Sastra: Siapa yang Berhak Menentukan Keabsahannya?
Oleh: Bela Yusti Suryani
doc. abdisr.blogspot.com |
Karya
sastra masih merupakan hal yang menarik untuk dibahas karena karya sastra itu
terus berkembang, sepertihalnya karya seni yang lain (rupa, musik, gerak).
Termasuk ketika saat ini saya menjajarkannya dalam kategori seni bersama dengan
karya rupa, musik, dan gerak. Semenjak kecil saya tidak diajarkan memaknai
sastra itu sebagai salah satu wujud karya seni, begitu pula ketika di sekolah.
Seni adalah menggambar, menyanyi, dan menari. Sedangkan puisi? Itu dalah
Pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang banyak orang bilang menjemukan. Tapi
saya menyukai puisi karena puisi itu indah. Seni adalah sebuah karya yang
indah. Puisi adalah karya sastra dan indah. Jadi saya begitu bahagia ketika
saya mengambil sikap bahwa sastra itu termasuk dalam sebuah karya seni. Seni
mengolah kata menjadi indah, atau menjadi lebih bermakna dari apa yang
seharusnya. Karena saya pun menemukah hal yang semiotik dalam karya rupa dan
gerak seperti halnya bahasa khususnya yang dibentuk dalam karya sastra. Saya
juga menemukan bahwa musik memiliki alur seperti sebuah cerita.
Namun
setiap hal punya dua sisi seperti koin. Seperti halnya karya rupa, musik, dan
gerak yang memiliki sisi ‘tak dimengerti’ oleh penikmatnya jika hal tesebut
merupakan karya seni, sastra juga memiliki sisi koin tersebut. Terkadang orang tak mengerti bahwa hal itu
adalah karya sastra dan lebih menyedihkan lagi tak ingin mengnganggap karya tersebut
masuk dalam karya sastra. Analoginya seperti ketika saya tak mengerti tentang
seni lukis dengan aliran absurd atau abstrak. Misalnya ketika penikmat lukis
menikmati karya ‘untitled’ karya Wassily Kandinsky
yang disana dilukiskan ada garis-garis, goresaan tinta, dan noda-noda
cat yang berwarna-warni di sebuah background berwarna putih dan tidak terlalu
padat itu menganggap karya tersebut sebagai sebuah karya masterpiece, lain lagi
dengan saya. Saya hanya melihat seperti goresan spontan anak TK yang sedang
senang bermain dengan crayon warna baru
pemberian ibunya. Tak ada gagasan disana menurut saya.
Seperti
itu juga sastra baik prosa panjang, prosa pendek, maupun puisi. Banyak karya sastra yang tak dimengerti
mengapa itu menjadi karya sastra yang begitu bagus, dan mengapa yang lain
tidak, atau mengapa karya ini bisa digolongkan sebagai karya sastra sedangkan
karya yang lain tidak. Saya ambil contoh puisi berjudul Kotak Sembilan milik
Sutardji yang didalamnya hanya berisi kotak persegi besar yang kemudian dibagi
lagi menjadi 9 kotak persegi yang lebih kecil. Saya mengenal bentuk tersebut
sejak kecil, ada permainan SOS yang memakai bentuk dasar kotak sembilan
tersebut untuk memainkannya. Namun ketika saya menggambarkannya itu tidak
disebut puisi. Puisi menurut saya misalkan saja seperti puisi anak SD yang
bercerita tentang hidung karya Aldi Hairul berikut ini:
HIDUNG
Aku bisa mencium bunga mawar
Aku bisa mencium bunga mawar
Aku
bisa mencium kentut
Aku
bisa mencium bau kaos kaki
Aku
bisa mencium bau kotoran anjing
Aku
bisa mencium bau badan
Aku
bisa mencium bunga matahari
Semua
karena kupunya hidung yang baik
Terima
kasih hidung!
Karya
Aldi diatas lebih bisa saya sebut sebagai puisi daripada sebentuk kotak
sembilan. Tapi pada kenyataannya Kotak Sembilan merupakan puisi yang bagus dan
sering dibahas dimana-mana termasuk di bangku perkuliahan anak satra Indonesia.
Mungkin terlalu jauh ketika saya membandingkan karya penyair Sutardji dengan
karya seorang anak SD. Sekarang saya akan mencoba membandingkan puisi karya
saya yang belum sempat saya beri judul dengan karya seorang penulis muda dari
Yogyakarta bernama Bernard Batubara (Bara) dalam kumpulan puisinya Angsa-angsa
Ketapang. Berikut ini puisi saya:
Tanpa Judul
sunyi
hampa
pekuburan itu
sama saja dengan diriku
menyimpan aroma kematian
tentang perasaan
hampa
pekuburan itu
sama saja dengan diriku
menyimpan aroma kematian
tentang perasaan
dan berikut ini puisi
Bara:
Mei, Sore Hari Saat
Minum Teh yang Begitu Pahit Aku Teringat tentang Rumah Tua di Dalam Hutan Pinus
Tempat Kita Dahulu Pernah Ingin Terjun ke Jurang di Dekatnya dan Menceburkan
Diri ke Kali di Bawahnya
Di mana sempat
kulihat kandang merpati
Pintunya terbuka
Dan sehelai bulu
mungil
Terkulai
Dibaliknya
Ya, anda memang tidak salah melihat.
Judul puisi milik Bara memang lebih panjang dari isi puisinya yang begitu lugas
mendeskripsikan pemandangan yang ia lihat dari rumah tua tersebut. Sedangkan
dalam puisi saya, saya mencoba mengolah kata menjadi indah untuk menyampaikan
kesepian saya. Sama-sama puisi yang tidak memperhatikan rima-irama atau apapun
itu. Bedanya puisi Bara sudah memiliki keabsahan sebagai puisi sedangkan milik
saya belum.
Selain puisi, pada karya prosa juga
terjadi hal yang sama. Banyak penulis prosa saat ini bermunculan, akan tetapi
tidak semua bisa disebut sastrawan atas dasar karyanya. Misalkan saja ketika ditanya,
Fira Basuki yang memiliki latar cerita filosofi kejawen dan perjalanan
spiritual (Trilogi Atap, Jendela, Pintu) dengan Bilangan Fu (Serial) karya Ayu
Utami dengan latar cerita yang juga mengangkat hal-hal berbau spiritual,
siapakah diantara mereka yang layak untuk digolongkan sebagai sastrawan?
Kebanyakan akan menjawab Ayu Utami, sedangkan Fira Basuki bisa jadi malah tak
banyak yang tahu. Padahal karya mereka hampir mirip. Namun nama Fira Basuki
sulit untuk digolongkan sebagai penulis karya sastra.
Lalu prosa-prosa pop lain yang saat ini
banyak bermunculan seperti kumpulan cerita tentang perjalanan milik Windy
Ariestanty terbitan Gagas Media yang berjudul ‘Life Traveler’ dan kumpulan
cerita ‘Madre’ milik Dewi ‘Dee’ Lestari yang tidak bisa disebut kumcer maupun
antologi puisi karena keduanya bergabung. Apakah karya-karya mereka bisa masuk
dalam kategori karya sastra Indonesia? Apakah mereka bisa digolongkan sebagai
sastrawan? Apakah sekali melekat nama sastrawan ataupun penyair berarti
selamanya apa yang mereka tuliskan adalah karya sastra? Jika karya mereka bukan
sastra dan bukan pula karya ilmiah, termasuk kedalam kategori apakah tulisan
mereka?
Saya jadi teringat ketika saya bertanya
pada salah satu dosen sastra saya tentang ‘seperti apa hakikatnya yang disebut
puisi’? Cara mudahnya memamng melihat
jika kumpulan kata dengan tipografi tertentu tersebut ada dalam kumpulan puisi,
maka itu adalah puisi. Lalu bagaimana jika saya menggambar sebuah segitiga
dengan segala makna yang saya miliki tentang segitiga tersebut dan saya beri
judul ‘Segitiga’, maka itu bisa dinamakan puisi seperti milik Sutardji atau
tetap tidak bisa karena Sutardji adalah seorang penyair yang bisa bebas
mengatakan bahwa karyanya adalah puisi, sedangkan saya yang hanya seorang
mahasiswa tidak bisa semudah itu mengatakan bahwa karya saya adalah puisi?
Apakah faktor egoisitas bahwa penulis itu terkenal berpengaruh untuk
menyebutkan ke dalam kategori mana karya mereka? Siapa yang sesungguhnya berhak
mengetuk palu atas keabsahan suatu karya disebut karya sastra? Penulis,
Pembaca, atau komunitas sastra yang sudah diakui?
Dosen saya hanya menjawab dengan sebuah
analogi kurang lebih seperti ini,” kain lap yang digunakan oleh Picasso untuk
membersihkan noda cat di kuasnya pun diakui sebagai maha karya Picasso oleh
penganutnya, bahkan mungkin oleh dunia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar