Aku yang pada saat itu sedang dikejar garis mati sebuah acara ceremonial kampus, hari-hariku penuh berkutat dengan cat warna-warni, cutter, sterofoam, kain, cetak mencetak, dan masih banyak lagi. Memimpin sebuah teamwork tidaklah mudah. Apalagi untukku yang belum berpengalaman untuk menjadi seorang leader. Aku akui manajemenku kacau, i'm selfish and egois, aku lebih cocok untuk menjadi pekerja daripada menjadi orang yang harus mengatur sesuatu. Ya, tapi biar bagaimanapun itu adalah kesempatan. Tak ada salahnya aku mencoba. Toh, tak akan ada langkah kedua, ketiga dan seterusnya kalau tak ada langkah pertama. I do my best. That's so hard, tapi aku terus untuk mencoba. Aku tak semahir teman-teman leader tim yang lain. Tapi pekerjaan tetap pekerjaan. Waktu terus berjalan, garis mati semakin dekat. Berusaha menjadi orang kreatif! Itu yang aku lakukan. Membuat maskot kampus, desain panggung, mencari cinderamata, desain ini itu. Mungkin aku menjadi yang paling terbata-bata diantara yang lain. Tapi aku terus mencoba dan berusaha menyembunyikan ketidakbisaanku dari tim-ku. Semata-mata bukan karena malu, namun aku harus menjadi induk yang kuat untuk mereka. Jadi akupun harus manjadi kuat untuk diriku sendiri.
Salah satu kelemahanku adalah aku tak pernah bisa menghindar dari malam. Malam yang selalu menghadirkan dialog-dialog pribadi dan cenderung lebih sensitif untuk menghadirkan sebuah kerinduan. Ya, waktu itu sedang ada seseorang yang setiap malam selama hampir dua tahun berlari-lari dipikiranku, dalam lamunanku. Keadaannya waktu itu sudah satu tahun dia pulang ke kampung halamannya di tanah Sumatra. Bisa dibilang aku berada dalam keadaan digantungkan (terjadi justru karena saudaranya yang selalu bilang padaku bahwa ada sesuatu antara aku dan dia). Aku mulai lelah menunggu kepulangannya kesini, aku mulai pasrah bahwa antara aku dan dia memang tak harus ada cerita. Berkali-kali pertanda telah mengingatkanku. Di catatan ke-32 aku mulai meletakkan cerita tentangmu bersama almari yang mulai usang dan berdebu.
Selama garis mati yang terus mengejarku itu, setelah dialog pribadi yang sering memakan waktu hingga aku terlelap, berhari-hari aku bermimpi tentang seseorang. Tanpa nama, tanpa wajah, tanpa identitas. Disaat garis mati itu membuatku lelah luar dalam, hingga tidur pun aku tak merasa istirahat, sosok itu selalu datang, selalu ada, dan selalu hadir. Yang ia lakukan sederhana, menemaniku, menggenggam tanganku, dan mendekapku hingga keresahan yang aku bawa menjelang tidur sirna seketika. Nyaman dan hangat.
Dalam dunia atas sadarku, ada orang yang sering lalu lalang dihadapanku. Naik turun tangga didepan area kerjaku berkali-kali, papasan berkali-kali, itu saat dimana aku masih bisa berbicara padamu tanpa rasa canggung. Saat Bando Oren dikepalamu masih belum aku perhatikan, saat sepatu biru-mu belum terpatri dalam kepalaku.
Waktu dan ruang semakin sering menjebak kita. Aku masih ingat pertama kali aku dibonceng kamu. Waktu itu aku masih belum salah tingkah. Aku juga masih sering minta bantuanmu tanpa rasa canggung. Semakin lama aku semakin menikmati keadaan yang menjebak itu. Tapi garis mati selalu mengingatkanku untuk menepis perasaan nyaman itu sebelum semua pekerjaanku selesai.
Semakin lama rasa nyaman disampingmu semakin bertambah. Entah kenapa motor kamu yang meminjami, aku butuh diantar kamu yang ada, aku butuh sesuatu selalu ada kamu. Itu bukan berarti aku aku pamrih. Tapi ya memang ada sesuatu yang semakin lama semakin membuatku nyaman, ada kamu didekatku. Seiring kenyamanan yang aku dapat darimu, sosok yang hadir dalam mimpiku perlahan memudar. Dan sosok itu hilang tepat saat aku harus mau mengakui bahwa aku menyimpan sebentuk perasaan untukmu.
Enam hari bekerja denganmu merupakan hari yang berat, berat harus mengakui bahwa hatiku kembali tertambat pada seseorang. Berat karena aku sadar aku masih belum siap untuk jatuh lagi. Tapi aaku pun tak bisa menolak apa yang ku rasakan.
Waktu itu adalah hari-hari yang tepat untuk mencintaimu, laki-laki bertubuh kurus, rambut gondrong berbando orange, bersepatu biru-perak, laki-laki yang sok kuat dan tak pernah usai berbuat bodoh untuk badannya sendiri :p
Tapi aku sayang :)
Kau tak pernah tahu kan wktu itu aku mencemaskanmu setengah mati sampai-sampai hari terakhir ospek aku memilih tidak pulang karena mencemaskan tanganmu yang membengkak? Ah, kau pasti tak pernah tahu dan tak mau tahu.
Hei laki-laki ber-Bando Oren, waktu ospek dan dua minggu setelahnya, terimakasih ya karena kau membiarkanku menikmati letupan-letupan itu :) menikmati menjadi orang yang paling beruntung bisa mengenalmu. Ya, aku rasa waktu itu adalah waktu yang tepat untuk mencintaimu. Waktu itu..
Terimakasih sudah memberikan kisah jatuh cinta ke-6 untukku... Kisah yang lain daripada yang lain...
Kisah yang membuatku berani mengatakan "aku suka padamu", kisah yang membuatku semakin belajar untuk berani jujur pada diri sendiri.
Bando Oren, kamu yang tak pernah aku panggil dengan 'K', tapi selalu dengan 'X'