Selasa, 26 November 2013

Di Jendela di Senja Kali Ini [a chapter]



Di Jendela di Senja Kali Ini


Semakin tidak kumengerti tentang pertemuan dan perpisahan. Disenja yang menurunkan kelambu jingga ini aku kembali termenung. Adakah yang salah selama ini sehingga aku selalu ditinggalkan? Matahari diatas sana pun sebentar lagi seolah akan meninggalkanku. Bersama kawanan mega mereka berarak pergi jauh sampai belahan lain bumi ini, menjelma matahari yang membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang baru saja terjaga dari heningnya malam. Matahari terusir malam. Dan aku akan bertemu malam.
Dari setiap perjumpaan pasti akan ada yang berpisah. Setiap yang datang pasti akan pergi. Cepat atau lambat. Baik-baik atau menyakitkan. Tapi aku tak pernah mampu untuk mengingatkan diriku lebih dari itu sehingga aku selalu hancur ketika perpisahan datang. Bagiku perpisahan tetap menyakitkan. Jika baik-baik, itu bukan perpisahan, itu hanya jeda. Jeda yang diberikan jarak dan waktu agar kerinduan yang indah bisa bersemi diantaranya, dan perjumpaan seolah menjadi taman bunga bermekaran. Sedangkan perpisahan bagiku seperti halnya sebuah titik diakhir alinea. Tak berkelanjutan. Hanya sampai disitu.
Aku duduk dijendela kamar, satu kaki bersila dan satu lagi menjejak lantai untuk menjaga keseimbangan. Aku memandangi senja yang menggantung diatas bukit. Kubiarkan angin sore menerpa dan mengibaskan rambutku. Kugenggam sebuah toples berisi seekor kupu-kupu yang tiba-tiba saja hari ini bertamu dikamarku. Aku mendekapnya dengan sangat erat. Lalu kuamati dia. Indah dan memesona dengan sayap berwarna paduan antara hitam dan ungu tua, warna kesukaanku. Begitu cantik ia dengan sayap keagungannya Mungkin ia primadona disana. Aku yakin ia adalah kupu-kupu yang banyak digandrungi lawan jenis sebangsanya. Tapi entah mengapa dalam pengembaraannya ia bisa sampai dikamarku. Mungkin tersesat, atau mungkin ia memang sedang ditugaskan untuk menemuiku.
“Hai kupu-kupu yang cantik,” setelah hampir seharian baru aku mulai menyapanya, “baru saja kita berjumpa tadi pagi. Aku begitu terpesona pada sayap indahmu. Sebenarnya aku tak ingin berlama-lama melihatmu, karena semakin lama aku melihatmu semakin ingin aku memilikimu. Tapi kau justru semakin menggodaku, menari-nari mengelilingiku dan semakin memamerkan sayapmu yang sangat elok itu tadi pagi. Jangan salahkan aku jika akhirnya kau mendarat di toples mungilku ini.
Aku menghela nafas sejenak sambil memandang jauh ke cakrawala senja sebelum kembali berkata pada kupu-kupu yang kepakan sayapnya mulai melemah didalam sana.
“Ah, mengapa kita harus bertemu? Sedangkan aku tahu seberapa besar inginku memilikimu, pada akhirnya kau harus kulepas. Sama seperti dia. Aku terlalu terpesona padanya pada perjumpaan itu hingga aku berusaha untuk menangkapnya, untuk memilikinya. Aku sudah mencoba untuk mengindari pertemuan dengannya, namun ternyata bersama waktu ia menggoda dan menari-nari disekelilingku juga, selayaknya kau.”
Kubuka sedikit tutup toples agar kau tak mati didalam sana.
“Ya, aku tahu kau butuh oksigen didalam sana. Aku tahu itu sejak kelas 4 SD karena ibu guru pernah berkata bahwa semua makhluk hidup perlu oksigen untuk bernafas. Ya, aku tahu kau juga makhluk hidup dan sudah pasti kau juga butuh oksigen.
Ku pandangi erat-erat sosok mungil dalam toples itu. Aku cari matanya seolah aku bisa memandangnya lekat untuk meyakinkan ia bahwa yang aku katakan sungguh-sungguh. “Aku memang ingin memilikimu, tapi aku tak ingin menyiksamu.
“Kau senang?” tanyaku padamu, “dan aku lebih senang jika kau benar-benar menjadi milikku. Tapi, itu hanya akan membuatmu mati dan aku tak mungkin lagi bisa melihatmu,” aku diam sejenak.
Aku pasti akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu kau harus berjanji padaku untuk mengunjungiku lagi suatu saat nanti. Entah dipagi hari seperti saat kita berjumpa pertama kali tadi atau seperti kali ini kau menemaniku memandangi senja yang akan meninggalkanku.” Aku mengucapkan salam perpisahan dan kemudian membuka penuh tutup toples itu. Ia berputar dan melesat keatas, menari, seolah berjanji padaku bahwa ia (atau ia yang lain) akan datang mengunjungiku lagi, dan selintas kemudia ia melesat terbang kearah barat. Matahari benar-benar tenggelam.
Kupu-kupu, itulah yang membedakan kau dengan dia. Aku sempat mengucapkan salam perpisahan padamu dan membuat janji agar kau kembali mengunjungiku. Tapi dia, tiba-tiba saja hilang. Tak sempat aku berucap salam perpisahan, apalagi membuat janji agar kami bertemu kembali. Ah, sudahlah.” Kataku sambil berdiri dan memandangi bukit yang menjadi rumah matahari. Kotaku tetap indah diujung senja seperti ini. Angin semakin dingin menusuk tulang. Aku menutup jendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar