Lalita:
Misteri Borobudur dan Freud
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Ukuran : 200 x 135 cm
Halaman : 256 halaman
Harga : Rp50.000,-
Harga : Rp50.000,-
Lalita
merupakan buku kedua dalam serial Bilangan Fu. Menginduk pada fiksi Bilangan Fu
yang menjadi buku ke-nol, kemudian Manjali dan Cakrabirawa sebagai buku
pertama, dan Lalita-lah yang menjadi buku kedua. Serial ini direncanakan oleh
Ayu Utami akan ada 13 buku (satu buku induk dan 12 buku anak), sesuai dengan
idiomnya tentang Bilangan Fu/Hu. Benang merah serial ini hingga buku kedua
tetap pada tiga tokoh utama yang oleh penulisnya disebut sebagai iblis (Sandi
Yuda), manusia (Marja Manjali), dan malaikat (Parang Jati). Masih meneruskan
cerita petualangan dari ketiga tokoh tersebut, namun kali ini ditambah dengan adanya
tokoh Lalita/Ambika seorang wanita dengan makeup begitu tebal namun anggun yang
begitu menggilai Budha, Borobudur, dan pemilik galeri lukis; Jataka/Janaka,
saudara Lalita yang begitu berambisi ingin melenyapkan Lalita; serta Jinseng
yang diceritakan sebagai agen rahasia Cina
yang ditugaskan untuk merebut perkamen yang dimiliki oleh Lalita. Perkamen tersebut
berisi perjalanan hidup Anshel, kakek Lalita yang mendalami theosofi hingga ia
menemukan teori Kymalogi atau teori tentang gelombang yang dimasa depan begitu
dicari-cari.
Dalam
buku ini Ayu Utami masih mempertahankan untuk menjalin alur ceritanya
berdasarkan pengalaman spiritual serta riset yang ia lakukan. Dengan keahlian
menyulam fakta dan fiksi menjadi jalinan cerita yang begitu apik dan begitu nyata sehingga kita tak
bisa membedakan bagian mana yang merupakan rekaan dan bagian mana yang
merupakan kejadian asli (paling tidak menurut sejarah).
Ayu
Utami memang terkenal sebagai penulis fiksi yang mengandalkan narasi
kewartawanannya. Ia seperti menuliskan sejarah sesuai versi risetnya dengan
dibumbui romantisme yang erotis dan spiritualisme serta dibungkus secara
misterius. Ayu Utami sendiri mengatakan
ia selalu menulis buku untuk kapasitas pembaca yang berbeda-beda, maka dari itu
Lalita dibuat lebih ringan dari Bilangan Fu, akan tetapi tidak lebih ringan
dari Manjali dan Cakrabirawa maupun trilogi Cerita Cinta Enrico (Parasit
Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuasn Eks Parasit Lajang). Dan menurut saya
bobot buku ini berimbang dengan dua buku Ayu Utami yang lain yaitu Saman dan
Larung, hanya latar belakangnya saja yang berbeda.
Sebagai
pembaca Ayu Utami saya cukup mengerti mengapa buku ini tidak dibuat seberat
Bilangan Fu baik dari segi isi maupun fisik. Ayu Utami tetap berpedoman bahwa
Bilangan fu adalah induk. Meskipun begitu, isi dari Lalita ini tidak kalah
menarik dari Bilangan Fu maupun buku yang lain. Membaca Ayu Utami tetap saja
seperti sedang belajar sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan. Membaca
buku-bukunya membuat saya berangan-angan andai saja buku-buku literatur sejarah
yang digunakan dibangku sekolah dibuat semenarik ini ( tentunya dengan tidak
menghadirkan bumbu erotisme), maka akan banyak lagi peminat untuk menggali terus
sejarah yang terjadi disekeliling kita. Bilangan Fu tidak mewajibkan kita
membacanya dimulai dari buku ke nol. Jika kita berminat dan ketakutan membaca
Bilangan Fu yang dikatakan begitu berat, Lalita bisa kita jadikan gerbang untuk
memasukinya.
Ketika
membaca Lalita, ada beberapa nuansa berbeda yang akan kita dapat dibandingkan
dengan dua buku Bilangan Fu sebelumnya. Jika Bilangan Fu dan Manjali dan
Cakrabirawa hadir utuh sebagai nuansa sejarah nusantara, Lalita mencampurnya
dengan fakta sejarah dari negeri yang jauh dari nusantara. Pada bagian yang
menceritakan Anshel, kakek dari Lalita ketika kecil hingga sebelum ia sampai ke
Magelang kita seperti diajak untuk membaca sebuah novel terjemahan asing. Saya
sampai lupa bahwa buku yang saya pegang adalah karangan Ayu Utami yang sedang
bercerita tentang Yuda dan kawan-kawan. Ayu Utami merangkai perjalanan Anshel
dengan begitu hidup.Padamulanya Freud dan Jung begitu jauh dari pemikiran saya.
Namun kel
as
psikoanalisa yang diikuti Anshel bersama dengan Jung dikelas Freud terasa
begitu nyata didepan mata. Hingga akhirnya Anshel yang mengikuti kelas Freud
bisa tiba di Magelang, sebuah tempat yang merupakan bagian dari nusantara dan
begitu dekat dengan saya. Ayu Utami berhasil merangkaikan hal yang mulanya
begitu jauh menjadi sangat dekat dengan alur yang logis dan membuat kita berdecak kagum.
Yang
menarik dari Lalita ini adalah konsepsi Ayu Utami mengenai Hindu dan Budha yang
selama ini sering lebur karena masa jayanya yang bersamaan di nusantara ini
coba untuk dipisahkan melalui pikiran tokoh Lalita/Ambika dan Jataka/Janaka.
Dari
segi kekurangan, menurut saya hanya ada satu kekurangan dari buku ini yaitu
jumlah halaman yang tidak sebanyak Bilangan Fu maupun Manjali dan Cakrabirawa.
Hal menarikk yang disampaikan dan dikaitkan dalam buku ini begitu bayak
sehingga dengan jumlah halaman yang dituliskan oleh Ayu, buku ini terkesan
memaksakan untuk memadatkan materi yang ada.
Jika
ada lima bintang untuk rekomendasi pembaca, saya memberikan empat bintang untuk novel karya Ayu Utami
yang satu ini terkait apa yang ada didalamnya. Buku ini sangat menarik untuk
dibaca dan menambah wawasan kita tentang khasanah budaya Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar