Minggu, 22 September 2019

Kesadaran Kebebasan Finansial dan Melihat Angka Ketergantungan Bukan Hanya Sebagai Bagian dari Mata Pelajaran Semata

Sebelum dibaca, izinkan aku meminta maaf karena ini semacam harus aku post di sini, bukan di facebook.

Setelah selesai aku tulis, ini semacam menjadi sesuatu yang harus aku post di sini dahulu sebelum ke facebook.

Selamat menikmati.

------------------------------
------------------------------


Lagi, tentang angka ketergantungan.
Ada yang bisa menarik garis menghitung angka ketergantungan pada pelajaran di bangku SMP maupun SMA menjadi sebuah teori praktis yang bisa diterapkan pada kehidupan nyata?
Aku belum menyanyakan hal ini pada pakar ekonomi atau pakar kependudukan, tapi opiniku adalah;

Angka ketergantungan adalah angka beban tanggungan manusia pada usia produktif terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia yang tidak dalam usia produktif. Siapa saja yang masuk dalam usia produktif dan siapa saja yang tidak?
Monggo bisa dibuka lagi buku pelajaran semasa SMP/SMA, buka buku pelajaran anak, atau kalau malas ya buka google lah minimal.

Sederhananya adalah berapa banyak orang yang seharusnya bekerja di rumah anda dibagi dengan berapa jumlah total anggota di dalam rumah. Mudah bukan?

Tapi di tataran negara, hal ini menjadi lebih kompleks karena tidak semua usia nonproduktif sudah tidak bekerja, dan tidak semua usia produktif bekerja. Penyebabnya? Macam-macam tentu. Tidak hanya karena kurangnya lapangan pekerjaan.
Saat ini angka ketergantungan di Indonesia hampir mencapai 50% menurut katadata.co.id (aku mencari di akun resmi BPS enggak nemu). Sebuah angka yang masih sangat besar.
Maka dari itu kemampuan untuk mempunyai kebebasan finansial bagi semua orang yang berada di usia produktif sangat diperlukan.

Beberapa faktor membuat orang bisa bekerja sesuai jam kerja yang ideal, beberapa faktor bisa membuat orang bisa punya kegigihan membangun usaha sendiri, dan beberapa faktor ada yang membuat orang harus banting tulang tak kenal waktu. Baik itu perempuan atau laki-laki.
Kesadaran untuk memiliki  hidup sejahtera akan membuat orang-orang usia produktif melakukan berbagai cara untuk tetap produktif, terutama dari segi keuangan; bahkan kadang tak kenal waktu.

Mengingat kabar terakhir bahwa perempuan yang masih bekerja atau luntang-lantung di jalan akan mendapatkan denda; aku tidak setuju. Adakah deskripsi yang lebih spesifik dari deskripsi itu?
Aku rasa banyak perempuan akan bahagia jika tidak harus bekerja sampai larut malam. Tapi bagaimana jika terpaksa? Misalkan pegawai pabrik yang mendapat shift malam, atau pegawai mall yang buka sampai pukul 9 malam, belum beres-beres toko mereka, dll.
Aku rasa banyak perempuan akan merasa senang jika berproses di kesenian tidak perlu melibatkan waktu malam hari. Tapi, siapa yang akan menanggung hidup para seniman jika siang hari mereka tak bekerja layaknya manusia biasa?
Lantas kenapa harus berkesenian jika hanya menyita waktu?
Bisa kalian bayangkan dunia ini tanpa seni? Gersang hati kalian.

Itu hanya contoh seujung kuku jentik saja.

Padahal apa yang mereka lakukan juga bisa membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Mereka ada pada usia produktif dan sadar harus memiliki kebebasan finansial dengan berbagai macam WHY.
Jika begitu pun dibatasi, angka ketergantungan semakin melebar, siapa yang akan menanggung?
Perut-perut buncit anda, wahai Tua-Nyonya?

Lantas kenapa bukan begini saja solusinya? Jadikan malam seaman siang bagi semua orang, semua gender, untuk tetap bekerja, berproses, dan melakukan apapun hal baik itu.

Bagaimana ilmu dalam cetakan ijazah anda terapkan pada realita dan pada kemanusiaan wahai Tuan dan Nyonya Jabat?

Hanya perkara kecil anda bilang?
Perkara kecil saja anda tidak bisa memberikan solusi yang baik.

Masih belum berstruktur bagus seperti maestro karya ilmiah. Tapi semoga bisa dipahami sebagai bagian dari pemikiranku tentang kebebasan finansial bagi siapapun yang berada dalam usia produktif dan tentang lucunya Tuan dan Nyonya Jabat di Negeriku sekarang ini.

Salam J

1 komentar: