Kita tak pernah tahu kapan rasa itu akan datang dan meminta kita untuk menyesap sari-sarinya hingga tanpa sadar kita akan mencandunya. Namun yang pasti adalah: Rasa itu PASTI hadir menghampiri kita.
Aku tak pernah meminta untuk didatanginya cepat-cepat atau lambat-lambat. Aku tak pernah meminta SIAPA yang akan hadir membawakan kuncup kembang candu itu. Aku tak pernah tahu apa wujud candu itu, bahkan hingga sekarang ketika percikan sarinya menyerempet lapisan terluar organ yang dikatakan bisa merasakan apa itu cinta, apa itu sayang, dan apa itu benci. Sekelebat. Masih hanya sekelebat.
Sekelebat saja kuncup kembang itu menyabetkan sarinya, dan aku merasakan getaran pada seluruh sendi-sendi badanku. Sesak. Aneh. Ada yang tiba-tiba saja meletup-meletup dari dalam (entah mana itu) dan membuatku merasa seperti kembang api yang siap disulut dan meledak pada dentang keduabelas awal tahun. Ada panas yang tiba-tiba saja membuatku demam, tak seimbang, namun bukan sakit. Ada benang kasat mata yang selalu menarik ujung bibir keatas dan pipi merah tanpa perona. Ada yang berdentum dari dalam dada.
Klasik. Tapi itu yang tak bisa ditolak ketika kuncup kembang itu tiba-tiba datang, menghampiri. Tak pernah bisa untuk ditolak.
Sekali datang dari sepetak lapangan belakang sekolah. Saat aku bersikeras mengatakan tak mungkin saat itu aku merasakan apa yang mereka rasakan. Ada letupan listrik didada kiri ketika mataku dan matanya beradu. Waktu itu aku masih kecil, dan aku tak meminta kuncup itu untuk segera datang seperti apa yang dilakukan teman-temanku. Tapi akhirnya aku menyerah melawan letupan-letupan itu dan mungkin mulai mengakui. Ya, aku mungkin suka pada kapten bola sepak itu. Mungkin. Mungkin aku hanya terkena ekor percikan sari kuncup kembang itu. Hanya sedikit tapi berbekas. Lewat 36 purnama baru terhapus tuntas percikan sari kuncup yang tak pernah coba untuk kusemai. Biar gugur bersama waktu. Biar lenyap bersama angin yang mengaburkan bayangnya.
Kau, rasa yang benar-benar candu. Dan candu karnamu tak ada tempat untuk menyembuhkannya, tak ada panti rehabnya, kecuali waktu yang rela mengikiskan.
Kuncup lama mengabur dan kabur dibawa angin waktu. Datang kuncup lain dalam ruang yang lebih sempit. Sepetak kelas yang membingkai lakumu yang berbeda. Diam-diam feromon menyelusup liang indra penciumanku diantara bidang-bidang cerita pertemanan dan persahabatan. Pelan. Halus. Terus. Menerus. Mengendapkan aroma khas kuncup kembangmu. Menyelusup dalam dan kuncupmu memekarkan duri yang mengoyak hati ini. Mematahkannya. Namun aku tetap masih diam. Kubiarkan saja tahu atau tidak tahu kau pernah menelusupkan feromon untuk kuhirup. Mungkin kau tahu dari teman-teman kita yang tahu tentang aku. Tapi aku tetap diam untukmu. Memilih berdoa agar jalan kita lekas dipisahkan waktu. Memaksa membuang saripati endapan feromon itu. Memaksa mematahkan helai-helai bakal kuncup agar lekas habis dan tanpa bekas. Berpuluh purnama coba kupatahkan helai demi helai, kucabut duri demi duri meski perih. Ketika tuntas kuhabisakan perih dari daging hati ini, seminggu kau tiba-tiba hadir lagi dipetak cerita kita yang sempat dipisahkan jarak dan waktu. Jika bukan karena temanku, aku tak pernah sadar kau pernah hadir lagi. Bel sekolah berdentang tanda istirahat.
"Bel, dia ada di warung depan lho", kata temanku yang baru saja kembali dari depan sekolah.
"Hah? Dia? Ngapain kesini? Ya udahlah. Toh temannya memang banyak disini." Jawabku ketika itu.
"Nggak mau ketemu dia?"
"Haha, ngapain? ogah ah. Lagian udah nggak mau lihat dia lagi."
Jawaban yang keluar dari mulutku yang pada akhirnya aku sesali sendiri. Aku merasakan ada firasat. Ada keanehan. Tapi kuabaikan. Beberapa hari kemudian aku sadar bahwa kehadirannya adalah sebuah tanda. Dia sedang berpamitan pada kami semua. Orang-orang yang menyayanginya.
Senja bersama adzan magrib yang berkumandang HP-ku berbunyi. Telefon dari temanku.
"Bel, kamu udah dapat kabar?"
"Kabar apa?"
"Hmm, yang sabar ya Bel. Dia meninggal. Kecelakaan sore tadi. Aku baru mau memastikan kerumahnya."
Seperti ada petir yang menyambar jantung. Speechless. Semua tenaga seolah pergi bersama kilat yang menyambar. Untuk duduk pun aku harus mencari tembok untuk bersandar.
Dan aku masih ingin mempercayai bahwa yang dikatakan temanku hanya sebuah candaan.
"Nek guyon ojo koyo ngono to." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Setelahnya aku sudah tak mendengar apa yang dikatakan temanku dari seberang sana. Tiba-tiba menuli. Sesak.
Tapi aku masih mencoba mencari pembenaran apa yang tidak aku yakini itu. Aku menghubungi sahabat karibnya, dan apa yang dikatakan temanku dibenarkannya. Ada lelehan panas mengaliri pipiku. Semalaman aku bersembunyi dibalik kamar, menyembunyikan dukaku dari kedua orangtuaku.
Sahabat, maafkan aku yang menaburi jalan pulang dan pusaramu dengan linangan airmata. Biar rasaku yang pernah ada untukmu kusimpan dalam diam darimu. Kami selalu menyayangimu. Istirahatlah dalam tenang.
( 27 February 2009)
Itu, kehilangan yang sangat menyakitkan meskipun waktu itu rasa untuknya (aku kira) sudah memudar.Hari ke 1100 sekian baru bisa aku berhenti menghitung hari kepergianmu.
Aku tak pernah meminta orang seperti apa yang membawakan kuncup kembang itu. Dan kapan waktunya. Aku tak pernah meminta. Aku tak pernah meminta agar aku diberikan rasa suka kepada siapa. Aku hanya mengikuti saja. Atau jika aku meminta, aku meminta agar janganlah datang perasaan itu sebelum aku siap. Siap menyemai dan siap untuk patah.
Tapi menolak perasaan itu ketika hadir pun sama sulitnya.
Hidupku berlanjut dalam hampa dan isi yang semu. Dalam cerita tanpa status dengan seseorang yang memberikan kuncup kembangnya pada banyak lebah. Satu tahun aku memaksa diriku agar lepas darinya. Memaksa diri. Memang. Dan itu sungguh sangat melelahkan batin. Memaksa untuk mengakhiri ketergantungan.
Aku lelah. Aku tahu sulit untuk menolak rasa itu jika hadir. Tapi aku memaksa diri untuk membuat benteng untuk melindungi hatiku dari duri, patah, dan lelah. Aku bangun benteng itu dari bagian diriku yang keras tanpa empati dan simpati. Aku mengeraskan hati. Aku tak acuh pada apapun. Aku menjadi orang yang keras hati. Aku kira aku membangun benteng yang kokoh untuk melindungi hatiku.
Namun ini semakin membuatku lelah. Membuatku menjadi zombi, bernyawa tanpa perasaan. Aku bertambah lelah dan jenuh. Ternyata aku hanya bersembunyi dari ketidakmampuanku untuk menguasai hatiku sendiri. Aku lelah. Jenuh. Menyerah.
Dan runtuhlah benteng yang hanya maya dan rapuh itu.
Memiliki keluarga baru yang membuatku perlahan menyayangi mereka dan nyaman dalam kehangatan mereka. Di tempat yang baru ini. Di tempat pertamakalinya aku harus pergi jauh dari rumah. Rasa sayang untuk mereka melelehkan benteng yang mengisolasikan aku dari aku.
Semakin nyaman disana dalam tawa canda mereka. Dan tiba-tiba muncullah seseorang baru diantara tawa-tawa mereka.
Ada sesuatu yang menarik. Dan seketika aku langsung berkata pada Tuhan "Tolong, jangan perasaan itu lagi. Aku masih lelah."
Dia orang dari seberang. Penuh teka-teki. Orang yang optimis, pekerja keras. Dan ia suka sekali bercerita. Apapun. Tentang ia, tentang hidupnya, tentang perjalanannya, tentang yang ia baca, tentang yang ia dengar, tentang apapun itu. Dan aku begitu suka mendengan ia bercerita. Ada sesuatu yang hilang ketika malam ia tak hadir dan tak bisa mendengar ceritanya.
Lagi-lagi aku tertambat kuncup kembang yang terlambat aku sadari. Yang mulai mekar perlahan-lahan dengan semaian dongeng-dongengnya. Beratus sajak lahir setiap malam untuk mengabadikan tentang hari dengannya. Mengabadikan hari ketika memikirkannya. Senang ataupun sedih. Seperti ketika tiba-tiba saja dia menghilang dua bulan tanpa kabar entah kemana (dan ketika aku telusuri ia pergi ke Temanggung). Semakin banyak saja sajak tertulis waktu itu. Ya, aku rindu. Rindu yang aku simpan darinya. Aku simpan sendiri. Tak ada yang tahu aku menaruh perhatian padanya (aku kira). Tapi perlahan ternyata mereka tahu juga. Termasuk saudaranya dari rantau.
Waktu itu saat dia belum kembali dari menghilang, dan aku sedang dalam kesibukan pentasku. Seusai pentas aku dipanggil noleh saudaranya. Dikatakannya bahwa dia sering bercerita tentang aku. Sungguh, sangat ingin mempercayai itu 100%. Tapi sebagian hatiku memberikan tanda merah agar tak sebanyak itu aku percaya. Aku katakan, "Abaikan, dia lebih dekat dengan gadis lain!" Aku pun mulai putus asa menanti dia kembali sehingga aku mengikiskan harapanku bisa bertemu dia lagi di Jogja ini.
Tapi tiba-tiba saja suatu malam dengan penampilan yang berbeda dari terakhir kali aku melihatnya, dibawah gelapnya malam rektorat, aku menlihat sosoknya hadir. Ya, aku tetap mengenalinya. Dan waktu itu jujur aku tak bisa berkata apa-apa. Menatap matanya pun menjadi sebegitu menakutkan. Aku hanya diam dan ia bercengkrama dengan teman-teman yang lain. Aku menjadi lebih pendiam dari waktu aku terkahir kali bertemu dengannya. Kembalinya waktu itu menambah drastis perasaanku yang tertaut padanya. Sempat ia berikan kenangan juga sewaktu aku dan dia bersepeda bersama dibawah rintik hujan sewaktu pulang latihan. Mungkin kamu akan lupa waktu itu, tapi aku mengingatnya bang.
Aku senang kamu kembali. Aku senang kau coba untuk ikut tes seleksi lagi. Sungguh malam itu aku benar-benar berdoa untuk kelolosanmu. Dan aku sungguh-sungguh sedih bang waktu kamu nggak lolos. Dan akhirnya bang, kamu memutuskan untuk balik ke kampung halamanmu. Hatiku lagi-lagi patah namun mencoba untuk biasa. Lagi-lagi aku melepasmu pergi dalam diamku. Padahal aku sungguh sangat ingin berbicara denganmu, atau hanya mendengarmu bercerita saja, sekali lagi, sebelum kamu pergi. Tapi semua berlalu begitu saja. Aku patah lagi dan lagi. Kau telah berlayar pulang, melewati samudra diutara sana. Bang, kapan kamu balik kesini lagi? Hatiku kembali dalam diam duka karena kau pergi. Tapi aku selalu berdoa semoga apa yang terjadi padamu adalah yang terbaik untukmu meskipun mungkin aku tak bisa lagi bertemu kamu bang.
Setahun lebih dia pergi. Dan tak kembali lagi kesini. Dia sudah jauh diseberang. Dan aku berjuang melupakannya. Benar-benar melupakan. Karena jarak kita memustahilkan kita. Waktu itu sedang sibuk-sibuknya menjadi panitia penyambutan mahasiswa baru dikampus. Jadwalku crowded dan aku tak bisa lagi setiap malam untuk terpuruk karena tak bisa lagi bertemu denganmu. Waktu itu tepat dicatatan dengan tajuk #32 aku merasakan perasaanku yang mulai kelelahan, mengusang, dan berdebu. Aku lelah, dan aku mengakhiri dengan catatan itu. Doaku sewaktu itu, "semoga kau mendapatkan hidup yang terbaik disana".
Dihari-hari yang penuh jadwal itu entah mengapa beberapa hari aku bermimpi tentang seseorang yang entah siapa namun ia selalu membuatku nyaman. Aku mengabaikannya hingga aku lupa karena kesibukanku menjadi panitia waktu itu.
Dan tibalah saatnya cerita tentangmu yang hari ini aku sayang.
Kamu yang sebelumnya juga tidak aku sangka untuk aku bisa suka. Sama sekali tak menyangka. Karena aku masih tidak pernah untuk meminta kapan kuncup kembang itu datang dan dibawa oleh siapa. Karena waktu itupun, masih sangat awal kita berkenalan.
(sampai disini apakah aku harus menulis ulang lagi cerita bagaimana aku suka padamu? Apakah aku harus merangkai lagi puzzle sajak tentangmu?)
Ya, aku sendiripun awalnya merasa cerita kita begitu cepat. Persiapan Ospek kita kenal, sebelum hari H Ospek kau meminjamkan motor padaku dan banyak membantuku. Hari H Ospek kau dan (teman-temanmu juga) lebih banyak lagi membantuku. Disini aku ingat aku mulai memerhatikanmu, namun aku tak ingin mengiyakan aku suka kamu. Aku masih lelah. Tapi iya waktu itu kamu mulai lebih mendapat perhatianku. Segala kesenanganmu waktu itu (yang membahayakanmu) sungguh membuatku ingin berkata "Please stop! Jangan sakiti dirimu sendiri! Aku nggak pengin lihat kamu kenapa-kenapa. Aku nggak pengin kamu sakit." Tapi waktu itu aku juga tahu tentang kamu dan gadis itu. Dan aku tahu aku harus sadar diri :)
Terimakasih untuk apa yang kamu lakukan dihari-hari itu. Sungguh aku sangat terbantu.
Ya, beberapa hal biarlah hanya kita saja yang tahu (dan mungkin beberapa orang yang waktu itu ada disana jika mereka masih mengingatnya).
[Hey, tapi waktu itu aku dapat nomermu bukan disengaja karena aku mulai peduli terhadap kamu lho, tapi karena aku harus tanggung jawab sama barang yang aku pinjam waktu itu.]
Hari terakhir Ospek, aku sedih banget lihat tanganmu kayak gitu. Tapi kamunya emang suka nyiksa diri sih. Jadi waktu itu aku nggak pulang selain karena kunci rumahku yang entah kemana, juga karena pengin tahu keadaanmu.
Lalu kejadian sehabis makan disiang itu diatas Pick-up (yang emoh aku ceritain) dan membawa petaka nyut-nyutan dikepalaku. Dan terimakasih untuk kamu yang masih nemenin aku diatas Pick-up.
Sms waktu itu sebenarnya aku pengin bilang terimaksih ke kamu, tapi aku bingung dan jadinya malah sms geje kayak gitu. Terus paginya kamu juga ke PKM lagi, padahal teman-temanmu udah pada entah kemana. Itu hari sebelum akhirnya aku pulang dan 2mingguan kita nggak ketemu. Hari itu ternyata si Budi diem-diem juga ngambil foto kita berdua >,<
(aku tahunya setelah lamaaaaaaa banget)
2 minggu nggak ketemu kita akhirnya smsan doang. Beberapa hari sms-an, aku stay cool mencoba untuk masih berkata 'ini sms-an biasa'. Tapi ya waktu itu aku seneng (banget) smsan sama kamu. Diantara itu, akhirnya aku sms teman kita dan aku tanya-tanya tentang kamu.
Selama hari yang cepat namun lama itu berkali-kali perasaanku dibuat seperti berombak, naik-turun, dan meledak-ledak. Entah apa deskripsinya yang tepat.
Lalu akhirnya kita bertemu lagi dikampus. Dan aku sempat menghindarimu (berharap aku tidak terluka lagi). Tapi nyatanya memang sulit untuk menghapus apa yang sedang aku rasakan. Waktu itu pas ulangtahunmu juga (yang aku ingat dari jauh jauh jauuuuuuh hari), aku berharap setidaknya bisa mengucapkan 'selamat ulangtahun' untukmu.Tapi aku nggak berani, dan nggak bisa karena aku nggak punya alasan buat ketemu kamu. Kita waktu itu sudah teramat jauh menurutku. Aku nyerah. Aku merasa waktu itu udah nggak bisa memperbaiki apa yang sudah aku rusak. Dan aku tersiksa dengan keadaan itu.
Ini yang aku buat pas hari ulangtahunmu. Haha, geje siihh....
Lalu ada yang bilang ke aku, mending aku bilang ke kamu biar semua pasti dan jelas. Dan itu akan memudahkan hatiku untuk selanjutnya. Jadi, akhirnya sampailah pada malam itu dan semua aku ceritakan padamu.
Dan mulai saat itu aku tak ingin memaksakan diriku untuk melupakan bahkan orang yang aku sayang. Biarlah waktu yang membawa perasaanku. Biarlah waktu yang tahu esok akan seperti apa. Yang aku tahu hari ini aku sayang kamu. Dan itu yang akan aku jalani. Meskipun kamu juga pada keadaan seperti apa yang waktu itu kamu katakan padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar