Kebahagiaan dalam Sepotong Cone
Sepotong cone dan gigitan terakhir coklat yang lumer dalam
mulutku tengah malam ini. Secangkir kopi pekat yang juga selesai aku sesap
pahitnya. Malam ini menjadi sempurna diantara ketidaksempurnaan yang ada.
Menjadikan kisah yang tidak sempurna sebagai bagian dari hidup yang sempurna.
Seringkali yang pahit itu membekas lama, meskipun
cone, coklat, es krim, permen, gulali, dan gula-gula yang manis banyak disesap.
Pahit itu getir dalam lidah dan hati. Namun lidah tak sempurna jika tak mampu
merasakan pahit. Hati jua. Ada pahit yang memang harus disesap. Coklat pun tak
selamanya manis.
Tak ada yang
lebih menarik dari berkisah tentang cinta di malam yang beranjak menghampiri
fajar. Tak ada yang lebih mendesak dari menyelesaikan tugas setelah mentari
bangun. Dua hal yang tabu untuk disatukan atas nama profesionalitas. Namun aku,
manusia. Dua hal yang tak ubahnya dua sisi dari sekeping logam yang harus aku
genggam setiap hari. Dari fajar hingga fajar. Dan keduanya sama-sama memberikan
bara digenggamanku kini. Serpihan cermin
ketidaksempurnaan dalam menjaga keduanya hingga melukai diriku sendiri.
Tugas-tugas
sudah mulai mendesakku dengan deadline-nya. Menghirup nafas pun menjadi berat
kini. Waktu terus mengejarku bagai bom waktu yang berdetak semakin cepat. Terus memburu dan nafasku semakin kehabisan
suplay oksigen hingga membekukan otak, dan macet. Semua macet. Sedangkan memo
warna-warni disamping laptopku tiba-tiba berubah warna menjadi merah. Warning!
Harus segera selesai. Secangkir kopi selalu menjadi pilihanku jika keadaan
berubah menjadi segarang ini. berharap kopi bisa menambah jatah waktuku untuk
mengerjakan tugas. Memang benar seperti itu, waktu mengerjakan tugas memang bertambah
namun waktu istirahat yang terpaksa harus aku potong. Intinya aku terpaksa memanipulasi
waktu. Kuliah, event, semua memerlukanku untuk memeras otak secepat dan
sepraktis mungkin. Baiklah, sudah tatanan yang harus diikuti untuk mendapat
sebuah pengakuan lebih baik daripada
hanya menjadi seonggok daging yang berpangku tangan. Mencari selembar kertas
bertuliskan ijazah yang harganya semahal emas, lebih mahal bahkan. Butuh
minimal 30kg emas untuk mendapatkan selembar kertas itu.
Kewajiban
menjalani hidup. Dan penggalan-penggalan kisahku sering tak sempurna. Tugas
yang tak pernah selesai, event yang mendadak mendapat masalah, nilai yang
jarang bagus. Seperti itulah kehidupan mahasiswi golongan biasa-biasa saja
sepertiku. Tapi entitas hidup selalu berpasangan. Ada baik dan buruk, ada hitam
dan putih. Itulah entitas yang sempurna. Dan aku bangga menjadi bagian darinya.
Tak ada yang bisa dibilang sempurna jika tak ada yang tak sempurna. Dan yang
jelas roda hidup itu berputar.
>>>>
Pukul 06.00
Dering berisik dari alarm HP memekakkan telingaku. Yang
maha teknologi, terimakasih kau ciptakan alat serbabisa ini, bahkan bisa untuk
membuat telingaku pengang dipagi hari. Tubuhku menggeliat tanpa membuka mata
dan meraba-raba mencari dimana benda berisik itu berada.
“Tuhan, baru dua jam aku tidur.” Keluhku sambil mematikan
alarm dan melihat angka dilayar handphone. Jika saja aku tak ingat bahwa pagi
ini aku ada kelas dengan Prof. Susanto, aku enggan sekali untuk bangun. Tapi
presensiku di kelas Prof. Susanto sudah menginjak batas kritis dan presensi
sangat menentukan prestasi (nilai-red.) dikelas ini.
“Kelas neraka. Oh, tidak!”
>>>>
“Mala,” Seseorang memanggilku dari jauh ketika aku keluar
kelas, “tumben kuliah pagi kamu.”
“Ah, kamu Di. Iya, biasa si Prof. Udah sekarat tuh
presensiku.”
“Haha, makannya jangan begadang terus!”
“Ya gimana lagi. Tuntutan profesi.”
“Profesi apanya. Kamu tu masih mahasiswi. Kerjaan kamu ya
Cuma satu, kuliah.”
“Yee, itu mahasiswi nggak kreatif namanya. Tiap hari
ketemunya sama kotak-kotak doang. Kelas, buku, papan tulis. Nggak ada variasi.”
“Haha, yaudah terserah kamu deh. Kadang pengen juga bisa
kaya kamu. Tapi males capek.”
“Nah ketahuankan siapa yang males sekarang?”
“Oke oke. Eh, kantin yuk. Laper nih.”
>>>>
Dian sudah beranjak dari sejam lalu dan aku masih betah
menikmati wifi-an di kantin. Googling
pengetahuan-pengetahuan umum yang disajikan bank segala pengetahuan ini. Meski
banyak yang isinya masih belum bertanggung jawab secara ilmiah, tapi lumayanlah
sebagai pengetahuan.
