Setelah selesai aku tulis, ini semacam menjadi sesuatu yang harus aku post di sini dahulu sebelum ke facebook.
Selamat menikmati.
------------------------------
------------------------------
Lagi, tentang angka ketergantungan.
Ada yang bisa menarik garis menghitung
angka ketergantungan pada pelajaran di bangku SMP maupun SMA menjadi sebuah
teori praktis yang bisa diterapkan pada kehidupan nyata?
Aku belum menyanyakan hal ini pada pakar
ekonomi atau pakar kependudukan, tapi opiniku adalah;
Angka ketergantungan adalah angka beban
tanggungan manusia pada usia produktif terhadap dirinya sendiri dan terhadap
manusia yang tidak dalam usia produktif. Siapa saja yang masuk dalam usia produktif
dan siapa saja yang tidak?
Monggo bisa dibuka lagi buku pelajaran
semasa SMP/SMA, buka buku pelajaran anak, atau kalau malas ya buka google lah
minimal.
Sederhananya adalah berapa banyak orang yang
seharusnya bekerja di rumah anda dibagi dengan berapa jumlah total anggota di
dalam rumah. Mudah bukan?
Tapi di tataran negara, hal ini menjadi
lebih kompleks karena tidak semua usia nonproduktif sudah tidak bekerja, dan
tidak semua usia produktif bekerja. Penyebabnya? Macam-macam tentu. Tidak hanya
karena kurangnya lapangan pekerjaan.
Saat ini angka ketergantungan di
Indonesia hampir mencapai 50% menurut katadata.co.id (aku mencari di akun resmi
BPS enggak nemu). Sebuah angka yang masih sangat besar.
Maka dari itu kemampuan untuk mempunyai
kebebasan finansial bagi semua orang yang berada di usia produktif sangat
diperlukan.
Beberapa faktor membuat orang bisa
bekerja sesuai jam kerja yang ideal, beberapa faktor bisa membuat orang bisa
punya kegigihan membangun usaha sendiri, dan beberapa faktor ada yang membuat
orang harus banting tulang tak kenal waktu. Baik itu perempuan atau laki-laki.
Kesadaran untuk memiliki hidup sejahtera akan membuat orang-orang usia
produktif melakukan berbagai cara untuk tetap produktif, terutama dari segi
keuangan; bahkan kadang tak kenal waktu.
Mengingat kabar terakhir bahwa perempuan
yang masih bekerja atau luntang-lantung di jalan akan mendapatkan denda; aku
tidak setuju. Adakah deskripsi yang lebih spesifik dari deskripsi itu?
Aku rasa banyak perempuan akan bahagia
jika tidak harus bekerja sampai larut malam. Tapi bagaimana jika terpaksa?
Misalkan pegawai pabrik yang mendapat shift malam, atau pegawai mall yang buka
sampai pukul 9 malam, belum beres-beres toko mereka, dll.
Aku rasa banyak perempuan akan merasa
senang jika berproses di kesenian tidak perlu melibatkan waktu malam hari.
Tapi, siapa yang akan menanggung hidup para seniman jika siang hari mereka tak
bekerja layaknya manusia biasa?
Lantas kenapa harus berkesenian jika
hanya menyita waktu?
Bisa kalian bayangkan dunia ini tanpa
seni? Gersang hati kalian.
Itu hanya contoh seujung kuku jentik
saja.
Padahal apa yang mereka lakukan juga
bisa membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Mereka ada pada usia produktif dan sadar
harus memiliki kebebasan finansial dengan berbagai macam WHY.
Jika begitu pun dibatasi, angka ketergantungan
semakin melebar, siapa yang akan menanggung?
Perut-perut buncit anda, wahai
Tua-Nyonya?
Lantas kenapa bukan begini saja
solusinya? Jadikan malam seaman siang bagi semua orang, semua gender, untuk
tetap bekerja, berproses, dan melakukan apapun hal baik itu.
Bagaimana ilmu dalam cetakan ijazah anda
terapkan pada realita dan pada kemanusiaan wahai Tuan dan Nyonya Jabat?
Hanya perkara kecil anda bilang?
Perkara kecil saja anda tidak bisa
memberikan solusi yang baik.
Masih belum berstruktur bagus seperti maestro
karya ilmiah. Tapi semoga bisa dipahami sebagai bagian dari pemikiranku tentang
kebebasan finansial bagi siapapun yang berada dalam usia produktif dan tentang
lucunya Tuan dan Nyonya Jabat di Negeriku sekarang ini.
Salam J