Di Jendela di
Senja Kali Ini
Semakin
tidak kumengerti tentang pertemuan dan perpisahan. Disenja yang menurunkan
kelambu jingga ini
aku kembali termenung. Adakah yang salah selama ini sehingga aku selalu
ditinggalkan? Matahari diatas sana pun
sebentar lagi seolah akan meninggalkanku. Bersama kawanan mega mereka berarak
pergi jauh sampai belahan lain bumi ini, menjelma matahari yang membangkitkan
semangat jiwa-jiwa yang baru saja terjaga dari heningnya malam. Matahari terusir
malam. Dan aku akan bertemu malam.
Dari setiap perjumpaan pasti akan ada yang berpisah. Setiap yang datang pasti
akan pergi. Cepat atau lambat. Baik-baik atau menyakitkan.
Tapi aku tak pernah mampu untuk mengingatkan diriku lebih dari itu sehingga aku selalu hancur ketika perpisahan datang. Bagiku perpisahan tetap menyakitkan.
Jika baik-baik, itu bukan perpisahan, itu hanya jeda. Jeda yang diberikan jarak
dan waktu agar kerinduan yang indah bisa bersemi diantaranya, dan perjumpaan
seolah menjadi taman bunga bermekaran. Sedangkan perpisahan bagiku seperti
halnya sebuah titik diakhir alinea. Tak berkelanjutan. Hanya sampai disitu.
Aku duduk dijendela kamar, satu kaki bersila dan satu
lagi menjejak lantai untuk menjaga keseimbangan. Aku memandangi senja yang
menggantung diatas bukit. Kubiarkan angin sore menerpa dan mengibaskan
rambutku. Kugenggam sebuah toples berisi seekor
kupu-kupu yang tiba-tiba saja hari ini
bertamu dikamarku. Aku mendekapnya dengan sangat erat.
Lalu kuamati dia.
Indah dan memesona dengan sayap berwarna paduan antara hitam dan ungu tua, warna kesukaanku. Begitu cantik ia dengan sayap keagungannya Mungkin ia
primadona disana. Aku yakin ia adalah kupu-kupu yang banyak digandrungi lawan
jenis sebangsanya. Tapi entah mengapa dalam pengembaraannya ia bisa sampai
dikamarku. Mungkin tersesat, atau mungkin ia memang sedang ditugaskan untuk
menemuiku.
“Hai
kupu-kupu yang cantik,” setelah hampir
seharian baru aku mulai menyapanya, “baru saja kita
berjumpa tadi pagi. Aku begitu terpesona
pada sayap indahmu. Sebenarnya aku tak ingin berlama-lama melihatmu, karena
semakin lama aku melihatmu semakin ingin aku memilikimu. Tapi kau justru semakin menggodaku,
menari-nari mengelilingiku dan semakin memamerkan sayapmu yang sangat elok itu tadi pagi. Jangan salahkan aku jika akhirnya kau mendarat di toples
mungilku ini.”
Aku
menghela nafas sejenak sambil memandang
jauh ke cakrawala senja sebelum
kembali berkata pada kupu-kupu yang kepakan sayapnya mulai melemah didalam
sana.
“Ah,
mengapa kita harus bertemu? Sedangkan aku tahu seberapa besar inginku
memilikimu, pada akhirnya kau harus kulepas. Sama seperti dia. Aku terlalu
terpesona padanya pada perjumpaan itu hingga aku berusaha untuk menangkapnya,
untuk memilikinya. Aku sudah mencoba untuk mengindari pertemuan dengannya,
namun ternyata bersama waktu ia menggoda dan menari-nari disekelilingku juga,
selayaknya kau.”
Kubuka
sedikit tutup toples agar kau tak mati didalam sana.
“Ya, aku tahu kau butuh oksigen didalam sana. Aku
tahu itu sejak kelas 4 SD karena ibu guru pernah berkata bahwa semua makhluk
hidup perlu oksigen untuk bernafas. Ya, aku
tahu kau juga makhluk hidup dan sudah pasti
kau juga butuh oksigen.”
Ku pandangi erat-erat sosok mungil dalam toples itu. Aku
cari matanya seolah aku bisa memandangnya lekat untuk meyakinkan ia bahwa yang
aku katakan sungguh-sungguh. “Aku memang ingin
memilikimu, tapi aku tak ingin menyiksamu.”
“Kau
senang?” tanyaku padamu, “dan aku lebih senang jika kau benar-benar menjadi
milikku. Tapi, itu hanya akan membuatmu mati dan aku tak mungkin lagi bisa
melihatmu,” aku diam sejenak.
“ Aku
pasti akan melepaskanmu.
Tapi sebelum itu kau
harus berjanji padaku untuk mengunjungiku lagi suatu saat nanti. Entah dipagi hari seperti saat kita berjumpa pertama
kali tadi atau seperti kali ini kau menemaniku memandangi senja yang akan
meninggalkanku.” Aku mengucapkan salam perpisahan dan kemudian membuka
penuh tutup toples itu. Ia berputar dan melesat keatas, menari, seolah berjanji
padaku bahwa ia (atau ia yang lain)
akan datang mengunjungiku lagi, dan selintas kemudia
ia melesat terbang kearah barat. Matahari benar-benar tenggelam.
“Kupu-kupu, itulah yang
membedakan kau dengan dia. Aku sempat mengucapkan salam perpisahan padamu dan
membuat janji agar kau kembali mengunjungiku. Tapi dia, tiba-tiba saja hilang. Tak sempat aku berucap
salam perpisahan, apalagi membuat janji agar kami bertemu kembali. Ah,
sudahlah.” Kataku sambil berdiri dan memandangi bukit yang menjadi rumah matahari. Kotaku tetap
indah diujung senja seperti ini. Angin
semakin dingin menusuk tulang. Aku menutup jendela.