Dihadapanku ada laptop, sketchbook, secangkir cappucino dingin dan se-bar coklat yang aku
ingat pernah diiklankan diatas balon udara dengan nuansa yang begitu ceria
serasa keliling dunia. Mungkin karena ingin mendapatkan sugesti dari produk itu
jadi aku membelinya. Berharap ide yang semalam sudah mentok bisa mengalir lagi
akibat ceria yang dibawa oleh si coklat.
Tanganku menari-nari diatas sketchbook sambil aku mengamati beberapa hasil pencarian gambar
dilayar laptop. Bukan, aku bukan anak senirupa yang sedang mengerjakan tugas
kuliah. Membuat kostum, itu tujuanku sekarang. Bukan, aku juga bukan seorang
mahasiswi tatabusana. Aku mahasiswi biasa di jurusan bahasa. Aku hanya sedang
melakukan apa yang aku inginkan. Dan sekarang aku sedang berusaha menyelesaikan
apa yang aku inginkan.
Desain kostum ini harus jadi tiga jam lagi sebelum aku
konsultasikan dengan tim-ku dan kemudian masuk ke proses penjahitan. Belum lagi
aku harus belanja ke toko tekstil dan memilih bahan yang sesuai untuk desainku dengan
budget yang serba terbatas. Seminggu
lagi karnaval itu dilaksanakan dan aku yang diberi jobdesc esain kostum dan bahan mentahnya sampai saat ini masih
mentok dan tidak tahu harus menggambar apa. Berkali-kali aku ketik keyword di search engine sejuta umat ini, tapi tak juga aku temukan inspirasi
sedikitpun. Aku lelah dan dalam sebuah helaan nafas yang panjang aku
istirahatkan menatap laptop dan membuang jauh pandanganku kedepan.
Drrtt.. drrtt.... HP-ku berbunyi.
1 new message
Enditta: Mala, mana
desain kostumnya? Dirra panik nih dari tadi! Ke Basecamp cpt!!!
Tidak! Pesan singkat itu semakin membuatku depresi. Aku memejamkan
mata, menarik nafas dalam-dalam, menyerap energi-energi positif dari
sekelilingku dan mencoba mencari-cari sesuatu dalam benakku.
“Alam, berikan apa yang aku cari saat aku membuka mata
ini!” ucapku lirih namun begitu bergemuruh dalam hatiku. Selesai mengucapkannya
aku membuka mata dan tepat saat mata ini terbuka refleks aku berkata, “eh,
malaikatku.”
Dari kejauhan aku melihat Yudha melintas memakai jeans
dan kemeja tua yang begitu pas dibadannya.
“Hah, tumben dia rapi. Indah banget dia hari ini. Yudhaa,
thanks gua jadi punya ide gara-gara elo!” aku lonjak-lonjak sendirian di kantin
dan tidak peduli apa ada yang melihat kelakuanku atau tidak.
Tiga jam kemudian aku selesai membuat sketsa untuk lima
jenis kostum yang akan dipakai oleh cewek dan cowok yang nantinya akan menjadi
model kami.
“Pas, tepat waktu. Ayo cabut ke basecamp!” aku berlarian dengan riang menuju tempat parkir.
>>>
“Malaaaa, keren! Kamu kasih judul apa ini kostum kita?”
Endit histeris melihat hasil desainku beberapa jam lalu.
“Apa ya?” aku sedikit berpikir, “karena itu inspirasinya
dai Malaikatku yang tadi rapi banget pake kemeja ungu, gimana kalau aku kasih
nama proyek kita kali ini dengan”Indigo Angel’?
>>>>
Beberapa jam kami berjalan-jalan dibawah terik dan
jalanan yang dipanggang matahari. Hampir habis cairan dalam tubuh ini andai
saja panitia tidak segera membagikan air mineral pada kami. Matahari begitu
semangat memancarkan apinya hari ini, dan kami yang menjadi kepayahan. Sambil melepas
letih kami duduk dibawah pohon yang rindang dipelataran tempat acara dan
menunggu juri selesai mengakumulasikan nilai performa kami. Kami menunggu
dengan berdebar-debar. Kini juri sudah berjalan menaiki podium pengumuman.
“ Baiklah, sekarang saatnya kami sampaikan juara Fashion Carnival untuk tahun ini. Dan juara
kedua jatuh pada,” juri menahan nafas sebentar, ”Enditta dan kawan-kawan dengan
tema kostum ‘Indigo angel’.”
Aku, Enditta, dan Dirra lonjak-lonjak kegirangan dan
sudah tidak mendengarkan lagi apa yang disampaikan oleh juri saking senangnya
masuk tiga besar.
>>>>
“Huh, ada hasilnya juga kerja keras kita selama ini.
Walaupun juara dua, tapi itu keren!” Kata Dirra yang sempat panik di hari-hari
terakhir menjelang karnaval.
“Bener banget. Secara konsep aku suka banget punya kita.
Gaun sama tuxedo dicampur sama masqureid mask. Gitchic tapi bukan hitam.
Indigo, ungu tua! Thanks to Mala dong
ini yang udah ngasih kita desain sekeren ini.”
“Haha, ini kesuksesan kita bersama Dit, dan yang jelas
berkat my angel, Yudha. Haha. Toast dulu yuk!” Kami melakukan toast cone ice cream dan bersiap untuk
proyek selanjutnya.
Bahagia itu manis dan sederhana. Sesederhana menggigit es
krim cone coklat ini setelah panas terik yang tadi kemi dapatkan.
>>>End<<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar