Jumat, 18 April 2014

Kartini Masa Kini [esai pendek]


Kartini masa kini. Kartini adalah ikon emansipasi wanita. Emansipasi dalam KBBI berarti pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini dahulu adalah hak para wanita agar dapat berkembang dan maju tanpa ada pengekangan. Secara teori, hari ini wanita dan laki-laki sama derajadnya dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan tak dibedakan dalam kelas sosial. Banyak hal yang dulunya hanya diperbolehkan laki-laki kini kita sebagai wanita pun bisa melakukannya, contoh: belajar disekolah, bekerja pada instansi pemerintahan, sampai pada hobi yang dilakukan laki-laki pun sekarang tidak aneh jika kita lakukan, naik gunung misalnya.

Wanita saat ini sudah memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dan cita-citakan. Namun bagi saya, wanita tetap memiliki kodrat sebagai wanita. Emansipasi tidak lantas menjadikan kita lupa akan kodrat kita sebagi wanita. Bagiamana wanita harus menjaga dirinya, tingkah lakunya, nama baiknya, keluarganya, lingkungan sekitarnya, dan wanita juga harus mengayomi. Boleh saja kita menjadi workaholic, tapi (nantinya) saat menjadi ibu dan istri, kita juga harus bisa melakukan peran keduanya dengan baik. Disitulah kodrat wanita paling nyata ditampilkan. Jika kita masih sebagi gadis, kita tetap harus menjaga harkat dan martabat wanita.

Kartini bagi saya adalah kartini yang mampu memerankan dirinya yang tangguh dan lembut secara bersamaan. Mandiri, namun tidak lantas keras kepala. Tidak juga harus manja dan selalu minta diperhatikan secara berlebihan. Kartini sekarang juga harus futuristik, berpandangan luas ke depan. Jika dicontohkan, terutama bagi anak muda, Kartini masa kini versi saya adalah tokoh Marja Manjali dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Marja adalah sosok smart, riang, mandiri, tangguh, sekaligus lembut. Dalam hal pendidikan dia memilih mengambil jurusan Seni Rupa dikampusnya, tidak menolak karena risih ketika diajak naik gunung oleh pacarnya (Sandi Yuda), mengayomi Yuda dan Parang Jati sebagai temannya, dan ketika ditinggal Yuda dan Parang Jati memanjat gunung Marja tak lantas merengek namun ia justru mengajari les pelajaran anak kecil disekitar tempat ia menginap. Jika tokok dalam dunia nyata, mungkin saya akan menggambarkannya seperti  Dewi Lestari dan Fira Basuki. Mungkin seperti itu gambaran Kartini masa kini. Karena kita tercipta bukan untuk memuramkan dunia, namun kita membuat warna pada dunia.

Selamat Hari Kartini
-B-

Kamis, 17 April 2014

Mishbah Jalan-jalan Edisi GembiraLokaZoo [a chapter]


Demi apa Mishbah tahun ini versinya jalan-jalan setelah dua tahun lalu berlabel 'ngamen akustik dan performing art'. Bisa jadi tahun ini Mishbah alih genre-kah? Jadi komunitas jalan-jalan mungkin? Komunitas hangouts? Haha...

Ini kesekian kalinya Mishbah hangout bareng. Kali ini benar-benar hangout karena kita sama sekali bukan pergi dalam rangka melihat pementasan. Bukan juga family trip (ehm, iyakah?). So, setelah tanggal 7April2014 kemarin kita mengadakan sebuah perhelatan (Pentas Laboratory dan memperingati hari jadi Mishbah), tadi adalah saatnya kita merefresh otak. Lumayanlah, sponsorship kita kemarin keren jadinya kita dapat vocer jalan-jalan di Gembira Loka Zoo. Hahaha...

And ing eng..... Karena aku yang pertama kali sampai GLZoo-nya, aku deh yang pertamakali syok liat pemandangan yang ada. Ehm, bis besar semua. Sepertinya ini sedang bulannya anak sekolahan (tepatnya anak TK) liburan. Tapi dimana-mana jadi warna-warni kayak lolipop. Ada yang sragamnya pink, ijo, kuning, ungu, merah, biru, dan lain-lain. Haha... Hangout kita kali ini barengan sama anak TeKa. Tapi teman, kalian nggak kalah seru kok dari mereka. Haha... (Justru kalian yang lebih malu-maluin :/ )

Next, ini dia beberapa kelakuan kita disana








*) semua foto adalah koleksi pribadi TeaterMishbah

Rabu, 16 April 2014

Siang di Golden Gate [cerpen]


gdefon.com


Aku berjalan menyusuri jalan berkabut ini. Didepanku lautan seperti tak berujung. Hanya Golden Gate yang menyadarkan bahwa ada ruang lain setelah air yang maha takberujung itu. Matahari menyusup dicelah-celah kabut yang tebal. Ini musim panas. Tapi aku di San Fransisco. Kueratkan ikatan syal dileher. Aku masih berjalan, ringan, seolah-olah ringan. Kuhirup dalam-dalam udara San Fransisco. Dingin. Menusuk. Hampir aku tersedak saking sesaknya. Tapi tak bisa mengalahkan sesak dari dalam.
Aku terus berjalan dan menghampiri tumpukan kotak peti kemas tak terpakai dan duduk diatasnya.
"Golden Gate, sedingin inikah kau tiap musim? Atau, hanya kali ini saja kau begitu dingin?"
"Hanya di musim panas tempat ini menjadi begitu dingin. Ini, kopi hangat."
"Eh, Hans, terimakasih." Aku mengambil gelas dari tangan Hans.
"Saat dingin, disini justru tak sedingin ini. San Fransisco memang unik."
"Kau pernah kesini sebelumnya?"
"Belum. Diandra yang menceritakannya padaku."
"Ah,maaf. Aku tidak bermaksud."
"Sudah cerita lama. Tak apa. Bagaimana? Ada kabar dari Cakra?"
Aku hanya menggeleng.
"Hai, tersenyumlah. Golden Gate menyambutmu dengan manis. Kau mau menyia-nyiakannya dengan terus menunduk seperti ini?"
Hans berusaha menghiburku. Diceritakannya keunikan dan keindahan San Fransisco yang belum aku ketahui, termasuk gedung pertunjukan dimana esok aku dan dia akan melihat drama kolosal ternama.
***
Dua minggu sebelumnya.
Halo kamu, apakabar? Dimana kamu sekarang? Masihkah merasakan bahwa ada seseorang menunggumu? Atau justru kamu telah lupa bahwa pernah membuat seseorang bisa bertahun-tahun rela menunggumu?
Terkadang aku yakin bisa bertahan. Tapi tak jarang aku ingin menyerah karena harus berjuang sendiri, dan karena kenyataan bahwa kau pergi.
Aku tekan tombol enter, dan sedetik kemudian apa yang baru saja aku ketik muncul diberanda sebuah jejaring sosial. Aku pikir kali ini sama saja dengan catatan yang sudah-sudah. Angin, jejaring maya, dan gelombang apapun tak ada yang pernah bisa menyentuh telinganya dan berkabar bahwa aku mencarinya. Aku masih menyimpan rindu untuknya. Aku rindu dia.
Ting!
Sebuah tanda pembaharuan menyala. Ada namanya disana. Benar-benar namanya. Cakra Sadwikarna. Dan sebuah pesan.
Cakra: apa kabar? Masih ingat aku?
Pertanyaan bodoh pikirku. Tentu aku tak akan lupa. Kamu yang setiap hari ada dalam pikiranku, dalam kecemasanku, dalam hatiku.
Aku: tentu. Tak mungkin aku lupa padamu. Kabarku baik. Kau?
Cakra: aku juga baik. Sekarang aku sedang dalam perjalanan berlayar mengelilingi Amerika.
Aku: Oh ya? Dimana kau akan berlabuh?
Cakra: tujuan pertama Amerikanya Amerika. Amerika Serikat.
Aku: berapa lama kau akan disana?
Cakra: lumayan lama. 2minggu. Bisa jadi lebih.
Aku: oh ya? 2minggu dari sekarang aku ada liputan ke San Fransisco.
Cakra: benarkah? Want to meet? Aku sungguh rindu pada rumah. Sudah lama aku tak pulang. Sungguh membahagiakan jika kau membawakanku sesuatu dari rumah.
Aku: dengan senang hati. Kau ingin aku bawakan apa?
Cakra: apapun. Yang bisa menuntaskan rinduku pada rumah.
Aku: baiklah. Akan aku siapkan yang terbaik yang dipunyai oleh rumah. Agar kau juga ingat untuk pulang. Dimana kita bertemu?
Cakra: sekitar Golden Gate.
Aku: bagaimana aku bisa menghubungimu?
Cakra: aku yang akan menemukanmu.
Seketika setelah balasan itu sampai, nyala hijau pada namanya berubah abu-abu. Setiap hari menjelang keberangkatanku aku selalu membuka akunnya. Tak ada tanda-tanda keberadaannya setelah hari itu. Dia menghilang. Lagi.
Aku mempersiapkan segala keperluan, termasuk apa yang diminta Cakra. Aku bawakan beberapa makanan khas rumah yang awet beberapa hari, tas selempang dengan lukisan batik, dan sebuah gelang yang aku rangkai sendiri. Semua ku kemas rapi dalam box berwarna ungu.
****
"Hans, besok hari terakhir kita disini. Sudah tiga kali kita datang ke tempat ini." Kataku mulai puturg asa setelah melihat akun milik Cakra. Berharap ia mengabarkan sesuatu dari sana.
"Sabar Aela. Mungkin dia sedang ada urusan mendesak dan terlambat menemuimu."
"Apa kamu akan berkata bahwa aku bodoh selama ini? Sekian tahun berharap pada hal kosong dan mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak ada. Menjadi begitu bersemangat saat tiba-tiba ia muncul lagi dan meminta sesuatu padaku, dan aku lupa bahwa itu juga yang dulu ia lakukan padaku. Memintaku tak menjauhinya, tapi justru dia yang pergi. Bukankah karena aku terlalu bodoh hingga harus jatuh pada lubang yang sama dan tak bisa mewaspadainya?" Tiba-tiba tangisku meledak. Aku tahu ini tumpahan air mata yang telah berusaha ku bendung sekian lama. Ini bukan hanya karena lelah berjam-jam menunggu disini atau kelelahan yang sama tiga hari yang lalu. Ini adalah kelelahan yang terakumulasi sekian tahun.
"Hans, aku lelah." Kataku disela isak tangis yang mulai tersedak-sedak.
"Ayo kita pulang. Semakin sore cuaca disini semakin dingin. Kita harus bersiap untuk besok. Tentu kamu tak ingin apa yang kamu impikan selama ini rusak begitu saja kan? Pikirkanlah bahwa hanya untuk pertunjukan besok kau datang kesini."
Hans mencoba untuk memapahku.
"Tunggu. Aku tak boleh membawa ini lagi." ku keletakkan box ungu itu diatas peti kemas. Ku ambil juga gelang dari kantong tas kulitku dan kuletakkan diatas box.
"Aku tak ingin membawanya lagi."
Aku dan Hans berjalan menjauhi dermaga tanpa sadar ada mata yang terus mengamatiku sampai hilang diujung deretan truk pengangkut cargo. Pelan-pelan sosok itu mendekati apa yang aku tinggalkan diatas peti kemas.
"Aela. Maaf aku menuntaskan rinduku seperti seorang pecundang. Dan dengan egois membiarkan rindumu tak tertuntaskan. Aku terlalu jahat untuk terus kamu rindukan. Aku tak tega jika harus bertemu dan kau menangkap sesuatu pada jari kiriku."
Dibukanya box ungu itu dan dilihatnya apapun yang telah dipersiapkan Aela untuknya. Termasuk sebuah gelas plastik ice cream yang tak asing baginya. Ia ingat, itu adalah gelas ice cream dimana Aela bisa menyuapinya dengan malu-malu dan gembira. Sekian tahun lalu.

(uploded on Thumbstory on 12th April 2014. Id thumb: belasuryani)

Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta [Review Pementasan]




Ada yang tidak tertarik melihat judul diatas? Saya rasa tidak. Dimana ada Cinta, disitu manusia melekat. Siapa makhluk di dunia ini yang tak ingin dicintai? Siapa yang tak ingin mencintai? Tentu dengan harapan cinta itu dibalas. Intinya siapa yang tak ingin saling bercinta? Ah, maksudnya siapa yang tak ingin SALING mencintai. Iya, saling. Karena berbalas itulah yang paling membahagiakan dalam hal cinta.

Lihatlah gambar dibawah ini.


Semakin tertarik? Begitu manis bukan? Jika itu permen, mungkin akan menjadi permen termanis yang saya rasakan. Dari judul saja sudah terbayang betapa ranumnya buku itu. Iya, itu memang bukan judul tulisan saya. Itu adalah Judul sebuah kumpulan cerpen terbaru karya Puthut EA. Judul yang pasti sudah membuat banyak orang bersimpati, apalagi bagi orang-orang yang sudah merasakan bagaimana harus berusaha (berkorban) untuk cintanya.Terimakasih padanya (entah siapa) yang mempertemukan saya dengan buku itu, walaupun belum saya baca. Namun, yang terpenting adalah yang akan saya bahas ini.

Beberapa jam yang lalu saya berada disebuah auditorium kecil yang disulap menjadi ruang pertunjukan yang begitu romantis. Nyala lampu biru, sebuah jalinan dari bambu yang cukup untuk kita berbaring santai seperti di pinggir pantai, dua papan kayu bercat putih yang menggantung dan beberapa makanan dan minuman diatasnya, bangku unik berkaki tiga yang dicat putih, panggung yang berwarna putih. Sungguh seperti melihat minimalist interior design dari sebuah rumah. Dibelakangnya ada plastic fiber yang transparan dan dipotong meniru liuk gelombang siap memantulkan cahaya lampu dari atas. Saya yakin seorang arsitek telah menyulap tempat yang tadinya gelap dan sempit itu menjadi sedemikian rupa romantis dan luasnya. Cahaya dimana-mana. Setting minimalis yang menggugah hati dan fresh.

Saya kira malam ini saya akan melihat sebuah pertunjukan monolog mengingat begitu minimalisnya setting. Ya, sebelum masuk ruangan dan sebelum-sebelumnya saya tidak begitu memperhatikan pertunjukan apa yang akan saya tonton. Pokoknya saya hanya ingin nonton. Ternyata saya salah. Teater Gardanalla malam ini mempertontonkan suguhan yang begitu apik dari gabungan beberapa cerita yang ada dalam kumcer Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. Sejatinya malam itu Puthut EA sedang mengadakan suatu syukuran atas 15 tahun yang ia jalani dalam bidangnya, menulis. Puthut EA memang termasuk dalam penulis yang produktif. Di undangan yang saya pegang saja seolah menjadi katalog buku karyanya. Ada 45 buku.

Kembali pada pementasan, Joned Suryatmoko, sang sutradara menggarap pementasan ini dari potongan-potongan yang menggantung dalam kumcer Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. Dikatakannya, 
"Untuk kepentingan pementasan, saya memilih tiga naskah yang bisa dipentaskan dengan syarat: ia sudah punya peristiwa yang tak rumit dipanggungkan dan sudah memiliki dialog. Saya sendiri hanya sekedar menyalin tempel dialog terseebut dan menambah penunjuk pengadeganan."
Bahkan oleh Joned, nama yang dalam cerpen adalah anonim tetap dibuat anonim dengan penggarapan unik, yaitu seperti menyebutkan sebuah nama namun ada bunyi audio sensor dibelakangnya. 

Terpilihlah tiga cerita yang digabungkan yaitu Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta, Obrolan Sederhana, dan Laki-laki yang Kusentuh Rambutnya. Pada awal cerita dihadirkan Obrolan Sederhana lewat dua tokoh laki-laki yang tak sengaja bertemu disebuah villa karena hujan. Laki-laki A berteduh diberanda villa Laki-laki B, dan kemudian diajaknya untuk singgah sejenak dan meminum kopi hangat. Mereka yang awalnya tak saling kenal tiba-tiba terlibat sebuah percakapan sederhana, dan aneh. Bahkan laki-laki B sampai bercerita pada orang yang baru saja dikenalnya tentang kegundahannya hingga lari menyendiri ke sebuah villa. Ia gundah akan kekasihnya. Ditengah-tengah adegan muncul biduanita yang disini menjadi tokoh, namun lepas dari dua tokoh laki-laki tadi. Biduanita menyanyikan lagu gubahan sendiri dari penggalan cerpen Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta sebagai penyambung cerita (bagian dalam cerita) yang diiringi lampu kerlap-kerlip seperti warung dipinggir pantai. Kemudian datang seorang wanita lain yang hanya mengenakan sarung pantai dan atasan putih berlengan pendek membawa sebuah buku. Ia menghampiri ayunan yang menggoda itu. Dibacanya buku yang ia pegang (kumcer Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta) dan dibacanya keras-keras pada bagian Laki-laki yang Kusentuh Rambutnya. Disebelahnya hadir Laki-laki B. singkat cerita, dari mereka yang awalnya tak saling kenal, bertemu di penginapan pinggir pantai, akhirnya menjadi (sangat) akrab. Dan tibalah sore itu saat si wanita harus pergi ke stasiun untuk kembali. Laki-laki B mengantarkannya, dan dengan lambaian tangan mereka berpisah. Si wanita membawa kenangan tentang laki-laki itu. Diakhiri dengan lantunan lagu lagi dari biduanita tadi.
Kau pergi, takkan kembali.

Begitulah ceritanya tentang pementasan 'Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta' yang dimainkan oleh Febrinawan 'Giant' Prestianto, Ikana Asthi Nawatri, Rendra Bagus Pamungkas, dan Siti Fauziah. Sebuah bentuk pementasan yang baru bagi saya. Selain romantis, kesan klasik juga saya dapatkan meskipun settingan dibuat sedemikian modern. Mungkin karena khas biduanita dengan nyanyian romantis ala-ala jaman dulu. Yang pasti saya begitu menikmati pementasan malam hari tadi, sampai untuk berkedip pun enggan.

Selamat.

Selasa, 15 April 2014

Berganti wajah baru. Ya, karena stuck itu membosankan :)
Bukan, bukan karena apa-apa. Bukan karena tidak konsisten atau tidak setia. Terkadang perubahan itu diperlukan, dan memang diperlukan. Untuk suasana saja. Apapun itu, jika ada yang berubah tetap pengaruh lho dihati :)
Ya, seperti halaman ini. Bosan dengan yang polosan. Hari ini aku memutuskan untuk mengganti latar yang biasanya putih-biru menjadi sebuah gambar bangunan yang maha megah. Golden Gate yang bukan emas. Golden Gate yang maroon. Golden Gate dengan kabut yang setia lekat padanya sepanjang tahun. Golden Gate yang, ah, tempat yang tak kalah romantis dari Menara Eiffel yang selalu dipuja-puja para pelaku cinta. Golden Gate dalam cerita, dalam gambar, dan dalam film-film khas Amerika itu konon katanya keindahannya tidak menipu. Apa yang dilihat melalui gambar, apa yang ada dalam film, seperti apa romantisnya tempat itu diceritakan, ya begitulah Golden Gate (dan San Francisco) pada kenyataannya.
Ya, karena sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono dan gubahan puisi tersebut menjadi musik puisi, ruh romantisme Golden Gate seakan menjadi melekat dalam benakku. Seperti ini puisinya

Kabut yang likat
dan kabut yang pupuh
lekatkan gerimis pada tiang-tiang jembatan

matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi dilangit

-B-
15/4/14

Rabu, 02 April 2014

Press Release Pementasan Lakon Nyonya-nyonya oleh Teater Mishbah [Press Release]


Press Release Pementasan Lakon Nyonya-nyonya oleh Teater Mishbah

Pentas Laboratory Teater Mishbah hadir kembali. Tahun 2014 ini merupakan pementasan laboratory ke-4 bagi Teater Mishbah yang rutin diadakan semenjak tahun 2010. Pentas ini digagas dalam rangka pentas perdana anggota baru Mishbah yang dipertunjukkan untuk khalayak umum. Penampil yang akan hadir dalam pertunjukan kali ini adalah anggota baru Teater Mishbah angkatan 2013.
Tahun ini, Teater Mishbah yang merupakan komunitas teater kampus dengan mayoritas anggota berasal dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY ini mencoba untuk mengangkat sebuah naskah yang berbeda dari ketiga pementasan sebelumnya. “Lakon Nyonya-nyonya” karya Wisran Hadi dipilih untuk dipentaskan pada tahun ini.
Lakon Nyonya-nyonya merupakan sebuah naskah berlatarkan cerita Minangkabau pada tahun80 hingga 90an. Tak banyak naskah drama yang memiliki banyak lakon perempuan, berbeda dengan naskah Nyonya-nyonya ini. Dalam naskah ini justru kehadiran perempuan menjadi titik fokus utama. Perempuan-perempuan lah yang membangun suasana dan problem dalam tiap adegan. Selain itu dalam naskah ini Wisran juga berani untuk menghadirkan sebuah permasalahan yang masih jarang orang berani untuk mengungkapkannya yaitu tentang sebuah harta pusaka dari suatu kaum (suku), karena dalam adat Minang sendiri harta pusaka merupakan hal yang sakral dan jangan sampai ada penyalahgunaan didalamnya.
Diceritakan bahwa seorang nyonya muda sedang dicari-cari oleh para kemenakan suaminya untuk mencari kejelasan uang tanah pusaka kaum mereka yang dijaga oleh si datuk (suami nyonya). Kebetulan Datuk sedang sakit dan sudah lama berada di tumah sakit. Hal itu membuat para kemenakan lebih mendapatkan celah untuk menekan istri muda datuk mereka.
Di sisi lain, setiap hari Nyonya kedatangan tamu tak diundang yaitu Si Tuan pedagang barang antik. Tuan dengan segala insting dagangnya dan adanya dorongan dari sebuah perasaan terpendam melakukan berbagai cara untuk bisa menaklukkan Nyonya, termasuk membeli empat marmer teras Nyonya dengan harga yang tinggi. Disaat Tuan melancarkan segala rayuannya pada Nyonya, ia tak menyangka bahwa istrinya yang biasanya hanya menunggu dirumah muncul dirumah Nyonya dan mendapatinya disana. Istri marah dan keluarlah semua permasalahan yang ia hadapi selama ditinggal suaminya bekerja. Istri mengatakan bagaimana anak-anak mereka saling berebut kursi, bahkan anak tetangga pun diduduki kerena itu yang dianggap pantas sebagai kursi.  Problem perebutan kursi ini menjadi hal yang juga pas ditampilkan untuk sekarang ini mengingat sekarang kita sedang berada ditengah-tengah suasana yang dikatakan sebagai ‘pesta politik’. Berbagai masalah yang tumpang tindih juga menjadi hal yang menarik dari naskah karya Wisran untuk divisualkan.
Didukung dengan artistic yang digarap mandiri oleh Teater Mishbah, Lakon Nyonya-nyonya yang disutradarai Bela ini akan hadir besok 7 April 2014 pukul 19.00 di Stage Tedjakusumo FBS UNY.
“Pementasan ini boleh dihadiri siapapun yang ingin menonton dan GRATIS,” begitu kata Teguh, Pimpro dari pementasan ini.
Sekian, mari melestarikan budaya! Mari terus berkarya!
Salam Budaya!

(bela)