Perasaan kita butuh waktu untuk
saling mengerti. Aku tak ingin tergesa-gesa meninggalkan kita. Aku ingin kita
yang dulu. Aku ingin pundakmu.Aku ingin usapan jemarimu membelai kepalaku.
Seperti malam itu.
Lalaki, kau tanam seperti benih
kopi dalam hati ini. Dalam setiap kata-kata, hangatmu membelai perasaanku.
Mengajakku menikmati seduhan yang ku ramu dalam jarak. Aku terlambat menyadari bahwa
aku meramu secangkir cinta yang hangat
dan manis untukmu. Seduhan yang harumnya semakin membuatku tak bisa membedakan
aroma kopi dan feromon.
"Jangan tergesa-gesa.
Nanti keburu menjadi dingin dan manisnya tinggal getir!" Itu nasihat
pertamaku pada diriku sendiri.
Aku ingat. Kopi tetap
memiliki asal rasanya. Pahit. Meskipun gula-gula mengalir setiap hari dalam
surat-surat kita.
Dalam jarak dan waktu aku
ingin menatap matamu, menatap dengan sangat dalam dan mencari kejujuran.
Mencari kepastian sambil terus menunggu kau mengambil cangkir itu dan menyesap
rasanya.
Rindu ini mendidih karenamu!
Jarak terlalu lama
membuatku menunggu tanpa kepastian. Sudah terlalu lelah aku mengaduk hingga
benar-benar campur aduk. Aku hanya menunggumu untuk berkata, “berhentilah agar
perasaanmu tak ikut teraduk!” sambil kau mengambil racikan yang teraduk waktu
ini.
Asal kau tahu, hingga kini
masih terselip namamu dalam setiap doaku. Seperti menyeduh dan meniupi original coffe. Rela meski pahit ketika
ku sesap. Aku tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar