Minggu, 29 Desember 2013

Sebuah Perjalanan Lagi; Menyusuri Magelang [a chapter]

Seharian kemarin baru saja melakukan sebuah perjalanan yang amazing (lagi) bersama keluarga kecil Mishbah. Setelah 2 Juli 2013 yang lalu, dini hari tiba-tiba saja dari sebuah kedai 24jam yang disebut burjo-an kami bertolak untuk mendaki Gunung Api Purba di Nglanggeran Jogja, tanpa bekal dan cahaya yang memadai untuk mengejar sunrise di puncaknya. Kali ini giliran Magelang yang kami jelajahi. FYI, Magelang yang aku maksud disini Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, karena biasanya orang-orang tahu Magelang ya hanya Kota Magelang saja (Kota Madya). Sedangkan yang namanya Magelang itu ada Magelang Kodya dan Magelang Kabupaten.


ini waktu di Nglaggeran

Berangkat dari Jogja di hari yang sudah mulai beranjak siang, rehat sejenak dirumah, mampir candi Ngawen di Gunung Pring, lanjut ke rumah Dzik dan mencoba masakan Mbak Rina :D. Saling menunggu dan betemu di jalan akhirnya Squad Yoga, Nisa, Harditya, Bela, Dije, Hani, Dzik, Mas Ardi dan leader Teguh mulai menelusuri jalan-jalan sejuk Magelang. Bertemu gedung-gedung pemerintah Kota Mungkid, melewati jalan sejuk yang entah di daerah mana, dan tiba-tiba saja bukit sejuk Akmil Magelang muncul di depan mata.
Magelang Kota dan rumah Mas Agam yang menjadi tempat persinggahan kami selanjutnya sambil menunggu Tama dan Adit. Beberapa jam ngobrol ngalor-ngidul di rumah Mas Agam sebelum beranjak ke UMMagelang untuk menghadiri undangan dan menyaksikan pementasan teater anak-anak baru Teater Fajar. Sempat juga thimik-thimik ke tetangga sebelah alias Rumah Mas Darma.


pelataran Candi Ngawen

Pukul 22.00 pementasan berakhir dan kami beranjak menyusuri Kota Magelang malam hari. Melewati daerah Pecinan (Yoga bilang "ini Malioboro-nya Magelang") dan akhirnya sampai di Alun-alun Kota tempat superhero berkuda putih sedang menunjuk sebuah pusat perbelanjaan favorit orang-orang Kota Magelang.
Duduk melihat lalu lalang anak-anak kecil yang bahagia mengendarai skuter sewaan atau sepeda blink-blink , dan anak-anak kecil dengan sepatu roda mereka (jadi inget film Olga Sepatu roda jaman dulu) mengelilingi alun-alun. Memang tempat yang begitu membahagiakan (untuk anak kecil). Tapi sepertinya oase alun-alun kota ini juga membahagiakan sebagian dari kami yang merasakan tempat ini lebih damai dari Alun-alun Yogyakarta yang sudah mulai penuh sesak, apalagi oleh pengamen-pengamen yang kadang justru membuat tidak nyaman. Beda bertemu dengan pengamen Jogja, beda juga bertemu pengamen Magelang. Somehow, teman-temanku tercinta yang sangat mencintai dangdut koplo request lagu pada mereka, dan bergoyanglah kalian semua :D. Aku yakin waktu itu kita jadi tontonan, tapi tak apalah. Toh tak ada yang kenal, dan seperti itulah hobi kalian yang selalu membuat kenangan dan menyenangkan. Bahagia itu sederhana, anggap saja hanya ada kita di alun-alun :)
Bintang dan langit yang cerah melengkapi kehangatan malam itu meskipun harus berjaket, berkaus kaki, dan berkaus tangan. Ada yang menghangatkan ditengah sejuknya malam Magelang. Kami akhirnya beranjak pulang. Mungkin hampir satu jam perjalanan untuk sampai ke rumah. Beriring-iringan kami menembus lagi urat nadi jalan utama Magelang di tengah sejuknya yang begitu dingin.
"selalu...terharu tiap kali nengok belakang diikuti oleh laskar disepanjang jalan Magelang :) :) :)"
-@ZickZickz-

Ya, itulah salah satu kutipan perasaan iring-iringan yang berada didepan. Sedangkan aku:

"Selalu terharu. Saat menatap ke depan dan keluarga kecilku-lah yang nampak didepan mata dengan membawa perasaan dan kesannya masing-masing dari perjalanan kali ini."

Terimakasih untuk perjalanan yang mengesankan (lagi). Semoga kita masih bisa melakukan perjalanan-perjalanan mengesankan yang lainnya.

[Teater Mishbah dari perjalanan melihat pementasan "Renungan Lukisan Kopi" Teater Fajar UMMagelang; Yoga, Nisa, Harditya, Bela, Dije, Hani, Dzik, Teguh, Mas Ardi, Mas Agam, Mas Darma, Adit, Tama]

Jumat, 13 Desember 2013

surat rindu

http://emmalinebride.com


aku rindu.
ku kemas rapi dalam sebuah amplop dengan wangi manis aromamu.
ku rekatkan dengan erat agar rinduku tak tumpah berceceran.
hanya saja aku tak tau harus kemana kualamatkan ini.
surat rindu yang tak pernah sampai,
karena aku kehilangan arah menuju hatimu..

Senin, 02 Desember 2013

Pandanglah Dengan Cinta [cerita pendek]



Pandanglah dengan Cinta[1]



Siang tadi baru saja aku ikut ibu menghadiri sebuah pemakaman tetangga yang tak begitu jauh rumahnya dari rumahku. Seperti biasa beberapa jalan ditutup untuk menghalangi kendaraan yang bukan pelawat memasuki area sekitar rumah duka. Aku dan ibuku hanya berjalan kaki saja kesana. Kami tak mengenakan pakaian serba hitam seperti acara pemakaman di televisi-televisi. Asalkan pakaian sopan dan tidak menyinggung keluarga yang sedang berduka. Agar lebih menghormati aku meminjam kerudung milik ibuku, bukan warna hitam tetapi aku tetap memilih warna gelap.
Sepanjang jalan aku melihat mobil dan sepeda motor terparkir. Begitu banyak. Aku melihat kerumunan yang lebih banyak lagi saat tiba dipekarangan rumah duka. Begitu banyak pelawat yang datang untuk ukuran almarhumah yang hanya biasa-biasa saja dan bukan pejabat penting dalam pemerintahan. Beberapa karangan bunga duka cita juga nampak di jalan masuk ke rumah duka. Aku yakin semasa hidupnya almarhumah pasti orang yang begitu baik meski aku tak terlalu mengenalnya. Semenjak menjalani pendidikan diluar kota aku kurang paham tentang tetangga disekitar rumahku, apalagi tetangga baru. Almarhumah ini termasuk tetangga baru bagiku karena ia pindah ke desa ini tiga bulan sebelum aku akhirnya nge-kos di dekat kampusku. Kata ibuku, beliau hanya seorang ibu rumah tangga. Usainya baru sekitar tigapuluh lebih sedikit, masih muda. Namun ibuku juga terheran mengetahui begitu banyak orang yang datang melawat.
“Banyak juga relasi Bu Sari ini ternyata. Padahal dia tak sering terlihat keluar rumah.”
“Mungkin relasi suaminya Bu.” Jawabku asal.
Warna-warni yang aku lihat dirumah duka, bukan hitam kelam seperti pemakaman dalam film-film. Namun semua turut dan larut dalam rasa kehilangan. Di tengah ruangan jenazah dikelilingi sanak saudara dan para pelawat yang melantunkan Surat Yaasin. Tepat disamping kanan jenazah ada suami dan anaknya yang kira-kira baru saja masuk SMP.  Si anak menangis disebelah ayahnya dan terus menciumi tangan ibunya. Sedangkan Suaminya hanya terlihat diam dan terus memandangi lekat wajah istrinya dibalik kain putih transparan.
Aku dan ibu menemui seorang ibu-ibu yang sudah renta.
“Bu, saya turut berduka cita atas meninggalnya Dik Sari. Semoga amal dan ibadah beliau diterima di sisi-Nya dan semoga dilapangkan jalannya.” Kata Ibu.
“Terimakasih banyak. Mohon dimaafkan jika anak saya ada salah.” Balas ibu-ibu tadi.
Aku melihat sekeliling. Si anak perlahan diajak oleh seorang kerabat untuk mundur. Beberapa laki-laki kerabat mulai mendekati jenazah. Prosesi pemberangkatan jenazah menuju peristirahatan terakhirnya dimulai. Prosesi dipimpin oleh seorang uztadz yang dituakan dikampungku. Doa-doa dibacakan.  Empat laki-laki termasuk suami Bu Sari mengangkat keranda jenazah. Mereka berjalan melewati jalan kampung menuju pemakaman. Kerabat dan para pelawat termasuk aku ikut mengiringi dibelakangnya. Disini masih tidak biasa membawa jenazah dengan mobil jenazah menuju pemakaman karena jarak pemakaman yang dekat dengan kampung.  Ada yang mengatakan jika berjalan maka dia yang meninggal masih diberikan kesempatan untuk melihat sekelilingnya dan mengamati keluarga dan kerabatnya untuk terakhir kali. Memang sering ada yang mengatakan bahwa ruh orang yang meninggal akan mengiringi pemakamannya dan belum beranjak dari bumi sebelum hari ke-40.

***

Sepuluh menit kami sampai. Disana liang kubur sudah siap. Ku dengar dari penggalinya mereka menggali liang ini dengan mudah, pun dikedalaman dua meter ini tanah tetap kering dan tidak ada air yang muncul.
Satu per satu prosesi pemakaman dilaksanakan. Jenazah diturunkan oleh beberapa orang. Pak Ustadz membacakan doa-doa yang beberapa aku sering mendengarnya. Tiba saatnya untuk mengadzani jenazah.
“Pak Ustadz, biar saya saja yang mengadzani.” Begitu kata suami dengan tetap tenang. Tak ada air mata disana hingga seemua pelawat berkasa-kusuk. Banyak  yang bilang bahwa ia suami yang tegar dan kuat. Ada juga yang bertanya-tanya mengapa ia tak terlihat sedih.
Atas permintaan sang suami, Pak Ustadz dan yang lain naik dari liang tersebut. Kasak-kusuk semakin terjadi walaupun mereka berusaha agar tak terdengar oleh kerabat maupun sang suami. Beruntung aku berdiri di tempat yang tinggi dan bisa melihat apa yang terjadi di dalam liang. Sang suami berjongkok dan mengangkati wajah istrinya. Ia berbicara. Ya, ia berbicara pada istrinya seolah-olah istrinya masih bisa mendengar.
“Istriku, hari ini kau tak melihat air mataku barang setetes karena sampai saat akhirmu aku hanya ingin menjadi orang yang paling kuat untukmu, dan untuk anak kita. Istriku, pandanglah. Pandanglah aku. Pandanglah aku selagi kita masih berhadap-hadapan. Selagi aku masih ada disini. Sebelum susut suasana ini. Pandanglah pepohonan yang terlihat dari dalam liang ini. Pandanglah mereka, sebelum akhirnya suara desir mereka terpantul di dinding-dinding guamu.”
Ia menghela nafas.
“Pandanglah istriku. Pandanglah aku dengan cinta. Pandanglah mereka semua yang mengiringimu. Pandanglah kami dengan cinta. Kami begitu mencintaimu. Istriku, kau disana tak perlu cemas dan bertanya-tanya akankah aku setia padamu meski sepi yang kini ada diantara kita. Sebelum kau bertanya aku akan meyakinkanmu bahwa hanyalah aku orang yang paling setia padamu. Tenanglah disana dan tunggulah sampai aku, kamu, dan anak kita kembali menjadi satu. Tidurlah dengan tenang dan tak perlu mencemaskan apapun. Aku selalu mencintaimu, raga dan jiwamu.”
Kemudian terdengar adzan yang begitu merdu dari dalam sana. Angin mendesir.  Pak Ustadz dan beberapa orang melanjutkan prosesi pemakaman.

***

Langit mengekalkan warna birunya. Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata.[2]
Hujan turun seketika.


[1] Cerita terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kepada Istriku”
[2] Cuplikan puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kepada Istriku”

Selasa, 26 November 2013

Di Jendela di Senja Kali Ini [a chapter]



Di Jendela di Senja Kali Ini


Semakin tidak kumengerti tentang pertemuan dan perpisahan. Disenja yang menurunkan kelambu jingga ini aku kembali termenung. Adakah yang salah selama ini sehingga aku selalu ditinggalkan? Matahari diatas sana pun sebentar lagi seolah akan meninggalkanku. Bersama kawanan mega mereka berarak pergi jauh sampai belahan lain bumi ini, menjelma matahari yang membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang baru saja terjaga dari heningnya malam. Matahari terusir malam. Dan aku akan bertemu malam.
Dari setiap perjumpaan pasti akan ada yang berpisah. Setiap yang datang pasti akan pergi. Cepat atau lambat. Baik-baik atau menyakitkan. Tapi aku tak pernah mampu untuk mengingatkan diriku lebih dari itu sehingga aku selalu hancur ketika perpisahan datang. Bagiku perpisahan tetap menyakitkan. Jika baik-baik, itu bukan perpisahan, itu hanya jeda. Jeda yang diberikan jarak dan waktu agar kerinduan yang indah bisa bersemi diantaranya, dan perjumpaan seolah menjadi taman bunga bermekaran. Sedangkan perpisahan bagiku seperti halnya sebuah titik diakhir alinea. Tak berkelanjutan. Hanya sampai disitu.
Aku duduk dijendela kamar, satu kaki bersila dan satu lagi menjejak lantai untuk menjaga keseimbangan. Aku memandangi senja yang menggantung diatas bukit. Kubiarkan angin sore menerpa dan mengibaskan rambutku. Kugenggam sebuah toples berisi seekor kupu-kupu yang tiba-tiba saja hari ini bertamu dikamarku. Aku mendekapnya dengan sangat erat. Lalu kuamati dia. Indah dan memesona dengan sayap berwarna paduan antara hitam dan ungu tua, warna kesukaanku. Begitu cantik ia dengan sayap keagungannya Mungkin ia primadona disana. Aku yakin ia adalah kupu-kupu yang banyak digandrungi lawan jenis sebangsanya. Tapi entah mengapa dalam pengembaraannya ia bisa sampai dikamarku. Mungkin tersesat, atau mungkin ia memang sedang ditugaskan untuk menemuiku.
“Hai kupu-kupu yang cantik,” setelah hampir seharian baru aku mulai menyapanya, “baru saja kita berjumpa tadi pagi. Aku begitu terpesona pada sayap indahmu. Sebenarnya aku tak ingin berlama-lama melihatmu, karena semakin lama aku melihatmu semakin ingin aku memilikimu. Tapi kau justru semakin menggodaku, menari-nari mengelilingiku dan semakin memamerkan sayapmu yang sangat elok itu tadi pagi. Jangan salahkan aku jika akhirnya kau mendarat di toples mungilku ini.
Aku menghela nafas sejenak sambil memandang jauh ke cakrawala senja sebelum kembali berkata pada kupu-kupu yang kepakan sayapnya mulai melemah didalam sana.
“Ah, mengapa kita harus bertemu? Sedangkan aku tahu seberapa besar inginku memilikimu, pada akhirnya kau harus kulepas. Sama seperti dia. Aku terlalu terpesona padanya pada perjumpaan itu hingga aku berusaha untuk menangkapnya, untuk memilikinya. Aku sudah mencoba untuk mengindari pertemuan dengannya, namun ternyata bersama waktu ia menggoda dan menari-nari disekelilingku juga, selayaknya kau.”
Kubuka sedikit tutup toples agar kau tak mati didalam sana.
“Ya, aku tahu kau butuh oksigen didalam sana. Aku tahu itu sejak kelas 4 SD karena ibu guru pernah berkata bahwa semua makhluk hidup perlu oksigen untuk bernafas. Ya, aku tahu kau juga makhluk hidup dan sudah pasti kau juga butuh oksigen.
Ku pandangi erat-erat sosok mungil dalam toples itu. Aku cari matanya seolah aku bisa memandangnya lekat untuk meyakinkan ia bahwa yang aku katakan sungguh-sungguh. “Aku memang ingin memilikimu, tapi aku tak ingin menyiksamu.
“Kau senang?” tanyaku padamu, “dan aku lebih senang jika kau benar-benar menjadi milikku. Tapi, itu hanya akan membuatmu mati dan aku tak mungkin lagi bisa melihatmu,” aku diam sejenak.
Aku pasti akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu kau harus berjanji padaku untuk mengunjungiku lagi suatu saat nanti. Entah dipagi hari seperti saat kita berjumpa pertama kali tadi atau seperti kali ini kau menemaniku memandangi senja yang akan meninggalkanku.” Aku mengucapkan salam perpisahan dan kemudian membuka penuh tutup toples itu. Ia berputar dan melesat keatas, menari, seolah berjanji padaku bahwa ia (atau ia yang lain) akan datang mengunjungiku lagi, dan selintas kemudia ia melesat terbang kearah barat. Matahari benar-benar tenggelam.
Kupu-kupu, itulah yang membedakan kau dengan dia. Aku sempat mengucapkan salam perpisahan padamu dan membuat janji agar kau kembali mengunjungiku. Tapi dia, tiba-tiba saja hilang. Tak sempat aku berucap salam perpisahan, apalagi membuat janji agar kami bertemu kembali. Ah, sudahlah.” Kataku sambil berdiri dan memandangi bukit yang menjadi rumah matahari. Kotaku tetap indah diujung senja seperti ini. Angin semakin dingin menusuk tulang. Aku menutup jendela.

Kamis, 21 November 2013

Menafsirmu [puisi]



Menafsirmu

Aku merapali namamu dan mengeja tiap lekuk wajahmu
Mencoba menafsirkan mata yang selalu lekat memandangku
Mencari-cari apa yang kau mau
memahamimu

Dan matamu selalu menghunuskan rindu
yang abu-abu
Aku tunduk pada jiwamu
namun aku masih gagal menafsirkanmu

Yogyakarta, 2013