Selasa, 01 Januari 2013

Review Madre [analisis]


Madre: Feminitas sebagai Kunci dan Benang Merah
Oleh: Bela Yusti Suryani
PBSI-K | 10201241029


Saya akan mengawali kritik ini tidak dengan menggunakan teori kritik sastra manapun. Karena pada dasarnya kritik itu mengandung lebih banyak subjektifitasnya, refleksi mental atas apa yang ia kritik. Seperti apa yang disampaikan oleh Dee Lestari sendiri pada tanggal 31 desember 2012 dalam akun twitternya yang menanggapi tentang #kritik. Silahkan untuk men-scroll #kritik dalam aku @deelestari. Di poin ke 9, 10 dan 13 berikut ini yang ia tuliskan:

 ««««««««««
9. Lalu saya dipertemukan dengan sebuah buku bisnis yang ditulis seorang bhiksu modern: “The Diamond Cutter” – Gesche Michael Roach. #kritik

10. Roach cerita tentang prinsip Buddhisme: segala sesuatu secara inhern bersifat netral. Tidak ada yang kebetulan baik atau buruk.  Label diciptakan oleh mental. #kritik

13. Jika itu diterapkan kesemua pihak, kritikus pun tidak punya kebenaran inhern. Yang ia tulis subjektif, refleksi mentalnya atas apa yang ia #kritik.
««««««««««







“Madre”, sebuah  kumpulan cerita  yang terdiri dari 1 novelette, 7 puisi, dan 5 fiksi.  Terbit tahun 2011 sebagai buku ke- 7 milik Dewi setelah ‘Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh’, ‘Supernova: Akar’,  ‘Supernova: Petir’, ‘Rectoverso’, ‘Perahu Kertas’, dan ‘Filosofi Kopi’. ‘Madre’ hadir seperti primadona yang melenggang dengan keanggunannya diatas karpet merah. Novelette yang berjudul sama dengan judul kumcer ini menjadi chapter pertama  dalam buku ini. Bercerita tentang Madre, sebuah adonan biang dari roti. Bagaimana Madre ini mengubah hidup seorang anak pantai bernama Tansen menjadi seorang baker atau pembuat roti. Madre pula yang mempertemukan Tansen dengan seorang gadis bernama Mei, penerus perusahaan sebuah bakery modern.  Jalinan-jalinan cerita yang disusun sederhana namun penuh kejutan. Mengambil tokoh utama sesuatu yang jarang dilirik orang apalagi untuk dijadikan ide membuat sebuah cerita. Jarang orang mengerti apa itu adonan biang dalam dunia kuliner, namun disini Dee dengan ramuan kata-katanya secara tidak langsung membukakan mata awam bahwa ada sesuatu yang bernama adonan biang.
Mengapa adonan biang itu dinamakan ‘Madre’? disini mulai muncul sisi feminisme dari seorang Dee.  ‘Madre’ berasal dari bahasa Spanyol yang berarti ‘Ibu’. Dee mencoba untuk menjelaskan betapa pentingnya sebuah adonan biang untuk menjadi induk dari roti-roti berkualitas yang nantinya akan dibuat sampai ia menamai adonan biang tokohnya ini dengan nama ‘Ibu’. Di dalam cerita Madre ini juga muncul satu adegan dimana ada sebuah adonan biang yang mati dan bisa mengubah secara drastis produk dari sebuah toko roti. Adonan itu milik Yeye Mei. Hal itulah yang kemudian mendasari Mei tertarik dengan Madre yang dimiliki oleh Tansen. Mei yang sukses dengan Fairy Bread dengan konsep modern  tetap berusaha mencari lagi adonan biang untuk menghasilkan roti-roti dengan rasa klasik.
Madre benar-benar menjadi tokoh sentral disini, dimana kehidupan orang-orang disekitarnya benar-benar bergantung padanya dan bisa mengubah hidup tokoh-tokoh yang lain. Madre memang seperti ibu yang merawat dan menghidupi orang-orang yang terlibat dengannya yaitu Pak Hadi dan 4 pekerja Tan de Bakker yang lain. Dari Madre kelima orang itu hidup. Mereka berlima, berenam dengan Madre hidup seperti satu keluarga, saling menyayangi. Pak Hadi dan teman-temannya begitu tekun merawat ‘Madre’ dari ketika Tan de Bakker masih hidup maupun sudah bangkrut.  Madre yang berumur lebih dari 40 tahun itu pun terkadang mereka ajak ngobrol selayaknya manusia. Kemudian Tansen yang ditasbihkan sebagai pewaris ‘Madre’ pada akhirnya hidupnya berbalik 180 derajad. Dari yang semula ia bebas berpetualang kemanapun, sendiri tanpa sanak saudara, sejak kehadiran ‘Madre’  lahirlah keluarga-keluarga baru untuknya juga keluarganya yang sebenarnya namun tak ia ketahui keberadaannya sejak dulu. Mei juga hadir dan bisa bertemu dengan Tansen hingga mereka saling jatuh cinta juga berkat ‘Madre’. ‘Madre’ melahirkan kehidupan-kehidupan baru selayaknya seorang ibu.
Adonan biang memang sebuah ramuan fungi hasil pengkulturan yang bisa bertahan sangat lama jika dirawat dengan benar. ‘Madre’  sewaktu bertemu dengan Tansen sudah berumur 40 tahun. ‘Madre’ dalam keluarga Tansen sudah melewati tiga generasi yaitu nenek Tansen, Ibu Tansen, dan generasi Tansen. Uniknya disini Dee seolah ‘mematikan’ tokoh-tokoh wanita dengan cepat. Diceritakan Lakhsmi (nenek Tansen) meninggal tidak lama setelah melahirkan Ibu Tansen, dan Ibu Tansen meninggal tak lama dari waktu ia melahirkan Tansen. Dan disini ‘Madre’ memang hadir seolah-olah bagaikan ibu bagi para tokoh, menggantikan kepergian Lakhsmi dan Ibu Tansen.
Sangat tepat Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee ini menjadikan ‘madre’ sebagai garda depan kumpulan cerita ini. ‘Madre’ begitu menghipnotis siapa saja yang membuka gerbang kumpulan cerita ini. Kini ‘Madre’ juga sedang ada dalam proses produksi untuk diangkat ke layar lebar. Antusias pembaca terhadap ‘Madre’ begitu besar. Setelah kita membuka gerbang dan disambut oleh ‘Ibu’ yang penuh kejutan, kita juga disambut dengan 7 puisi dan 5 fiksi milih Dee. Beberapa pernah dimuat dalam blog pribadinya, dan beberapa baru pertama kali rilis bersama dengan Kumcer ‘Madre’ ini. Tujuh puisi itu adalah ‘Perempuan dan Rahasia’, ‘Ingatan Tentang Kalian’, ‘Wajah Telaga’, ‘Tanyaku pada Bambu’, ‘33’, ‘Percakapan di sebuah Jembatan’, dan ‘Barangkali Cinta’. Sedangkan kelima fiksinya adalah ‘Rimba Amniotik’, ‘Have You Ever?’ Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan’, ‘Guruji’, dan ‘Menunggu Layang-layang’.
Fiksi dan puisi-puisi wanita kelahiran 20 Januari 1976 ini berisi tentang perenungan-perenungannya tentang hal-hal sederhana yang ada disekelilingnya dan disekeliling kita semua namun kadang tak terperhatikan. Dalam ‘Rimba Amniotik’ dan ‘Tanyaku Pada Bambu’ Dee mengungkapkan perenungannya tentang kelahiran, tak jauh-jauh dari ibu.  Dalam ‘Rimba amniotik’ ia bercerita bagaimana rasanya menantikan sebuah kelahiran, gerbang yang memisahkan dua kehidupan dari satu jiwa. Seperti yang ia tulis “Perjalananmu kelak hanyalah dari perutku menuju dekapanku. Namun itulah perjalanan yang akan mengubah kita berdua. Mengubah dunia.” Dee mengungkapkan  bahwa  perjalanan itu adalah “perjalanan yang akan mengingatkan mereka yang lupa”  bahwa kehidupan tak ubahnya dua sisi koin. Perjalanan yang singkat itu pun membuat kehidupan kembali dari nol setelah dilewati. Maksudnya disini adalah ketika bayi masih didalam rahim, ibu dan bayi itu sudah mempunyai kenangan kehidupan dan pengalaman sendiri. Biasanya para ibu akan mengajak berbicara si janin atau apapun itu dan direspon oleh si janin. Terkadang mereka pun sudah membuat perjanjian-perjanjian sebelum datangnya kelahiran. Namun setelah lahir si janin kembali menjadi sosok yang rapuh bernama bayi dan ingatannyapun seolah di restart. Sedangkan dalam ‘Tanyaku pada Bambu’, puisi ini juga menannyakan hakikat kelahiran, kematian, kabadian, dan keberadaan. Dee menyampaikannya melalui sebuah bambu.
‘Have You Ever?’ bercerita tentang tiga buah surat berisi teka-teki yang datang dari seorang wanita yang kemudian dicintai oleh si tokoh Howard yang membawanya ke benua seberang, Australia untuk menemukan Bintang Selatan, Mercusuar, dan menghentikan sebuah pertanyaan “Have You Ever?”.  Sebuah cerita mengejutkan, permasalahan yang aneh, dan tanpa klimaks. Kejadian lima hari yang ajaib yang disebabkan oleh seorang wanita. Sedangkan ‘Semangkuk acar untuk Cinta dan Tuhan’ berkisah tentang sebuah wawancara singkat pada seseorang yang bisa dikatakan seorang yang tenar dan sering berbicara tentang cinta. Disini hanya diungkapkan bagaimana cinta dan Tuhan itu bukan sebuah konsep teori yang diceritakan panjang lebar namun sebuah pengalaman spiritual masing-masing individu. Dalam cerita si wartawan menannyakan dua hal yaitu ‘apa itu cinta?’ dan ‘apa itu Tuhan?’, pertanyaan-pertanyaan yang melibatkan perasaan, sisi sensitif dari wanita. Seperti itu juga puisi ‘Wajah Telaga’ dan ‘Barangkali Cinta’ dimana sama-sama mengungkapkan perenungan tentang cinta dari sisi lembut, sisi perempuan seorang Dee.
Dalam puisi ‘33’ Dee menghadirkan angka unik yang penuh dengan filosofi namun tidak setenar angka 11, 13, maupun 17. Angka 33 disini adalah hadiah darinya, seorang istri untuk suaminya (Reza Gunawan) dan untuk dirinya sendiri karena mereka mendapatkan umur 33 tahun secara bersamaan mengingat keduanya lahir pada Januari 1976 (Dee pada tanggal 20 dan Reza pada tanggal 21). ‘Menunggu Layang-layang’ memanfaatkan daya tarik seorang tokoh wanita bernama Starla yang mampu membuat seseorang selama bertahun-tahun mencintainya dalam diam dan menerima apapun hal yang ia lakukan meski terkadang menyakiti diri sendiri.  Dan ‘guruji’ bercerita dengan latar spiritual, latar belakang Dee yang gemar meditasi dan olah sukma. Tokoh wanita bernama Ari disini juga dihadirkan menjadi perempuan yang tidak biasa. Ia yang nekat karena ‘kehilangan’ sahabatnya. Demi mendapatkan sahabatnya yang sudah menjadi guru spiritual ia rela melakukan apapun termasuk mengacaukan kelas Guruji, mantan sahabatnya.
Dalam kumpulan cerita ini Dee menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak biasa. Banyak refleksi dari dirinya sendiri yang dimunculkan dalam fiksi maupun puisi. Dan konsistensi Dee dalam kumcer yang diberi judul ‘Madre’ ini terbukti karena dari 13 judul yang ada semua mengandung sisi feminitasnya. Konsep feminis terbukti tak akan jauh dari penulis wanita. Seorang wanita menulis merupakan aksi feminis dimana wanita juga bisa mendapatkan hak yang sama denagn pria. Maka dari itu dalam tulisannya pun meski menggunakan tokoh laki-laki, sisi feminine itu akan selalu muncul.
***

Daftar Pustaka

Dee. 2011. Madre. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Mardhotillah, Ayu Ammaliyah. 2012. Teori Sastra-Prosa (Bagian I). http://aamaliyahm.blogspot.com/ [diakses tanggal 28 Desember 2012 pukul 15.35]

Purkonudin, Ukon. 2011. Kritik Sastra Feminis, Reading as Women. http://ukonpurkonudin.blogspot.com [diakses tanggal 28 Desember 2012 pukul 15.35]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar