Senin, 02 Desember 2013

Pandanglah Dengan Cinta [cerita pendek]



Pandanglah dengan Cinta[1]



Siang tadi baru saja aku ikut ibu menghadiri sebuah pemakaman tetangga yang tak begitu jauh rumahnya dari rumahku. Seperti biasa beberapa jalan ditutup untuk menghalangi kendaraan yang bukan pelawat memasuki area sekitar rumah duka. Aku dan ibuku hanya berjalan kaki saja kesana. Kami tak mengenakan pakaian serba hitam seperti acara pemakaman di televisi-televisi. Asalkan pakaian sopan dan tidak menyinggung keluarga yang sedang berduka. Agar lebih menghormati aku meminjam kerudung milik ibuku, bukan warna hitam tetapi aku tetap memilih warna gelap.
Sepanjang jalan aku melihat mobil dan sepeda motor terparkir. Begitu banyak. Aku melihat kerumunan yang lebih banyak lagi saat tiba dipekarangan rumah duka. Begitu banyak pelawat yang datang untuk ukuran almarhumah yang hanya biasa-biasa saja dan bukan pejabat penting dalam pemerintahan. Beberapa karangan bunga duka cita juga nampak di jalan masuk ke rumah duka. Aku yakin semasa hidupnya almarhumah pasti orang yang begitu baik meski aku tak terlalu mengenalnya. Semenjak menjalani pendidikan diluar kota aku kurang paham tentang tetangga disekitar rumahku, apalagi tetangga baru. Almarhumah ini termasuk tetangga baru bagiku karena ia pindah ke desa ini tiga bulan sebelum aku akhirnya nge-kos di dekat kampusku. Kata ibuku, beliau hanya seorang ibu rumah tangga. Usainya baru sekitar tigapuluh lebih sedikit, masih muda. Namun ibuku juga terheran mengetahui begitu banyak orang yang datang melawat.
“Banyak juga relasi Bu Sari ini ternyata. Padahal dia tak sering terlihat keluar rumah.”
“Mungkin relasi suaminya Bu.” Jawabku asal.
Warna-warni yang aku lihat dirumah duka, bukan hitam kelam seperti pemakaman dalam film-film. Namun semua turut dan larut dalam rasa kehilangan. Di tengah ruangan jenazah dikelilingi sanak saudara dan para pelawat yang melantunkan Surat Yaasin. Tepat disamping kanan jenazah ada suami dan anaknya yang kira-kira baru saja masuk SMP.  Si anak menangis disebelah ayahnya dan terus menciumi tangan ibunya. Sedangkan Suaminya hanya terlihat diam dan terus memandangi lekat wajah istrinya dibalik kain putih transparan.
Aku dan ibu menemui seorang ibu-ibu yang sudah renta.
“Bu, saya turut berduka cita atas meninggalnya Dik Sari. Semoga amal dan ibadah beliau diterima di sisi-Nya dan semoga dilapangkan jalannya.” Kata Ibu.
“Terimakasih banyak. Mohon dimaafkan jika anak saya ada salah.” Balas ibu-ibu tadi.
Aku melihat sekeliling. Si anak perlahan diajak oleh seorang kerabat untuk mundur. Beberapa laki-laki kerabat mulai mendekati jenazah. Prosesi pemberangkatan jenazah menuju peristirahatan terakhirnya dimulai. Prosesi dipimpin oleh seorang uztadz yang dituakan dikampungku. Doa-doa dibacakan.  Empat laki-laki termasuk suami Bu Sari mengangkat keranda jenazah. Mereka berjalan melewati jalan kampung menuju pemakaman. Kerabat dan para pelawat termasuk aku ikut mengiringi dibelakangnya. Disini masih tidak biasa membawa jenazah dengan mobil jenazah menuju pemakaman karena jarak pemakaman yang dekat dengan kampung.  Ada yang mengatakan jika berjalan maka dia yang meninggal masih diberikan kesempatan untuk melihat sekelilingnya dan mengamati keluarga dan kerabatnya untuk terakhir kali. Memang sering ada yang mengatakan bahwa ruh orang yang meninggal akan mengiringi pemakamannya dan belum beranjak dari bumi sebelum hari ke-40.

***

Sepuluh menit kami sampai. Disana liang kubur sudah siap. Ku dengar dari penggalinya mereka menggali liang ini dengan mudah, pun dikedalaman dua meter ini tanah tetap kering dan tidak ada air yang muncul.
Satu per satu prosesi pemakaman dilaksanakan. Jenazah diturunkan oleh beberapa orang. Pak Ustadz membacakan doa-doa yang beberapa aku sering mendengarnya. Tiba saatnya untuk mengadzani jenazah.
“Pak Ustadz, biar saya saja yang mengadzani.” Begitu kata suami dengan tetap tenang. Tak ada air mata disana hingga seemua pelawat berkasa-kusuk. Banyak  yang bilang bahwa ia suami yang tegar dan kuat. Ada juga yang bertanya-tanya mengapa ia tak terlihat sedih.
Atas permintaan sang suami, Pak Ustadz dan yang lain naik dari liang tersebut. Kasak-kusuk semakin terjadi walaupun mereka berusaha agar tak terdengar oleh kerabat maupun sang suami. Beruntung aku berdiri di tempat yang tinggi dan bisa melihat apa yang terjadi di dalam liang. Sang suami berjongkok dan mengangkati wajah istrinya. Ia berbicara. Ya, ia berbicara pada istrinya seolah-olah istrinya masih bisa mendengar.
“Istriku, hari ini kau tak melihat air mataku barang setetes karena sampai saat akhirmu aku hanya ingin menjadi orang yang paling kuat untukmu, dan untuk anak kita. Istriku, pandanglah. Pandanglah aku. Pandanglah aku selagi kita masih berhadap-hadapan. Selagi aku masih ada disini. Sebelum susut suasana ini. Pandanglah pepohonan yang terlihat dari dalam liang ini. Pandanglah mereka, sebelum akhirnya suara desir mereka terpantul di dinding-dinding guamu.”
Ia menghela nafas.
“Pandanglah istriku. Pandanglah aku dengan cinta. Pandanglah mereka semua yang mengiringimu. Pandanglah kami dengan cinta. Kami begitu mencintaimu. Istriku, kau disana tak perlu cemas dan bertanya-tanya akankah aku setia padamu meski sepi yang kini ada diantara kita. Sebelum kau bertanya aku akan meyakinkanmu bahwa hanyalah aku orang yang paling setia padamu. Tenanglah disana dan tunggulah sampai aku, kamu, dan anak kita kembali menjadi satu. Tidurlah dengan tenang dan tak perlu mencemaskan apapun. Aku selalu mencintaimu, raga dan jiwamu.”
Kemudian terdengar adzan yang begitu merdu dari dalam sana. Angin mendesir.  Pak Ustadz dan beberapa orang melanjutkan prosesi pemakaman.

***

Langit mengekalkan warna birunya. Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata.[2]
Hujan turun seketika.


[1] Cerita terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kepada Istriku”
[2] Cuplikan puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kepada Istriku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar