Selasa, 28 Mei 2013

Lalita: Misteri Borobudur dan Freud (resensi)




Lalita: Misteri Borobudur dan Freud


Judul             : Lalita (Seri Bilangan Fu)
Pengarang     : Ayu Utami
Penerbit         : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Ukuran          : 200 x 135 cm
Halaman        : 256 halaman 
Harga            : Rp50.000,-

Lalita merupakan buku kedua dalam serial Bilangan Fu. Menginduk pada fiksi Bilangan Fu yang menjadi buku ke-nol, kemudian Manjali dan Cakrabirawa sebagai buku pertama, dan Lalita-lah yang menjadi buku kedua. Serial ini direncanakan oleh Ayu Utami akan ada 13 buku (satu buku induk dan 12 buku anak), sesuai dengan idiomnya tentang Bilangan Fu/Hu. Benang merah serial ini hingga buku kedua tetap pada tiga tokoh utama yang oleh penulisnya disebut sebagai iblis (Sandi Yuda), manusia (Marja Manjali), dan malaikat (Parang Jati). Masih meneruskan cerita petualangan dari ketiga tokoh tersebut, namun kali ini ditambah dengan adanya tokoh Lalita/Ambika seorang wanita dengan makeup begitu tebal namun anggun yang begitu menggilai Budha, Borobudur, dan pemilik galeri lukis; Jataka/Janaka, saudara Lalita yang begitu berambisi ingin melenyapkan Lalita; serta Jinseng yang  diceritakan sebagai agen rahasia Cina yang ditugaskan untuk merebut perkamen yang dimiliki oleh Lalita. Perkamen tersebut berisi perjalanan hidup Anshel, kakek Lalita yang mendalami theosofi hingga ia menemukan teori Kymalogi atau teori tentang gelombang yang dimasa depan begitu dicari-cari.
Dalam buku ini Ayu Utami masih mempertahankan untuk menjalin alur ceritanya berdasarkan pengalaman spiritual serta riset yang ia lakukan. Dengan keahlian menyulam fakta dan fiksi menjadi jalinan cerita yang begitu apik dan begitu nyata sehingga kita tak bisa membedakan bagian mana yang merupakan rekaan dan bagian mana yang merupakan kejadian asli (paling tidak menurut sejarah).
Ayu Utami memang terkenal sebagai penulis fiksi yang mengandalkan narasi kewartawanannya. Ia seperti menuliskan sejarah sesuai versi risetnya dengan dibumbui romantisme yang erotis dan spiritualisme serta dibungkus secara misterius.  Ayu Utami sendiri mengatakan ia selalu menulis buku untuk kapasitas pembaca yang berbeda-beda, maka dari itu Lalita dibuat lebih ringan dari Bilangan Fu, akan tetapi tidak lebih ringan dari Manjali dan Cakrabirawa maupun trilogi Cerita Cinta Enrico (Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuasn Eks Parasit Lajang). Dan menurut saya bobot buku ini berimbang dengan dua buku Ayu Utami yang lain yaitu Saman dan Larung, hanya latar belakangnya saja yang berbeda.
Sebagai pembaca Ayu Utami saya cukup mengerti mengapa buku ini tidak dibuat seberat Bilangan Fu baik dari segi isi maupun fisik. Ayu Utami tetap berpedoman bahwa Bilangan fu adalah induk. Meskipun begitu, isi dari Lalita ini tidak kalah menarik dari Bilangan Fu maupun buku yang lain. Membaca Ayu Utami tetap saja seperti sedang belajar sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan. Membaca buku-bukunya membuat saya berangan-angan andai saja buku-buku literatur sejarah yang digunakan dibangku sekolah dibuat semenarik ini ( tentunya dengan tidak menghadirkan bumbu erotisme), maka akan banyak lagi peminat untuk menggali terus sejarah yang terjadi disekeliling kita. Bilangan Fu tidak mewajibkan kita membacanya dimulai dari buku ke nol. Jika kita berminat dan ketakutan membaca Bilangan Fu yang dikatakan begitu berat, Lalita bisa kita jadikan gerbang untuk memasukinya.
Ketika membaca Lalita, ada beberapa nuansa berbeda yang akan kita dapat dibandingkan dengan dua buku Bilangan Fu sebelumnya. Jika Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa hadir utuh sebagai nuansa sejarah nusantara, Lalita mencampurnya dengan fakta sejarah dari negeri yang jauh dari nusantara. Pada bagian yang menceritakan Anshel, kakek dari Lalita ketika kecil hingga sebelum ia sampai ke Magelang kita seperti diajak untuk membaca sebuah novel terjemahan asing. Saya sampai lupa bahwa buku yang saya pegang adalah karangan Ayu Utami yang sedang bercerita tentang Yuda dan kawan-kawan. Ayu Utami merangkai perjalanan Anshel dengan begitu hidup.Padamulanya Freud dan Jung begitu jauh dari pemikiran saya. Namun kel
as psikoanalisa yang diikuti Anshel bersama dengan Jung dikelas Freud terasa begitu nyata didepan mata. Hingga akhirnya Anshel yang mengikuti kelas Freud bisa tiba di Magelang, sebuah tempat yang merupakan bagian dari nusantara dan begitu dekat dengan saya. Ayu Utami berhasil merangkaikan hal yang mulanya begitu jauh menjadi sangat dekat dengan alur yang logis dan membuat kita  berdecak kagum.
Yang menarik dari Lalita ini adalah konsepsi Ayu Utami mengenai Hindu dan Budha yang selama ini sering lebur karena masa jayanya yang bersamaan di nusantara ini coba untuk dipisahkan melalui pikiran tokoh Lalita/Ambika dan Jataka/Janaka.
Dari segi kekurangan, menurut saya hanya ada satu kekurangan dari buku ini yaitu jumlah halaman yang tidak sebanyak Bilangan Fu maupun Manjali dan Cakrabirawa. Hal menarikk yang disampaikan dan dikaitkan dalam buku ini begitu bayak sehingga dengan jumlah halaman yang dituliskan oleh Ayu, buku ini terkesan memaksakan untuk memadatkan materi yang ada.
Jika ada lima bintang untuk rekomendasi pembaca, saya memberikan  empat bintang untuk novel karya Ayu Utami yang satu ini terkait apa yang ada didalamnya. Buku ini sangat menarik untuk dibaca dan menambah wawasan kita tentang khasanah budaya Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar