hadiah untuk tuan rumah yang sedang berulangtahun. Aku bukan salah satu penggagas RendeZvous. Aku hanya salah satu orang yang beruntung mendapatkan kesempatan berproses bersama mereka. Untuk itulah aku mendedikasikan catatan lepas ini untuk mereka yang bersusah payah melahirkan RendeZvous.

kita ikut @RdZvs_

Reenactment, kata yang baru sekali itu aku dengar. Mas Baim kemudian menjelaskan bagaimana konsep reenactment pada Linda, Dzik, dan aku yang awalnya akan di-casting untuk dua peran yang sedang mereka cari. Akhirnya Mas Giant memutuskan bahwa kami semua dilibatkan. Bersama dengan Asthi, Mb Erny, Mas Fiqi, dan Mas Fajar akhirnya kami didapun menjadi aktor reenactment 'Sri' untuk hajatan 20th Teater Garasi. Proses yang benar-benar baru untuk kami, dan sukanya berproses disini adalah kami semua yang terlibat sama-sama mempelajari hal baru. Bagaimana Mas Giant, Mas Baim, Mas Culis mendebatkan konsep yang akan kami tampilkan sebagai wujud reenactment karena kata mereka konsep ini juga masih belum punya patokan pakem. Bagaimana Mas Danu dan Mas Jury berusaha untuk mencari kostum dan segala properti agar menjadi semirip mungkin dengan video 'Sri' yang kami reenact. Bagaimana konseptor berdebat untuk mengambil bagian pementasan yang berdurasi 1 jam 14 menit ini untuk dimampatkan menjadi 30menit namun tak kehilangan inti cerita. Bagaimana kami para aktor berusaha membuat tone, intonasi, dan gesture yang mirip dengan video yang sudah berumur sekitar 15 tahun itu.
disela-sela latihan 'Sri'


makan bersama saat proses

Banyak proses alot yang mereka lakukan tapi tidak aku ketahui. Tapi, apapun itu proses ini telah dijalankan oleh masing-masing kami sesuai dengan porsi. Dan lagi-lagi aku harus mengamini bahwa 'belajar itu untuk siapa saja, kapan saja' tak kenal usia. Aku menjadi yang muda diantara mereka, dan aku belajar tentang proses mereka belajar selain aku mempelajari tugas pengkarakteranku. Selain itu aku juga belajar dari tiga orang yang lebih muda dari aku. Di RendeZvous aku belajar tentang semangat mereka semua menjalani sebuah proses meskipun halangan itu tidak ringan. Dimana pada mulanya konsep yang sudah dirancang mendapat warning mengingat tantangan kami yang sebesar itu dan hanya kami lalui dalam waktu 2 minggu. Tapi optimisme teman-teman membuat aku juga yakin bahwa kami bisa.
Pementasan 'Sri' reenactment 

Pementasan 'Sri' reenactment 2

Hasilnya, bukan kami yang berkata tapi kalian yang menonton pertunjukan kami semalam lah yang berkata.

capture testimoni 1

capture testimoni 2

capture testimoni 3

capture testimoni 4

'Sri' membuat aku belajar banyak hal. RendeZvous membuat aku mengenal lebih banyak teman. RendeZvous membuat aku mencicipi sedikit angan yang selama ini masih menjadi anganku. Terimakasih untuk sebuah kesempatan yang sudah diberikan.

selesai pentas

:: Terimakasih Mas Giant, Mas Baim, Mas Danu, Mas Culis, Mas Fajar, Mas Jury, Mas Fiqi, Dimas, Mas Pay, Asthi, Linda Dzik, Mb Erny

Jumat, 10 Januari 2014

Elang, Haruskah Aku Mendendam Pada Lautan? [a chapter]



Aku ingin terbang tinggi
Seperti elang
Melewati siang malam
Menembus awan

Ini tanganku untuk kau genggam
Ini tubuhku untuk kau peluk
Ini bibirku untuk kau cium
Tapi tak bisa kau miliki... aku

Tak usah kau terus tangisi kepergianku
Air mata takkan memanggilku
Untuk kembali...

Aku adalah mimpi - mimpi sedang melintasi
Sang perawan yang bermain dengan perasaan

(Aku adalah mimpi - mimpi, tiada arti)
(Aku ingin terbang tinggi seperti elang)
[elang_dewa19]


Lagu 'Elang' dari Dewa19 malam itu mengalun dari suara-suara kami yang tak seberapa merdu diiringi gitar yang salah satu senarnya baru saja putus. Kami menyanyi, lebih tepatnya berteriak di tengah-tengah malam. Toh tak ada yang mendengar kecuali kami diantara gedung-gedung perkuliahan yang telah senyap itu. Tengah malam, kalau bukan anak-anak seperti kami ya pasti lebih memilih sudah meringkuk dalam kamar berselimuttebal yang nyaman daripada untuk sekedar latihan dan mengobrol ngalor-ngidul. Lagu-lagu yang dimainkan sesuka hati, tak direncanakan.

Sesaat aku tak ikut berteriak melantunkan lagu itu. Aku diam dan meresapi liriknya. Air mukaku berubah. Dari baja tiba-tiba menjadi air. Diam dan seolah tenang namun rapuh meski hanya kecipak kecil yang datang.

Aku memandang jauh ke depan. Elang. Seolah aku menemukan sesuatu. Ya, aku menemukan bagaimana caraku harus menyebutmu, memanggilmu. Aku menemukanmu di kedalaman lagu itu.
Kau, orang yang tak pernah bisa terikat, tak pernah bisa tinggal. Kau orang yang lebih memilih untuk kemana pun, sesuka hatimu, semau hatimu, seinginmu. Kadang kamu disini begitu lama, kadang kau pulang kerumah sekejap, kadang kau pulang kerumah lama, dan sering kau menghilang. Benar-benar menghilang. Tak ada satu pun yang tahu kau kemana dan sedang apa. Padahal sebagai seorang yang masih belajar di kampus, hampir lima kali dalam seminggu seharusnya kau hadir. Kau lebih senang mengembara ke negeri antah berantah, terbang ke langit lepas, berlayar ke lautan bebas. 

Elang. Kau pernah sejenak hinggap dengan tenang, tapi sayapmu enggan berhenti mengepak. Elang, kau pernah ada saat aku benar-benar bisa memelukmu erat, dan kau seolah membiarkan aku merasakan setiap inchi dirimu. Elang, kau meminta aku untuk menyimpan wangimu. Tapi kau tetap Elang dengan sayap.

Tapi elang itu gagah, kuat, tangguh, dan kau? Kau menjadi Elang tangguh yang lain bagiku meski dari badanmu aku seperti melihat tulang-tulang berbungkus kulit. Tulang-tulang yang menyimpan suatu kekerasan dan kebulatan tekad tersendiri. Kau tangguh namun keras kepala. Elang dan kau sama-sama makhluk gagah yang angkuh untuk terlihat lemah. 




Tak usah kau terus tangisi kepergianku
Air mata takkan memanggilku
Untuk kembali...


Lagu ini, entah mengapa seolah memang hadir dalam sosokmu. Awalnya aku hanya berpikir bahwa tangisanku hanya untuk sebuah pertemuan yang dipisahkan oleh ego masing-masing dan jiwa ketidakterikatanmu, tapi malam selanjutnya aku temukan jawabannya.

Elang, kau tahu? Aku selalu berpikir aku akan mudah melupakanmu saat kita terpisahkan jarak dan ruang. Ternyata? Aku tak pernah siap untuk itu. Aku lebih ingin untuk tetap memelihara kecintaanku padamu daripada aku harus berjarak begitu jauh denganmu. Aku selalu ingin hidupmu membaik dan lebih baik. Apa yang menjadi susahmu sekarang, aku selalu ingin membantumu meski hanya dengan doa-doa yang ku titipkan pada angin agar disampaikan pada Yang Maha.

Entah ini sebuah jawaban atau sebuah jalan dari takdir yang lain. Kau kudengar memilih untuk berpindah dan menyongsong lautan untuk masa depanmu. Semester ini hampir berakhir Elang. Aku kemarin berharap agar kau mau membenahi kuliahmu, kau menjawab seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun tiba-tiba aku dengar kau akan pindah. Kalu saja waktu itu hati bisa se-transparant mungkin, mereka akan tahu sederas apa tangisku dan sekosong apa hatiku saat mendengarmu akan pergi, kau akan membuat jarak yang lain, yang lebih jauh. Aku ingin berjarak denganmu, aku ingin menjaga hatiku, tapi bukan seperti ini yang aku sangkakan.

Ini sebuah keadaan yang paradoksal dari hatiku. Entah aku harus bersyukur atau mendendam bahwa kau ingin memperbaiki hidupmu, dan kau harus pergi dari kami untuk itu. Atau aku mungkin terlalu egois menatap takdir?  Lautan yang selama ini aku cintai dengan cara menyimpan keping-keping lara, haruskah aku mendendam padanya karena menjadi tujuanmu sekarang? Kau akan pergi seperti layaknya jiwo yang lebih dahulu menyeberangi lautan untuk kembali, kembali pada bapak dan emaknya untuk mencari nasib yang lebih baik? Salah apa aku pada lautan itu? Aku sedih Elang jika harus kesekian kalinya berpisah denganmu. Aku terbiasa mencintaimu dengan cara ini. Namun aku masih selalu ingin hidupmu yang lebih baik. 

Bagaimana aku harus mengikhlaskan lagi keadaan ini? Elang, aku tak ingi egois. Tapi aku terlalu sedih. Aku hanya ingin kau mengatakan itu langsung padaku. Aku terlalu terluka pada kepergianmu yang tak pernah dengan kata pamit, meski entah siapa aku bagimu. Tapi aku orang yang yang menyimpan erat wangimu. Elang, aku hanya ingin kau berbicara padaku meski harus sepahit pamitan yang tak berujung. Sepahit pamitan yang entah kau pun tak tahu akan seperti apa nantinya karena kau memilih ingin mendalami ilmu untuk berlayar, sedangkan aku tak bercita-cita memiliki laki-laki yang berpetualang di tengah gelombang. Tapi diantara kita tak pernah ada yang tahu bagaimana nanti. Yang kita tahu saat ini aku masih menjadikanmu kecintaanku, aku masih begitu keras menyayangimu.

Entah Elang, apakah aku harus terus menulis untuk menantikanmu berbicara lagi padaku? Apakah aku harus terus berenang-renang dengan kata-kata untuk menunggumu tiba disampingku? Aku tahu, ini baru sebuah kabar, tapi hatiku sudah sebegitu remuk redamnya mendengarkan kabar ini.
Elang, bantu aku mengakhiri kesedihanku ini. Bantu aku mengakhiri tulisan yang seolah tak habis untuk mengatakan bahwa aku belum siap harus berjarak yang lebih jauh lagi denganmu.

Elang....
Jangan pergi tanpa pamit (lagi)

Kamis, 09 Januari 2014

Tentang Cita-cita [a chapter]




“Apa cita-cita kalian?”
Seperti itu kira-kira gambaran  sewaktu kita kecil dulu saat orang-orang dewasa menanyai kita. Jawaban kita?
“Aku mau jadi insinyur”
“Kalo’ aku jadi polisi”
“Dokteeeeeer”
“Aku mau jadi guru”

Apa dulu jawabanmu? Ada yang berbeda? Aku punya keyakinan hampir 95% untuk mengatakan ‘Ya’ sebagian besar dari kita akan menjawab dengan jenis-jenis pekerjaan diatas atau pekerjaan sejenis. Pekerjaan yang berpangkat, terlihat,  gagah, mewah, mentereng. Sampai saat ini pun ketika saya bertanya pada anak-anak kecil, ya pokoknya yang berumur dibawah saya, masih banyak yang menjawab dengan menyebutkan pekerjaan-pekerjaan diatas. Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban-jawaban itu. Justru bagus sudah menanamkan cita-cita yang tinggi lagi mulia, berguna untuk sesama.

Aku dulu juga seperti itu, ketika ditanya tentang cita-cita atau diminta untuk menuliskan cita-cita aku selalu menjawabnya dengan menyebutkan pekerjaan GURU. Sebuah cita-cita yang aku yakin sampai kapan pun merupakan cita-cita paling mulia, karena dalam kitab umat Islam pun dikatakan untuk menuntut ilmu meski sampai depan liang lahat. Selain itu juga karena ibuku adalah seorang guru yang hebat untukku. Beliau bisa mencerdaskan beribu anak orang dibangku sekolah hingga sekarang, dan beliau tak lupa untuk membuat aku dan saudara-saudaraku pintar. Aku yakin apa yang terpatri dalam diriku saat ini, meskipun tanpa belajar aku tetap mampu mengatasi segala hal akademikku, tidak lain berkat gen dari ibuku dan ketelatenan beliau merawatku dalam masa-masa pertumbuhan dulu. Sewaktu sekolah dasar aku tak pernah mendapat ranking dibawah tiga. Ya, itu kadang membuat teman-temanku iri, tapi apa iya aku harus mengingkari anugerah Tuhan. Lalu sewaktu SMP aku masuk dalam rangking 30 besar paralel dengan jumlah 200 siswa di angkatanku. Saat SMA, entah aku lupa karena waktu itu rangking sudah tak begitu dipedulikan, yang jelas aku lulus UAN dan bisa masuk PTN lewat jalur SNMPTN tanpa kendala yang berarti. Puji Syukur, anggap saja itu lancar. Tapi disini bukan berarti aku memberikan contoh untuk tak acuh pada belajar. Sekali lagi ‘belajarlah walaupun sampai depan  liang lahat’. Mungkin tanpa aku sadari waktu itu aku punya metode belajar sendiri yang tidak sama dengan cara belajar teman-teman yang lain atau yang kalian lakukan. Seperti aku lebih senang membawa bukuku untuk sekedar dibaca saat aku juga sedang asik bermain kasti dengan teman-temanku. Entah bagaimana, tapi waktu itu aku bisa. Atau aku belajar IPA dari buku cerita yang dibawakan oleh ibuku dari perpustakaan di sekolahnya. Belajar dari buku yang lebih menyenangkan dan itu bukan buku yang dipakai secara massal dikelas sehingga aku merasa membaca hal yang berbeda dengan teman-temanku. Ya, sampai SD kelas enam aku mendapat suply buku dari Om yang tak dimiliki oleh teman-teman lain. Dan itu mengasyikkan.

Kembali pada cerita cita-cita. Saat mulai beranjak masuk pada usia-usia mencari jati diri, mencari hal yang berbeda dengan orang lain, menjadi kritis, menjadi realistis, dan menjadi kreatif hampir 50% orang akan mebuang cita-cita masa kecilnya (prosentase menurut insting penulis). Pikiran orang makin berkembang, itu sudah pasti, dan itu membuat orang terpacu untuk lebih realistis meletakkan cita-citanya. Realistis pada sumber daya diri masing-masing dan pencapaian yang didapat meskipun tekad itu juga mutlak ada. Selain itu kita juga semakin tahu bahwa pekerjaan tidak hanya itu-itu saja. Tak ada anak kecil yang berpikir untuk bercita-cita menjadi editor, tapi toh pekerjaan itu ada, menyenangkan, dan untuk masalah finansial justru sangat bagus. Ada pekerjaan yang isinya hanya berangan-angan tapi toh justru lebih menghasilkan, menjadi copywriter contohnya. Mungkin juga kita bisa punya cita-cita menjadi pengusaha sukses bidang kuliner atau peternakan. Itu justru lebih menguntungkan sekarang. Kita bisa menjadi bos dan mempunyai pegawai, membuka lapangan pekerjaan. Lebih realistis daripada kita menggantungkan diri pada sebuah instansi. Intinya kita memberdayakan kemampuan sendiri. Dan itu juga akan didukung negara karena membantu mereka memperkecil angka pengangguran. Mulia juga kan? Menguntungkan? Iya.  Bermanfaat? Tentu.

Tak ada yang salah dengan cita-cita masa kecil. Ini hanya sebuah coretan karena sesungguhnya aku sendiri pun sedang gamang memilih apa yang akan aku letakkan sebagai cita-citaku ketika aku mulai sadar aku punya keinginan sendiri dan mulai mendengarkan kata hati. Aku ingin menjadi guru (itu sebabnya aku kuliah di jurusan pendidikan), tapi bukan guru yang biasa seperti yang aku temui selama ini. Mungkin aku akan menjadi guru, tapi bukan di ruang kelas. Aku suka membaca, dan aku ingin menjadi mereka. Aku menulis. Aku ingin jadi penulis. Di lain hal aku ingin juga menjadi editor, tapi masih minder sama kemampuan berbahasaku. Bergeser sedikit lagi aku ingin menjadi dramawan dan aktor (sudah lebih dari 6 tahun aku berada di lingkungan teater. Suatu saat aku akan menceritakannya). Satu lagi aku suka menggerakkan tubuhku, and i’ll be a dancer (amiiin). Hahaha, begitu banyak keinginanku. Tak apa, semua itu sedang coba aku rintis, dan suatu saat nanti aku akan menemukan mana tujuanku, mana batu loncatanku, mana hobiku, dan mana tempatku akan mengabdi.

Untuk kita yang sama-sama sedang mengejar mimpi, jangan pernah takut. Meski kadang rasanya tak mungin, tapi tekad akan mengetuk pintu Tuhan untuk membukakan jalan kita.
Semangat Berkarya!

Rabu, 01 Januari 2014

Sastra: Siapa yang Berhak Menentukan Keabsahannya? [esai]


Sastra: Siapa yang Berhak Menentukan Keabsahannya?
Oleh: Bela Yusti Suryani

doc. abdisr.blogspot.com 


Karya sastra masih merupakan hal yang menarik untuk dibahas karena karya sastra itu terus berkembang, sepertihalnya karya seni yang lain (rupa, musik, gerak). Termasuk ketika saat ini saya menjajarkannya dalam kategori seni bersama dengan karya rupa, musik, dan gerak. Semenjak kecil saya tidak diajarkan memaknai sastra itu sebagai salah satu wujud karya seni, begitu pula ketika di sekolah. Seni adalah menggambar, menyanyi, dan menari. Sedangkan puisi? Itu dalah Pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang banyak orang bilang menjemukan. Tapi saya menyukai puisi karena puisi itu indah. Seni adalah sebuah karya yang indah. Puisi adalah karya sastra dan indah. Jadi saya begitu bahagia ketika saya mengambil sikap bahwa sastra itu termasuk dalam sebuah karya seni. Seni mengolah kata menjadi indah, atau menjadi lebih bermakna dari apa yang seharusnya. Karena saya pun menemukah hal yang semiotik dalam karya rupa dan gerak seperti halnya bahasa khususnya yang dibentuk dalam karya sastra. Saya juga menemukan bahwa musik memiliki alur seperti sebuah cerita.
Namun setiap hal punya dua sisi seperti koin. Seperti halnya karya rupa, musik, dan gerak yang memiliki sisi ‘tak dimengerti’ oleh penikmatnya jika hal tesebut merupakan karya seni, sastra juga memiliki sisi koin tersebut.  Terkadang orang tak mengerti bahwa hal itu adalah karya sastra dan lebih menyedihkan lagi tak ingin mengnganggap karya tersebut masuk dalam karya sastra. Analoginya seperti ketika saya tak mengerti tentang seni lukis dengan aliran absurd atau abstrak. Misalnya ketika penikmat lukis menikmati karya ‘untitled’ karya Wassily Kandinsky yang disana dilukiskan ada garis-garis, goresaan tinta, dan noda-noda cat yang berwarna-warni di sebuah background berwarna putih dan tidak terlalu padat itu menganggap karya tersebut sebagai sebuah karya masterpiece, lain lagi dengan saya. Saya hanya melihat seperti goresan spontan anak TK yang sedang senang bermain dengan crayon warna  baru pemberian ibunya. Tak ada gagasan disana menurut saya.
Seperti itu juga sastra baik prosa panjang, prosa pendek, maupun puisi.  Banyak karya sastra yang tak dimengerti mengapa itu menjadi karya sastra yang begitu bagus, dan mengapa yang lain tidak, atau mengapa karya ini bisa digolongkan sebagai karya sastra sedangkan karya yang lain tidak. Saya ambil contoh puisi berjudul Kotak Sembilan milik Sutardji yang didalamnya hanya berisi kotak persegi besar yang kemudian dibagi lagi menjadi 9 kotak persegi yang lebih kecil. Saya mengenal bentuk tersebut sejak kecil, ada permainan SOS yang memakai bentuk dasar kotak sembilan tersebut untuk memainkannya. Namun ketika saya menggambarkannya itu tidak disebut puisi. Puisi menurut saya misalkan saja seperti puisi anak SD yang bercerita tentang hidung karya Aldi Hairul berikut ini:
HIDUNG
Aku bisa mencium bunga mawar
Aku bisa mencium kentut
Aku bisa mencium bau kaos kaki
Aku bisa mencium bau kotoran anjing
Aku bisa mencium bau badan
Aku bisa mencium bunga matahari
Semua karena kupunya hidung yang baik
Terima kasih hidung!

Karya Aldi diatas lebih bisa saya sebut sebagai puisi daripada sebentuk kotak sembilan. Tapi pada kenyataannya Kotak Sembilan merupakan puisi yang bagus dan sering dibahas dimana-mana termasuk di bangku perkuliahan anak satra Indonesia. Mungkin terlalu jauh ketika saya membandingkan karya penyair Sutardji dengan karya seorang anak SD. Sekarang saya akan mencoba membandingkan puisi karya saya yang belum sempat saya beri judul dengan karya seorang penulis muda dari Yogyakarta bernama Bernard Batubara (Bara) dalam kumpulan puisinya Angsa-angsa Ketapang. Berikut ini puisi saya:
Tanpa Judul
sunyi 
hampa 
pekuburan itu 
sama saja dengan diriku 
menyimpan aroma kematian 
tentang perasaan

dan berikut ini puisi Bara:
Mei, Sore Hari Saat Minum Teh yang Begitu Pahit Aku Teringat tentang Rumah Tua di Dalam Hutan Pinus Tempat Kita Dahulu Pernah Ingin Terjun ke Jurang di Dekatnya dan Menceburkan Diri ke Kali di Bawahnya
Di mana sempat kulihat kandang merpati
Pintunya terbuka

Dan sehelai bulu mungil
Terkulai
Dibaliknya

Ya, anda memang tidak salah melihat. Judul puisi milik Bara memang lebih panjang dari isi puisinya yang begitu lugas mendeskripsikan pemandangan yang ia lihat dari rumah tua tersebut. Sedangkan dalam puisi saya, saya mencoba mengolah kata menjadi indah untuk menyampaikan kesepian saya. Sama-sama puisi yang tidak memperhatikan rima-irama atau apapun itu. Bedanya puisi Bara sudah memiliki keabsahan sebagai puisi sedangkan milik saya belum.
Selain puisi, pada karya prosa juga terjadi hal yang sama. Banyak penulis prosa saat ini bermunculan, akan tetapi tidak semua bisa disebut sastrawan atas dasar karyanya. Misalkan saja ketika ditanya, Fira Basuki yang memiliki latar cerita filosofi kejawen dan perjalanan spiritual (Trilogi Atap, Jendela, Pintu) dengan Bilangan Fu (Serial) karya Ayu Utami dengan latar cerita yang juga mengangkat hal-hal berbau spiritual, siapakah diantara mereka yang layak untuk digolongkan sebagai sastrawan? Kebanyakan akan menjawab Ayu Utami, sedangkan Fira Basuki bisa jadi malah tak banyak yang tahu. Padahal karya mereka hampir mirip. Namun nama Fira Basuki sulit untuk digolongkan sebagai penulis karya sastra.
Lalu prosa-prosa pop lain yang saat ini banyak bermunculan seperti kumpulan cerita tentang perjalanan milik Windy Ariestanty terbitan Gagas Media yang berjudul ‘Life Traveler’ dan kumpulan cerita ‘Madre’ milik Dewi ‘Dee’ Lestari yang tidak bisa disebut kumcer maupun antologi puisi karena keduanya bergabung. Apakah karya-karya mereka bisa masuk dalam kategori karya sastra Indonesia? Apakah mereka bisa digolongkan sebagai sastrawan? Apakah sekali melekat nama sastrawan ataupun penyair berarti selamanya apa yang mereka tuliskan adalah karya sastra? Jika karya mereka bukan sastra dan bukan pula karya ilmiah, termasuk kedalam kategori apakah tulisan mereka?
Saya jadi teringat ketika saya bertanya pada salah satu dosen sastra saya tentang ‘seperti apa hakikatnya yang disebut puisi’?  Cara mudahnya memamng melihat jika kumpulan kata dengan tipografi tertentu tersebut ada dalam kumpulan puisi, maka itu adalah puisi. Lalu bagaimana jika saya menggambar sebuah segitiga dengan segala makna yang saya miliki tentang segitiga tersebut dan saya beri judul ‘Segitiga’, maka itu bisa dinamakan puisi seperti milik Sutardji atau tetap tidak bisa karena Sutardji adalah seorang penyair yang bisa bebas mengatakan bahwa karyanya adalah puisi, sedangkan saya yang hanya seorang mahasiswa tidak bisa semudah itu mengatakan bahwa karya saya adalah puisi? Apakah faktor egoisitas bahwa penulis itu terkenal berpengaruh untuk menyebutkan ke dalam kategori mana karya mereka? Siapa yang sesungguhnya berhak mengetuk palu atas keabsahan suatu karya disebut karya sastra? Penulis, Pembaca, atau komunitas sastra yang sudah diakui?
Dosen saya hanya menjawab dengan sebuah analogi kurang lebih seperti ini,” kain lap yang digunakan oleh Picasso untuk membersihkan noda cat di kuasnya pun diakui sebagai maha karya Picasso oleh penganutnya, bahkan mungkin oleh dunia.”

Dari Tugas Esai hingga Sebuah Renungan tentang Resolusi [a chapter]




Seharusnya saat ini aku sedang mengetik sebuah esai tentang sastra khusus sastra Indonesia. Esai ini bahkan harus aku kumpulkan besok pagi pukul 08.00 WIB dan menjadi salah satu faktor penentu nilai mata kuliah Penulisan Kreatif Sastra yang diampu oleh salah satu profesor terpandang di kampus. Beliau adalah orang yang lebih menilai mahasiswa melalui karyanya dan bukan melalui ujian teori apalagi presensi. Dosen yang menyenangkan. Jarang mahasiswa satu kelas merasa sedih ketika dosen mengatakan bahwa ia akan mengakhiri masa kuliah, dengan alasan apapun. Mahasiswa cenderung akan bersuka-ria dan begitu berharap jika dosen akan cepat-cepat mengakhiri masa kuliah mereka meskipun minggu-minggu ujian masih lama. Tapi tidak dengan beliau. Hampir satu kelas meneriakkan ketidakinginannya berpisah dengan mata kuliah ini (tepatnya tak ingin berpisah dengan beliau) ketika beliau berkata :
"Hari ini pertemuan terakhir untuk mata kuliah ini ya."
Terdengar 'ah' yang panjang dikelas yang menandakan kekecewaan kami karena kami sudah dipenghujung kuliah. Di kelas beliau, segalanya menjadi serba menyenangkan. Sebuah kursi pun bisa menyenangkan jika ada di kelas beliau. Bagaimana beliau mendeskripsikan bahwa kursi-kursi yang kami duduki ternyata diam-diam menyimpan ratusan kentut dari mahasiswa lain, sedangkan kami tak pernah membayangkan hal tersebut. Kami justru selalu berebut kursi-kursi penuh kentut itu saat masuk kelas. Bagaimana beliau ddenagn enteng mengambil dompet dari saku belakang jeansnya dan menunjukkan foto istrinya di dalamnya. Beliau kemudian berkata "Tidak tahu kan kalian? foto ini, foto istri saya, hampir setiap hari dibaui kentut, tapi tetap sayang ini", kata beliau sambil menunjuk foto muda dari seorang wanita yang kini sudah paruh baya. Bagaimana beliau membuat kami tiba-tiba harus berdamai dengan seluruh kenangan, sukacita, patah hati, dan segala emosi yang bisa menguras air mata ketika kami harus menuliskan puisi tentang 'jarak'. Bagaimana beliau memberi stimulus bagi kami untuk membuat (rata-rata) cerpen pertama kami. Begitulah cara mengajar beliau.

Kali ini giliran kami diberi stimulus untuk membuat sebuah esai sastra. Aku sangat yakin stimulus yang memang awalnya memaksa ini (karena atas nama kuliah dan tugas kuliah identik dengan suatu pemaksaan yang kadang dirasa tak berguna. Hanya formalitas untuk sebuah nilai dalam KHS), namun saya yakin dan yakin sekali tugas ini akan lebih bermanfaat bagi kami yang nantinya akan menyandang gelar sarjana pendidikan dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Karena hal seperti ini membuat kami senang belajar tentang sastra kami dan akan meningkatkan kualitas berpikir dan daya kritis kami. Karena memang itulah yang kami perlukan untuk bisa masuk kedalam tatanan masyarakat yang sebenarnya.
Hanya saja sampai saat ini aku belum punya gambaran mengenai yang akan aku lakukan untuk memulai membuat esai ini. Ya, ini akan menjadi esai sastra pertamaku, tidak seperti puisi atau cerpen yang sebelumnya aku pernah beberapa kali membuat. Sebenarnya mudah saja bagiku (menurutku) untuk menuliskan sebuah esai sastra karena dari definisinya saja:
Esai Sastra adalah karangan prosa yang mengupas secara sepintas namun akurat, padat, dan berisi mengenai masalah kesusastraan, seni, dan budaya dari sudut pandang penulisnya secara subjektif.

Sumber: http://www.pemustaka.com/esai-sastra-dan-contohnya.html

Jika selama ini ketika membuat sebuah karya tulis atau analisis sastra saya terbebani dengan teori dan pisau analisis yang sudah dipatenkan oleh para ahli sastra maupun filsuf, untuk tulisan yang satu ini seharusnya saya lebih bebas karena sudut pandang yang dipakai adalah subjektif menurut penulis yang dalam hal ini adalah saya. Kendala yang aku hadapi saat ini adalah kebuntuan ide tentang apa yang harus aku bahas. Biasanya ketika aku mendapatkan sebuah tugas menulis aku langsung tahu objek apa yang ingin aku bahas. Namun kali ini tidak. Sejak diberi tugas itu hingga sekarang belum terlintas satu pun ide mengenai apa yang ingin aku bicarakan dalam esai kali ini. Padahal biasanya aku menemui fakta atau pertanyaan menarik tentang sastra kita saat ini. Hanya kebiasaan burukku adalah aku tak pernah mau menuliskan ide yang kadang tiba-tiba muncul walaupun hanya sekelumit itu dalam sebuah jurnal ide, sedangkan aku ini seorang pelupa.

Dan kenapa aku tiba-tiba justru menulis dalam laman blog pribadi ini? Haha, setelah sekian paragraf yang aku tulis tentang tugas esai, sebenarnya di awal aku ingin menulis tentang sebuah resolusi tahun baru karena baru 25 jam yang lalu kita memasuki tahun 2014 (sekarang ini pukul 01.15 tanggal 2 Januari 2014). Semua sedang berlomba menulis tentang resolusi setahun ke depan. Dari yang aku baca ada yang membuat resolusi dengan penuh percaya diri untuk bisa terwujud, banyak yang hanya mengekor agar seolah punya resolusi, tak sedikit yang memang menjadikan itu sebuah motivasi hidup yang harus dicapai, dan banyak bermunculan nada skeptis menanggapi resolusi teman-temannya karena menganggap itu hanya sebuah gaya menghadapi tahun baru dan entah serius dilakukan atau tidak. Ya begitulah. Aku sendiri pun terkadang menganggap hal tersebut terlalu berlebihan dan buang-buang waktu ketika menuliskan sebuah resolusi tanpa benar-benar berniat menjalankannya. Tapi terkadang aku juga perlu sebuah target agar aku sendiri pun yakin setiap tahun aku mengalami peningkatan dalam kedewasaanku di dunia nyata yang bersinggungan dengan banyak tipe orang ini. Kadang aku butuh suatu takaran untuk menyatakan aku berhasil, gagal, atau belum mencapai target. Karena berjalan tanpa sebuah target itu seperti daun jatuh yang tertiup angin. Tak punya mata, tak punya kehendak, dan tak punya pegangan. Tak bisa menentukan ingin mendarat dimana. Beruntung jika bisa mendarat disebuah kasur yang empuk dan ditemukan oleh gadis manis yang kemudian merawatnya. Namun bagaimana jika tiba-tiba saja kau jatuh disebuah selokan mampet dan bau atau malah jatuh dalam kobaran api bersama daun-daun gugur yang lain. Kau akan terinjak, hilang, dan terlupa. Sedangkan kita manusia, bukan daun. Kita punya mata, hati, otak, dan keinginan. Kita bisa menentukan jalan kita, walaupun sesekali kita penasaran untuk mencoba jalan yang terjal atau sedikit bermain-main dengan api. Tapi kita punya hak untuk keinginan, harapan, tujuan, dan mimpi. Tak ada salahnya untuk bermimpi. Seperti yang orang-orang bijak (atau sok bijak) berkata tentng mimpi yang harus digantung setinggi langit.

Ya, begitulah kita manusia diciptakan. Untuk bermimpi. Dan mewujudkan mimpi.

Setelah dulu sewaktu saya masih labil (masa-masa SMP/SMA) saya ingat pernah sekali menuliskan resolusi sepanjang satu halaman pada buku catatan saya yang merupakan hadiah ulang tahun dari seorang sahabat, dan setelah itu saya tak pernah menuliskan atau mengucapkan lagi barang sebuah resolusi, kali ini sepertinya saya ingin membuat (minimal sebuah) resolusi.
Kenapa menjadi begitu ingin? Semula aku juga enggan membuat dan menuliskannya mengingat itu akan sia-sia (lagi) dan aku cenderung sedang banyak tugas kuliah yang harus segera aku tuliskan agar selesai (termasuk esai tadi). Namun saat sedang membuka http://www.bisikanbusuk.com/ milik @benzbara_ dan berharap bisa menggali ide untuk esai, aku menemukan tulisan bang ben tentang resolusi (ternyata penulis seperti dia juga masih berminat untuk membuat catatan tentang resolusi). Aku belum membaca apa isinya, namun melihat judulnya saja membuat aku tergoda untuk menuliskan (apapun itu) tentang resolusi dan ingin memiliki minimal satu resolusi untuk tahun ini.

Sama dengan teman-temanku yang saat ini sedang dipenghujung semester tujuh, tentu saja resolusi pertama yang ingin aku tulis adalah 'maksimal desember 2014' aku sudah harus menamatkan kuliahku dan mendapat gelar S.Pd. Meskipun aku punya keinginan untuk sedikit santai menjalani kuliahku saat ini, tapi waktu maksimal satu tahun aku rasa cukup untuk menyelesaikan skripsi hingga ujian pendadaran dan yudisium (sekaligus wisuda). Resolusi lain yang aku lebih senang menyebutnya sebagai sebuah tujuan yang akan aku capai di waktu yang tepat adalah aku ingin menjadi seorang penulis dan memiliki sebuah buku yang diterbitkan. Entah itu kumpulan puisi, kumpulan cerita, atau sebuah novel yang aku ingin tetap berkualitas. Itu  tujuanku untuk tahun setelah 2014karena 2014 aku ingin berjuang lebih dulu untuk tugas akhir. Namun selama menunggu 2015 semoga aku mendapatkan batu loncatan untuk bisa mewujudkan keinginanku menjadi seorang penulis. Kemudian aku ingin berada pada dunia tulis menulis dengan tidak melupakan kewajibanku untuk mengabdi pada masyarakat. Gelar S.Pd nanti akan membuatku menjadi seorang pendidik di sebuah tempat bernama sekolah. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin menjadi pendidik yang tidak hanya berangkat dari teori-teori dalam buku, namun aku ingin menjadi pendidik dengan referensi pengalaman. Bukan tak ingi mengajar di sekolah dan mewujudkan keinginan orang tua. Hanya saja aku masih merasa modalku dari bangku kuliah ini belum cukup untuk menjadi seorang pendidik yang benar-benar mendidik. Aku hanya belajar di dalam kotak dan membaca literatur yang kadang aku merasa dipaksakan untuk keadaan di dunia nyata saat ini. Aku ingin belajar di universitas kehidupan (begitu kata Cak Nun). Aku ingin pengalamanku dari perjalananku sendiri yang menjadi narasumber untuk mendidik. Aku tak ingin membentuk manusia-manusia robot lagi yang hanya mementingkan keberhasilan dari angka-angka (aku pernah membaca entah artikel atau cerita tentang hidup dalam dunia angka, namun aku lupa siapa penulis dan apa judulnya). Entah ini sebuah cita-cita mulia atau hanya sebuah mimpi (sekali lagi mimpi itu perlu), tapi saya rindu saat semua tidak hanya diukur dengan angka namun ditakar dalam ukuran yang pas sesuai kebutuhan. Saya ingin menjadi siswa sekolah kehidupan dan nanti mengajar disana. Mungkin lewat buku-buku, cerita dari blogku, atau dari telinga ke telinga nanti murid-muridku akan belajar. Tak perlu bertatap muka langsung namun apa yang aku katakan dan tuliskan lebih bermakna dari keberhasilan 100% menjawab 50 soal multiple choice di seelembar kertas buram.
Ya sederhananya seperti itu tujuan yang sedang aku bentuk sekarang. Tapi dengan catatan aku menjalankannya dalam nuansa yang selalu nikmat dalam segala suasana. Bahkan patah hati pun nanti akan aku jalani dengan nikmat. Air mata pun adalah sebuah kenikmatan yang pas pada waktunya.

Ya, seperti itu mungkin bisa dikatakan sebuah resolusi yang positive thingking. Kata 'belum tercapai' nanti tetap akan aku temui karena aku memang bukan orang yang penuh dengan keberuntungan untuk menjalani sesuatu dengan mudah. Tapi aku punya keyakinan.

Dan dari semua yang saya tuliskan diatas, saat ini saya mencoba untuk tidak lagi mempertaruhkan harapan dan tujuan saya dalam angka-angka. Saya hanya perlu untuk memulai melakukan. Dan tidak peduli itu saat ini, 2014, atau 2015, atau angka-angka selanjutnya.
Pergantian tahun mungkin hanya sebuah cara untuk memudahkan kita melihat seberapa jauh pencapaian-pencapaian kita. Namun renungan, mimpi, dan usaha kita lalukan setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik.

Untuk harapan-harapan baik. Semoga Malaikat mengamini dan Tuhan mengabulkan doa kita semua dengan memberikan jawaban yang pas, tak kurang, tak lebih dari usaha yang kita perbuat.

Selamat mengganti tahun kalian menjadi 2014 dalam setiap lembar ujian maupun proposal kehidupan.

Akhirnya saya telah menuliskan satu catatan di awal 2014 ini. Karena saya lekas menjadikan keyboard ini lantai dansa untuk jari-jemari saya. Karena saya akhirnya memulai, dan saya mendapati sesuatu yang berbeda setelah saya memulai di halaman blog saya.

Yk, 2 Januari 2012 dini hari