Minggu, 12 Mei 2013

Kebahagiaan dalam Sepotong Cone [cerpen]


Kebahagiaan dalam Sepotong Cone



Sepotong cone dan gigitan terakhir coklat yang lumer dalam mulutku tengah malam ini. Secangkir kopi pekat yang juga selesai aku sesap pahitnya. Malam ini menjadi sempurna diantara ketidaksempurnaan yang ada. Menjadikan kisah yang tidak sempurna sebagai bagian dari hidup yang sempurna. Seringkali yang pahit itu membekas lama, meskipun cone, coklat, es krim, permen, gulali, dan gula-gula yang manis banyak disesap. Pahit itu getir dalam lidah dan hati. Namun lidah tak sempurna jika tak mampu merasakan pahit. Hati jua. Ada pahit yang memang harus disesap. Coklat pun tak selamanya manis.
Tak ada yang lebih menarik dari berkisah tentang cinta di malam yang beranjak menghampiri fajar. Tak ada yang lebih mendesak dari menyelesaikan tugas setelah mentari bangun. Dua hal yang tabu untuk disatukan atas nama profesionalitas. Namun aku, manusia. Dua hal yang tak ubahnya dua sisi dari sekeping logam yang harus aku genggam setiap hari. Dari fajar hingga fajar. Dan keduanya sama-sama memberikan bara digenggamanku kini. Serpihan cermin ketidaksempurnaan dalam menjaga keduanya hingga melukai diriku sendiri.

Tugas-tugas sudah mulai mendesakku dengan deadline-nya. Menghirup nafas pun menjadi berat kini. Waktu terus mengejarku bagai bom waktu yang berdetak semakin cepat.  Terus memburu dan nafasku semakin kehabisan suplay oksigen hingga membekukan otak, dan macet. Semua macet. Sedangkan memo warna-warni disamping laptopku tiba-tiba berubah warna menjadi merah. Warning! Harus segera selesai. Secangkir kopi selalu menjadi pilihanku jika keadaan berubah menjadi segarang ini. berharap kopi bisa menambah jatah waktuku untuk mengerjakan tugas. Memang benar seperti itu, waktu mengerjakan tugas memang bertambah namun waktu istirahat yang terpaksa harus aku potong. Intinya aku terpaksa memanipulasi waktu. Kuliah, event, semua memerlukanku untuk memeras otak secepat dan sepraktis mungkin. Baiklah, sudah tatanan yang harus diikuti untuk mendapat sebuah pengakuan lebih baik daripada hanya menjadi seonggok daging yang berpangku tangan. Mencari selembar kertas bertuliskan ijazah yang harganya semahal emas, lebih mahal bahkan. Butuh minimal 30kg emas untuk mendapatkan selembar kertas itu.
Kewajiban menjalani hidup. Dan penggalan-penggalan kisahku sering tak sempurna. Tugas yang tak pernah selesai, event yang mendadak mendapat masalah, nilai yang jarang bagus. Seperti itulah kehidupan mahasiswi golongan biasa-biasa saja sepertiku. Tapi entitas hidup selalu berpasangan. Ada baik dan buruk, ada hitam dan putih. Itulah entitas yang sempurna. Dan aku bangga menjadi bagian darinya. Tak ada yang bisa dibilang sempurna jika tak ada yang tak sempurna. Dan yang jelas roda hidup itu berputar.
>>>> 

Pukul 06.00
Dering berisik dari alarm HP memekakkan telingaku. Yang maha teknologi, terimakasih kau ciptakan alat serbabisa ini, bahkan bisa untuk membuat telingaku pengang dipagi hari. Tubuhku menggeliat tanpa membuka mata dan meraba-raba mencari dimana benda berisik itu berada.
“Tuhan, baru dua jam aku tidur.” Keluhku sambil mematikan alarm dan melihat angka dilayar handphone. Jika saja aku tak ingat bahwa pagi ini aku ada kelas dengan Prof. Susanto, aku enggan sekali untuk bangun. Tapi presensiku di kelas Prof. Susanto sudah menginjak batas kritis dan presensi sangat menentukan prestasi (nilai-red.) dikelas ini.
“Kelas neraka. Oh, tidak!”
>>>> 

“Mala,” Seseorang memanggilku dari jauh ketika aku keluar kelas, “tumben kuliah pagi kamu.”
“Ah, kamu Di. Iya, biasa si Prof. Udah sekarat tuh presensiku.”
“Haha, makannya jangan begadang terus!”
“Ya gimana lagi. Tuntutan profesi.”
“Profesi apanya. Kamu tu masih mahasiswi. Kerjaan kamu ya Cuma satu, kuliah.”
“Yee, itu mahasiswi nggak kreatif namanya. Tiap hari ketemunya sama kotak-kotak doang. Kelas, buku, papan tulis. Nggak ada variasi.”
“Haha, yaudah terserah kamu deh. Kadang pengen juga bisa kaya kamu. Tapi males capek.”
“Nah ketahuankan siapa yang males sekarang?”
“Oke oke. Eh, kantin yuk. Laper nih.”
>>>> 

