Rabu, 29 Mei 2013

Layar Samudra [puisi]

Layar Samudra



dunia telah berpihak padaku
jadilah aku si pelaut ulung
ku kembangkan layar
sampai diujung dunia

dengan gagah berani
ku taklukkan lautan kasihku
dan kupinang kau diantara
badai gelora asmara

kita berdua
raja dan ratu yang sempurna
untuk sanudra ini

Selasa, 28 Mei 2013

Lalita: Misteri Borobudur dan Freud (resensi)




Lalita: Misteri Borobudur dan Freud


Judul             : Lalita (Seri Bilangan Fu)
Pengarang     : Ayu Utami
Penerbit         : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Ukuran          : 200 x 135 cm
Halaman        : 256 halaman 
Harga            : Rp50.000,-

Lalita merupakan buku kedua dalam serial Bilangan Fu. Menginduk pada fiksi Bilangan Fu yang menjadi buku ke-nol, kemudian Manjali dan Cakrabirawa sebagai buku pertama, dan Lalita-lah yang menjadi buku kedua. Serial ini direncanakan oleh Ayu Utami akan ada 13 buku (satu buku induk dan 12 buku anak), sesuai dengan idiomnya tentang Bilangan Fu/Hu. Benang merah serial ini hingga buku kedua tetap pada tiga tokoh utama yang oleh penulisnya disebut sebagai iblis (Sandi Yuda), manusia (Marja Manjali), dan malaikat (Parang Jati). Masih meneruskan cerita petualangan dari ketiga tokoh tersebut, namun kali ini ditambah dengan adanya tokoh Lalita/Ambika seorang wanita dengan makeup begitu tebal namun anggun yang begitu menggilai Budha, Borobudur, dan pemilik galeri lukis; Jataka/Janaka, saudara Lalita yang begitu berambisi ingin melenyapkan Lalita; serta Jinseng yang  diceritakan sebagai agen rahasia Cina yang ditugaskan untuk merebut perkamen yang dimiliki oleh Lalita. Perkamen tersebut berisi perjalanan hidup Anshel, kakek Lalita yang mendalami theosofi hingga ia menemukan teori Kymalogi atau teori tentang gelombang yang dimasa depan begitu dicari-cari.
Dalam buku ini Ayu Utami masih mempertahankan untuk menjalin alur ceritanya berdasarkan pengalaman spiritual serta riset yang ia lakukan. Dengan keahlian menyulam fakta dan fiksi menjadi jalinan cerita yang begitu apik dan begitu nyata sehingga kita tak bisa membedakan bagian mana yang merupakan rekaan dan bagian mana yang merupakan kejadian asli (paling tidak menurut sejarah).
Ayu Utami memang terkenal sebagai penulis fiksi yang mengandalkan narasi kewartawanannya. Ia seperti menuliskan sejarah sesuai versi risetnya dengan dibumbui romantisme yang erotis dan spiritualisme serta dibungkus secara misterius.  Ayu Utami sendiri mengatakan ia selalu menulis buku untuk kapasitas pembaca yang berbeda-beda, maka dari itu Lalita dibuat lebih ringan dari Bilangan Fu, akan tetapi tidak lebih ringan dari Manjali dan Cakrabirawa maupun trilogi Cerita Cinta Enrico (Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuasn Eks Parasit Lajang). Dan menurut saya bobot buku ini berimbang dengan dua buku Ayu Utami yang lain yaitu Saman dan Larung, hanya latar belakangnya saja yang berbeda.
Sebagai pembaca Ayu Utami saya cukup mengerti mengapa buku ini tidak dibuat seberat Bilangan Fu baik dari segi isi maupun fisik. Ayu Utami tetap berpedoman bahwa Bilangan fu adalah induk. Meskipun begitu, isi dari Lalita ini tidak kalah menarik dari Bilangan Fu maupun buku yang lain. Membaca Ayu Utami tetap saja seperti sedang belajar sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan. Membaca buku-bukunya membuat saya berangan-angan andai saja buku-buku literatur sejarah yang digunakan dibangku sekolah dibuat semenarik ini ( tentunya dengan tidak menghadirkan bumbu erotisme), maka akan banyak lagi peminat untuk menggali terus sejarah yang terjadi disekeliling kita. Bilangan Fu tidak mewajibkan kita membacanya dimulai dari buku ke nol. Jika kita berminat dan ketakutan membaca Bilangan Fu yang dikatakan begitu berat, Lalita bisa kita jadikan gerbang untuk memasukinya.
Ketika membaca Lalita, ada beberapa nuansa berbeda yang akan kita dapat dibandingkan dengan dua buku Bilangan Fu sebelumnya. Jika Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa hadir utuh sebagai nuansa sejarah nusantara, Lalita mencampurnya dengan fakta sejarah dari negeri yang jauh dari nusantara. Pada bagian yang menceritakan Anshel, kakek dari Lalita ketika kecil hingga sebelum ia sampai ke Magelang kita seperti diajak untuk membaca sebuah novel terjemahan asing. Saya sampai lupa bahwa buku yang saya pegang adalah karangan Ayu Utami yang sedang bercerita tentang Yuda dan kawan-kawan. Ayu Utami merangkai perjalanan Anshel dengan begitu hidup.Padamulanya Freud dan Jung begitu jauh dari pemikiran saya. Namun kel
as psikoanalisa yang diikuti Anshel bersama dengan Jung dikelas Freud terasa begitu nyata didepan mata. Hingga akhirnya Anshel yang mengikuti kelas Freud bisa tiba di Magelang, sebuah tempat yang merupakan bagian dari nusantara dan begitu dekat dengan saya. Ayu Utami berhasil merangkaikan hal yang mulanya begitu jauh menjadi sangat dekat dengan alur yang logis dan membuat kita  berdecak kagum.
Yang menarik dari Lalita ini adalah konsepsi Ayu Utami mengenai Hindu dan Budha yang selama ini sering lebur karena masa jayanya yang bersamaan di nusantara ini coba untuk dipisahkan melalui pikiran tokoh Lalita/Ambika dan Jataka/Janaka.
Dari segi kekurangan, menurut saya hanya ada satu kekurangan dari buku ini yaitu jumlah halaman yang tidak sebanyak Bilangan Fu maupun Manjali dan Cakrabirawa. Hal menarikk yang disampaikan dan dikaitkan dalam buku ini begitu bayak sehingga dengan jumlah halaman yang dituliskan oleh Ayu, buku ini terkesan memaksakan untuk memadatkan materi yang ada.
Jika ada lima bintang untuk rekomendasi pembaca, saya memberikan  empat bintang untuk novel karya Ayu Utami yang satu ini terkait apa yang ada didalamnya. Buku ini sangat menarik untuk dibaca dan menambah wawasan kita tentang khasanah budaya Nusantara.

Senin, 27 Mei 2013

untittled part [a chapter]

Sejuk, entah apa cerita yang mengelilingi kita. Hanya saja aku terlalu sayang kau.

Aku sedih mendapati kau yang selalu tiba-tiba saja berubah. Aku masih belum terbiasa. Sejuk, jangan kau berikan padaku tatapan yang begitu menghancurkanku. Aku begitu terluka..

Jumat, 17 Mei 2013

catatan ke-58 [puisi]




dalam diam
dalam malam
dalam gelap
sejuta cahaya menjelma bayang
tak terpungkiri
tak didustai
tak disangkal
kau yang ada dan hadir
menelusup diantara celah celah kegelisahan
ketakutan
ketaktentuan
ketakberarahan
tepat dibibir jurang kehidupan
di garis tepi menatap Izrail
kau turunkan tanganmu
dan kau genggam erat
penuh hangat
kuat
menjentikkan listrik pada neuron kesadaran
dan
aku tenang dalam genggamanmu
tak ada ragu
tak ada takut
tangan kita selalu berpaut


dan aku tak pernah ingin terbangun dari mimpiku
karena hanya disanalah kau tak pernah melepas genggamanmu

Minggu, 12 Mei 2013

catatan ke-56 [puisi]


selamat berpisah
kau mungkin bukan muara sungaiku
tetaplah menjadi bahtera yang tangguh dilautan sana
kau akan berhenti pada dermaga yang tepat
kembalimu memang hanya untuk kampung halamanmu


Kebahagiaan dalam Sepotong Cone [cerpen]


Kebahagiaan dalam Sepotong Cone



Sepotong cone dan gigitan terakhir coklat yang lumer dalam mulutku tengah malam ini. Secangkir kopi pekat yang juga selesai aku sesap pahitnya. Malam ini menjadi sempurna diantara ketidaksempurnaan yang ada. Menjadikan kisah yang tidak sempurna sebagai bagian dari hidup yang sempurna. Seringkali yang pahit itu membekas lama, meskipun cone, coklat, es krim, permen, gulali, dan gula-gula yang manis banyak disesap. Pahit itu getir dalam lidah dan hati. Namun lidah tak sempurna jika tak mampu merasakan pahit. Hati jua. Ada pahit yang memang harus disesap. Coklat pun tak selamanya manis.
Tak ada yang lebih menarik dari berkisah tentang cinta di malam yang beranjak menghampiri fajar. Tak ada yang lebih mendesak dari menyelesaikan tugas setelah mentari bangun. Dua hal yang tabu untuk disatukan atas nama profesionalitas. Namun aku, manusia. Dua hal yang tak ubahnya dua sisi dari sekeping logam yang harus aku genggam setiap hari. Dari fajar hingga fajar. Dan keduanya sama-sama memberikan bara digenggamanku kini. Serpihan cermin ketidaksempurnaan dalam menjaga keduanya hingga melukai diriku sendiri.

Tugas-tugas sudah mulai mendesakku dengan deadline-nya. Menghirup nafas pun menjadi berat kini. Waktu terus mengejarku bagai bom waktu yang berdetak semakin cepat.  Terus memburu dan nafasku semakin kehabisan suplay oksigen hingga membekukan otak, dan macet. Semua macet. Sedangkan memo warna-warni disamping laptopku tiba-tiba berubah warna menjadi merah. Warning! Harus segera selesai. Secangkir kopi selalu menjadi pilihanku jika keadaan berubah menjadi segarang ini. berharap kopi bisa menambah jatah waktuku untuk mengerjakan tugas. Memang benar seperti itu, waktu mengerjakan tugas memang bertambah namun waktu istirahat yang terpaksa harus aku potong. Intinya aku terpaksa memanipulasi waktu. Kuliah, event, semua memerlukanku untuk memeras otak secepat dan sepraktis mungkin. Baiklah, sudah tatanan yang harus diikuti untuk mendapat sebuah pengakuan lebih baik daripada hanya menjadi seonggok daging yang berpangku tangan. Mencari selembar kertas bertuliskan ijazah yang harganya semahal emas, lebih mahal bahkan. Butuh minimal 30kg emas untuk mendapatkan selembar kertas itu.
Kewajiban menjalani hidup. Dan penggalan-penggalan kisahku sering tak sempurna. Tugas yang tak pernah selesai, event yang mendadak mendapat masalah, nilai yang jarang bagus. Seperti itulah kehidupan mahasiswi golongan biasa-biasa saja sepertiku. Tapi entitas hidup selalu berpasangan. Ada baik dan buruk, ada hitam dan putih. Itulah entitas yang sempurna. Dan aku bangga menjadi bagian darinya. Tak ada yang bisa dibilang sempurna jika tak ada yang tak sempurna. Dan yang jelas roda hidup itu berputar.
>>>> 

Pukul 06.00
Dering berisik dari alarm HP memekakkan telingaku. Yang maha teknologi, terimakasih kau ciptakan alat serbabisa ini, bahkan bisa untuk membuat telingaku pengang dipagi hari. Tubuhku menggeliat tanpa membuka mata dan meraba-raba mencari dimana benda berisik itu berada.
“Tuhan, baru dua jam aku tidur.” Keluhku sambil mematikan alarm dan melihat angka dilayar handphone. Jika saja aku tak ingat bahwa pagi ini aku ada kelas dengan Prof. Susanto, aku enggan sekali untuk bangun. Tapi presensiku di kelas Prof. Susanto sudah menginjak batas kritis dan presensi sangat menentukan prestasi (nilai-red.) dikelas ini.
“Kelas neraka. Oh, tidak!”
>>>> 

“Mala,” Seseorang memanggilku dari jauh ketika aku keluar kelas, “tumben kuliah pagi kamu.”
“Ah, kamu Di. Iya, biasa si Prof. Udah sekarat tuh presensiku.”
“Haha, makannya jangan begadang terus!”
“Ya gimana lagi. Tuntutan profesi.”
“Profesi apanya. Kamu tu masih mahasiswi. Kerjaan kamu ya Cuma satu, kuliah.”
“Yee, itu mahasiswi nggak kreatif namanya. Tiap hari ketemunya sama kotak-kotak doang. Kelas, buku, papan tulis. Nggak ada variasi.”
“Haha, yaudah terserah kamu deh. Kadang pengen juga bisa kaya kamu. Tapi males capek.”
“Nah ketahuankan siapa yang males sekarang?”
“Oke oke. Eh, kantin yuk. Laper nih.”
>>>> 

Dian sudah beranjak dari sejam lalu dan aku masih betah menikmati wifi-an di kantin. Googling pengetahuan-pengetahuan umum yang disajikan bank segala pengetahuan ini. Meski banyak yang isinya masih belum bertanggung jawab secara ilmiah, tapi lumayanlah sebagai pengetahuan.
Dihadapanku ada laptop, sketchbook, secangkir cappucino dingin dan se-bar coklat yang aku ingat pernah diiklankan diatas balon udara dengan nuansa yang begitu ceria serasa keliling dunia. Mungkin karena ingin mendapatkan sugesti dari produk itu jadi aku membelinya. Berharap ide yang semalam sudah mentok bisa mengalir lagi akibat ceria yang dibawa oleh si coklat.
Tanganku menari-nari diatas sketchbook sambil aku mengamati beberapa hasil pencarian gambar dilayar laptop. Bukan, aku bukan anak senirupa yang sedang mengerjakan tugas kuliah. Membuat kostum, itu tujuanku sekarang. Bukan, aku juga bukan seorang mahasiswi tatabusana. Aku mahasiswi biasa di jurusan bahasa. Aku hanya sedang melakukan apa yang aku inginkan. Dan sekarang aku sedang berusaha menyelesaikan apa yang aku inginkan.
Desain kostum ini harus jadi tiga jam lagi sebelum aku konsultasikan dengan tim-ku dan kemudian masuk ke proses penjahitan. Belum lagi aku harus belanja ke toko tekstil dan memilih bahan yang sesuai untuk desainku dengan budget yang serba terbatas. Seminggu lagi karnaval itu dilaksanakan dan aku yang diberi jobdesc esain kostum dan bahan mentahnya sampai saat ini masih mentok dan tidak tahu harus menggambar apa. Berkali-kali aku ketik keyword di search engine sejuta umat ini, tapi tak juga aku temukan inspirasi sedikitpun. Aku lelah dan dalam sebuah helaan nafas yang panjang aku istirahatkan menatap laptop dan membuang jauh pandanganku kedepan.
Drrtt.. drrtt.... HP-ku berbunyi.
1 new message
Enditta: Mala, mana desain kostumnya? Dirra panik nih dari tadi! Ke Basecamp cpt!!!

Tidak! Pesan singkat itu semakin membuatku depresi. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, menyerap energi-energi positif dari sekelilingku dan mencoba mencari-cari sesuatu dalam benakku.
“Alam, berikan apa yang aku cari saat aku membuka mata ini!” ucapku lirih namun begitu bergemuruh dalam hatiku. Selesai mengucapkannya aku membuka mata dan tepat saat mata ini terbuka refleks aku berkata, “eh, malaikatku.”
Dari kejauhan aku melihat Yudha melintas memakai jeans dan kemeja tua yang begitu pas dibadannya.
“Hah, tumben dia rapi. Indah banget dia hari ini. Yudhaa, thanks gua jadi punya ide gara-gara elo!” aku lonjak-lonjak sendirian di kantin dan tidak peduli apa ada yang melihat kelakuanku atau tidak.
Tiga jam kemudian aku selesai membuat sketsa untuk lima jenis kostum yang akan dipakai oleh cewek dan cowok yang nantinya akan menjadi model kami.
“Pas, tepat waktu. Ayo cabut ke basecamp!” aku berlarian dengan riang menuju tempat parkir.
>>> 

“Malaaaa, keren! Kamu kasih judul apa ini kostum kita?” Endit histeris melihat hasil desainku beberapa jam lalu.
“Apa ya?” aku sedikit berpikir, “karena itu inspirasinya dai Malaikatku yang tadi rapi banget pake kemeja ungu, gimana kalau aku kasih nama proyek kita kali ini dengan”Indigo Angel’?
>>>> 

Beberapa jam kami berjalan-jalan dibawah terik dan jalanan yang dipanggang matahari. Hampir habis cairan dalam tubuh ini andai saja panitia tidak segera membagikan air mineral pada kami. Matahari begitu semangat memancarkan apinya hari ini, dan kami yang menjadi kepayahan. Sambil melepas letih kami duduk dibawah pohon yang rindang dipelataran tempat acara dan menunggu juri selesai mengakumulasikan nilai performa kami. Kami menunggu dengan berdebar-debar. Kini juri sudah berjalan menaiki podium pengumuman.
“ Baiklah, sekarang saatnya kami sampaikan juara Fashion Carnival untuk tahun ini. Dan juara kedua jatuh pada,” juri menahan nafas sebentar, ”Enditta dan kawan-kawan dengan tema kostum ‘Indigo angel’.
Aku, Enditta, dan Dirra lonjak-lonjak kegirangan dan sudah tidak mendengarkan lagi apa yang disampaikan oleh juri saking senangnya masuk tiga besar.
>>>> 
“Huh, ada hasilnya juga kerja keras kita selama ini. Walaupun juara dua, tapi itu keren!” Kata Dirra yang sempat panik di hari-hari terakhir menjelang karnaval.
“Bener banget. Secara konsep aku suka banget punya kita. Gaun sama tuxedo dicampur sama masqureid mask. Gitchic tapi bukan hitam. Indigo, ungu tua! Thanks to Mala dong ini yang udah ngasih kita desain sekeren ini.”
“Haha, ini kesuksesan kita bersama Dit, dan yang jelas berkat my angel, Yudha. Haha. Toast dulu yuk!” Kami melakukan toast cone ice cream dan bersiap untuk proyek selanjutnya.
Bahagia itu manis dan sederhana. Sesederhana menggigit es krim cone coklat ini setelah panas terik yang tadi kemi dapatkan.

>>>End<<<

Analisis Stilistika (gaya bahasa) puisi Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono [analisis]


 Dalam Doaku

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman
tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau
entah dari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang
hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap
di dahan pohon mangga itu

maghrib ini di dalam doaku
 kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana,
bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di
rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang
entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
1989


(analisis yang terinspirasi dari kamu sejukku. Kau selalu didalam doaku)


Analisis Stilistika (gaya bahasa) puisi Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono

Bela Yusti Suryani | K-PBSI 2012 | Universitas negeri Yogyakarta

Unsur Leksikal dalam puisi “Dalam Doaku”:
1.      Pilihan Kata
2.      Jenis Kata
3.      Bunyi

A.    Pilihan  Kata
Pilihan kata yang terdapat dalam puisi “Dalam Doaku” karya Sapardi Djoko Damaono meliputi:
·         Kata-kata yang digunakan sebagian besar merupakan kata-kata yang sederhana dan sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika dilihat kata per kata kita mengerti maknanya.
·         Hanya ada beberapa kata saja yang sulit atau jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam puisi ini yaitu penggunaan kata muskil, mendesau, nun, bersijingkat, dan bersitahan.
Sapardi lebih memilih kata muskil untuk menunjukkan sesuatu yang sukar, sulit, maupun pelik;
Menurut KBBI offline desau berarti suara dedaunan yang tertimpa gerimis atau hujan.Sapardi memilih kata mendesau untuk menggambarkan suara yang angin yang berhembus perlahan namun memiliki suara seperti dedaunan yang tertimpa hujan.
Nun digunakan untuk menunjuk pada sesuatu yang jauh disana dan digunakan oleh Sapardi untuk menunjuk dan mempertegas pada hal yang benar-benar jauh darinya. Kata itu terdapat  pada baris “Kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana”.
Kata bersijingkat tidak ada dalam KBBI. Yang ada adalah ‘berjingkat’ dengan kata dasar ‘jingkat’ yang berarti berjalan dengan ujung jari kaki. Akan tetapi disini Sapardi memberikan sisipan ‘si’ didalamnya untuk memberikan efek estetis pada bunyi yang akan dihasilkan kata tersebut.
Bersitahan sama halnya dengan bersijingkat, yang ada dalam kamus adalah ‘bertahan’ dengan kata dasar tahan yang berarti tetap pada tempatnya atau tidak beranjak. Oleh Sapardi kata ini juga diberi sisipan ‘si’ dengan maksud memperindah bunyi.
·         Dalam puisi ini Sapardi menggunakan kata-kata yang menggambarkan waktu dan hadir hampir disemua baitnya. Kata-kata tersebut adalah subuh, sore, maghrib, dan malam. Sedangkan untuk siang Sapardi tidak langsung menunjuknya dengan kata siang melainkan melalui sebuah baris yang berbunyi ‘ketika matahari mengambang tenang diatas kepala’. Kalimat tersebut merujuk pada waktu matahari sedang tepat diatas kepala kita dan itu adalah siang hari.
·         Selain itu banyak dipakai kata-kata yang berkaitan dengan alam dan kata-kata yang memberikan efek meditasi atau efek perenungan seperti: langit, cahaya, malam, matahari, angin, gerimis,
·         Kata-kata benda sederhana yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari: suara-suara, bulu bunga jambu, pucuk-pucuk cemara, ranting, pohin mangga, jendela, pintu, pipi, bibir, rambut, dahi, bulu-bulu mataku
·         Kata-kata berefek meditasi, perenungan, maupun sakral: dalam doaku, bening, hening, hijau, mendesau, muskil, burung gereja, gelisah, menjelma, denyut jantung, rasa sakit,

B.     Jenis Kata
No
Jenis Kata
Contoh
Jumlah Kata
Prosentase
1
Kata Benda
Doaku, ranting, angin
54
33,33%
2
Kata Kerja
Menjelma, bersijingkat
29
17,90%
3
Kata Sifat
Gelisah, muskil
9
5,55%
4
Kata bilangan
Seekor, pertama
2
1,23%
5
Kata tugas
Yang, di, kepada
40
24,7%
6
Kata Ganti
Ini, itu, kau, aku,
15
9,25%
7
Kata Keterangan
Tiba-tiba, sangat, entah
13
8,02%


jumlah
162
100%






C.     Bunyi
Rima:
·          Asonansi (pengulangan vokal)
Secara umum asonansi yang ada menunjukkan banyaknya pengulangan bunyi vokal ‘a’. Di bait pertama dan kedua, 80% vokal yang dipakai adalah ‘a’ pada akhir kata, baru diikuti bunyi vokal ‘u’ dan ‘i’.
Dibait-bait selanjutnya prosentase bunyi vokal ‘a’, ‘i’, dan ‘u’ berimbang dan acak sehingga asonansi menunjukkan ketidak teraturannya.
Dari keenam bait puisi ini, lima bait didominasi bunyi vokal ‘a’ sedangkan bait terakhir atau bait keenam yang lebih dominan bunyinya adalah vokal ‘u’.

·         Aliterasi (pengulangan konsonan)
Mayoritas konsonan yang diulang adalah konsonan d, k, m, n, y yang menimbulkan efek penegasan.

D.    Kata konkret
Kata atau kalimat dalam puisi ini yang menggambarkan keseluruhan isi puisi adalah bait terakhir dari puisi ini yang berbunyi:

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu

Dalam bait diatas kalimat ‘aku mencintaimu’ merupakan kesimpulan perasaan penyair dari sanjungan-sanjungannya pada apa atau siapa yang disebut ‘kau’ oleh penyair. Sanjungan-sanjungan itu dicerminkan dalam segala hal yang jernih, yang sejuk, yang indah, yang manja atau manis, dan yang kuat di kelima bait diatasnya.
Kalimat ‘itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan kesalamatanmu’. Penyair mengatakan tak pernah selesai karena di lima bait diatas dikatakan dari subuh, siang, sore, magrib, hingga malam dan nanti akan kembali ke pagi atau subuh lagi dalam setiap doa-doa si penyair selalu ada doa untuk yang ia sebut ‘kau’ atau ‘mu’ yang merujuk pada orang yang dicintainya. Dan doa yang selalu dipanjatkan untuk orang yang dicintainya dalam doa-doa si penyair adalah doa keselamatan.

Unsur Grammatikal
1.      Kompleksitas Kalimat
2.      Jenis Kalimat

1.      Kompleksitas Kalimat
Secara kompleksitas kalimat, puisi ‘Dalam Doaku’ ini mempunyai stuktur kalimat yang panjang, kompleks, serta selalu didahului dengan klausa keterangan waktu.  Struktur kalimat yang panjang dan kompleks diperlihatkan oleh tiap bait yang merupakan satu rangkaian kalimat yang terdiri antara tiga hingga empat klausa panjang yang merupakan kalimat majemuk bertingkat. Selain itu setiap bait (awal kalimat) selalu didahului keterangan waktu dan kemudian baru diikuti subjek. Contoh pada bait pertama:
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman
    keterangan                  S          P          O
tak memejamkan mata, yang meluas bening

siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening

karena akan menerima suara-suara

Bait tersebut terdiri dari kalimat majemuk bertingkat dimana didalam objek kalimat induk terdapat tiga klausa objek.
Selain itu keterkaitan antarkalimat yang dalam konteks puisi ini juga bisa dikatakan antarbait adalah dalam setiap kalimat induk terdapat keterangan dalam doaku dengan berbagai variasainya serta tiap bait menggambarkan alur rangkaian waktu melalui diksi yang dipilih yaitu subuh, ketika matahari mengambang tenang di atas kepala (siang hari), sore, maghrib, serta malam.

2.      Jenis Kalimat
Jenis kalimat yang ada sebagian besar adalah kalimat mayor karena memiliki inti atau pusat kalimat dua atau lebih. Dalam puisi ini justru tidak ditemui kalimat-kalimat minor yang biasanya terdapat dalam puisi kebanyakan.
Selain itu mayoritas adalah kalimat aktif  yang ditunjukkan oleh kata kerja-kata kerja berawalan me-.

Sarana retoris
1.      Permajasan
2.      Pencitraan
3.      Penyiasatan Struktur

1.      Permajasan
Sebagian besar permajasan yang ada adalah majas Alegori. Alegori adalah suatu majas untuk menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan, atau penggambaran. Yang dilukiskan dalam puisi ini adalah sosok ‘kau’ yang dicintai oleh si penyair, dimana sosok tersebut ‘menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara’ atau ‘menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku’. Majas ini ada dibait pertama hingga ke lima.

Majas sintesa (ungkapan rasa suatu indra yang diungkapkan dengan indra lain) :
·         menerima cahaya pertama è seharusnya indra penglihatan
·         menerima suara-suara  è seharusnya indra pendengaran
Majas Depersonifikasi (menjadikan persona sebagai benda tak bernyawa) dan Personifikasi (Perilaku manusia yang diterapkan bukan pada manusia)
·         kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata
·         kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
·         kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana, bersisjingkat di jalan kecil itu, menyusup diselah-selah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Majas repetisi diungkapkan dalam frasa ‘dalam doaku’ yang selalu muncul ditiap bait.
Majas  Pleonasme (menyatakan suatu hal dua kali agar lebih jelas, tetapi yang pertama adalah penyimpul kedua) terdapat dalam bait terkhir yaitu ‘aku mencintaimu itu sebabnya kau takkan pernah selesai mendoakan kes’lamatanmu’.


2.      Pencitraan
·         Citraan penglihatan                             : menjelma
·         Citraan pendengaran                           : mendesau, bernyanyi
·         Citraan taktil (oleh indra peraba)        : menyentuh-nyentuhkan, bersitahan
·        Citraan gerak  :menerima, memejamkan, mengambang, mengibas-ngibaskan, hinggap, menggugurkan, turun,bersijingkat, menyusup,
3.      Penyiasatan struktur
·         Repetisi yang dilakukan dalam tiap bait yaitu frasa ‘dalam doaku’, kata menjelma, kata yang, kata ini, kata kau dalam tiap bait puisi ini.