Dian sudah beranjak dari sejam lalu dan aku masih betah menikmati wifi-an di kantin. Googling pengetahuan-pengetahuan umum yang disajikan bank segala pengetahuan ini. Meski banyak yang isinya masih belum bertanggung jawab secara ilmiah, tapi lumayanlah sebagai pengetahuan.
Dihadapanku ada laptop, sketchbook, secangkir cappucino dingin dan se-bar coklat yang aku ingat pernah diiklankan diatas balon udara dengan nuansa yang begitu ceria serasa keliling dunia. Mungkin karena ingin mendapatkan sugesti dari produk itu jadi aku membelinya. Berharap ide yang semalam sudah mentok bisa mengalir lagi akibat ceria yang dibawa oleh si coklat.
Tanganku menari-nari diatas sketchbook sambil aku mengamati beberapa hasil pencarian gambar dilayar laptop. Bukan, aku bukan anak senirupa yang sedang mengerjakan tugas kuliah. Membuat kostum, itu tujuanku sekarang. Bukan, aku juga bukan seorang mahasiswi tatabusana. Aku mahasiswi biasa di jurusan bahasa. Aku hanya sedang melakukan apa yang aku inginkan. Dan sekarang aku sedang berusaha menyelesaikan apa yang aku inginkan.
Desain kostum ini harus jadi tiga jam lagi sebelum aku konsultasikan dengan tim-ku dan kemudian masuk ke proses penjahitan. Belum lagi aku harus belanja ke toko tekstil dan memilih bahan yang sesuai untuk desainku dengan budget yang serba terbatas. Seminggu lagi karnaval itu dilaksanakan dan aku yang diberi jobdesc esain kostum dan bahan mentahnya sampai saat ini masih mentok dan tidak tahu harus menggambar apa. Berkali-kali aku ketik keyword di search engine sejuta umat ini, tapi tak juga aku temukan inspirasi sedikitpun. Aku lelah dan dalam sebuah helaan nafas yang panjang aku istirahatkan menatap laptop dan membuang jauh pandanganku kedepan.
Drrtt.. drrtt.... HP-ku berbunyi.
1 new message
Enditta: Mala, mana desain kostumnya? Dirra panik nih dari tadi! Ke Basecamp cpt!!!

Tidak! Pesan singkat itu semakin membuatku depresi. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, menyerap energi-energi positif dari sekelilingku dan mencoba mencari-cari sesuatu dalam benakku.
“Alam, berikan apa yang aku cari saat aku membuka mata ini!” ucapku lirih namun begitu bergemuruh dalam hatiku. Selesai mengucapkannya aku membuka mata dan tepat saat mata ini terbuka refleks aku berkata, “eh, malaikatku.”
Dari kejauhan aku melihat Yudha melintas memakai jeans dan kemeja tua yang begitu pas dibadannya.
“Hah, tumben dia rapi. Indah banget dia hari ini. Yudhaa, thanks gua jadi punya ide gara-gara elo!” aku lonjak-lonjak sendirian di kantin dan tidak peduli apa ada yang melihat kelakuanku atau tidak.
Tiga jam kemudian aku selesai membuat sketsa untuk lima jenis kostum yang akan dipakai oleh cewek dan cowok yang nantinya akan menjadi model kami.
“Pas, tepat waktu. Ayo cabut ke basecamp!” aku berlarian dengan riang menuju tempat parkir.
>>> 

“Malaaaa, keren! Kamu kasih judul apa ini kostum kita?” Endit histeris melihat hasil desainku beberapa jam lalu.
“Apa ya?” aku sedikit berpikir, “karena itu inspirasinya dai Malaikatku yang tadi rapi banget pake kemeja ungu, gimana kalau aku kasih nama proyek kita kali ini dengan”Indigo Angel’?
>>>> 

Beberapa jam kami berjalan-jalan dibawah terik dan jalanan yang dipanggang matahari. Hampir habis cairan dalam tubuh ini andai saja panitia tidak segera membagikan air mineral pada kami. Matahari begitu semangat memancarkan apinya hari ini, dan kami yang menjadi kepayahan. Sambil melepas letih kami duduk dibawah pohon yang rindang dipelataran tempat acara dan menunggu juri selesai mengakumulasikan nilai performa kami. Kami menunggu dengan berdebar-debar. Kini juri sudah berjalan menaiki podium pengumuman.
“ Baiklah, sekarang saatnya kami sampaikan juara Fashion Carnival untuk tahun ini. Dan juara kedua jatuh pada,” juri menahan nafas sebentar, ”Enditta dan kawan-kawan dengan tema kostum ‘Indigo angel’.
Aku, Enditta, dan Dirra lonjak-lonjak kegirangan dan sudah tidak mendengarkan lagi apa yang disampaikan oleh juri saking senangnya masuk tiga besar.
>>>> 
“Huh, ada hasilnya juga kerja keras kita selama ini. Walaupun juara dua, tapi itu keren!” Kata Dirra yang sempat panik di hari-hari terakhir menjelang karnaval.
“Bener banget. Secara konsep aku suka banget punya kita. Gaun sama tuxedo dicampur sama masqureid mask. Gitchic tapi bukan hitam. Indigo, ungu tua! Thanks to Mala dong ini yang udah ngasih kita desain sekeren ini.”
“Haha, ini kesuksesan kita bersama Dit, dan yang jelas berkat my angel, Yudha. Haha. Toast dulu yuk!” Kami melakukan toast cone ice cream dan bersiap untuk proyek selanjutnya.
Bahagia itu manis dan sederhana. Sesederhana menggigit es krim cone coklat ini setelah panas terik yang tadi kemi dapatkan.

>>>End<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar