Menampilkan Beckett adalah
sebuah tantangan tersendiri bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
pertunjukan drama. Tidak semua pelaku seni di bidang tersebut berani untuk
menampilkan karya Beckett. Mereka yang berani pun belum tentu berhasil
membawakan naskah Beckett dengan tetap memiliki jiwa Beckett. Samuel Beckett
adalah penulis naskah yang tetap hidup dalam karyanya meskipun raganya sudah tak ada.
Seseorang yang berani membawakan naskahnya tapi tak bisa memahami ia, maka
sebagian besar akan mengalami keadaan dimana orang tersebut tidak menyampaikan
apa inti naskah tersebut. Pertunjukannya nanti pun akan terkesan membosankan
karena Beckett memang senang bermain-main dengan kesunyian yang magis dalam
semua naskahnya. Hampir setiap orang yang menonton ‘garapan’ yang berasal dari
naskah Beckett (asli maupun saduran) selalu menanti-nantikan jiwa Beckett hadir
disana. “Mana Beckett-nya?” kalimat itu adalah kalimat yang senantiasa akan
selalu bergema dalam masing-masing hati dan pikiran penikmat maupun kritikus
drama saat melihat pementasan yang mengangkat naskah Beckett. Ketika penonton
tak bisa menemukan kesunyian Beckett yang magis, khusyuk, dan penuh arti
tersebut, maka bisa jadi penonton hanya akan disuguhi keheningan yang kosong,
dan membosankan. Apalagi bagi mereka yang ingin menonton untuk mendapatkan
hiburan. Hiburan identik dengan hingar bingar, sedangkan Beckett jauh dari itu.
Tak ada hingar bingar dalam naskah Beckett. Sebut saja ‘Menunggu Godot’. Apa yang
dilakukan para aktornya? Menunggu. Ya, hanya menunggu, dan dalam waktu yang
lama, lebih dari dua jam ketika naskah ini pertama kali ditampilkan. Lalu
‘hiburan’ macam apa yang diinginkan Beckett dari naskahnya? Disini bisa saya
katakan Beckett mengajak kita untuk beramah tamah dengan keheningan, kesunyian,
kesendirian, kesepian, dan mungkin juga kegelapan. Banyak orang yang mengatakan
takut dengan kesendirian, kesepian, maupun kesunyian, tapi tak bisa dipungkiri
mereka melekat dalam kehidupan kita. Beckett mengajak kita untuk mengakrabi
mereka. Khusyuk menjalani setiap detail yang kita lakukan. Merenung, merenung,
dan merenung, kediaman yang Beckett ciptakan membawa kita untuk merenung
diantara kehidupan yang terus menderu dan semakin cepat saja tiap dekadenya.
Diantara banyak karya
‘hening’ Beckett, salah satunya adalah Krapps’s Last Tape atau yang
diterjemahkan dengan bebas dalam Bahasa Indonesia menjadi Rekaman Terakhir
Krapp. Krapp’s Last Tape adalah karya yang ditulis Beckett pada tahun 1958.
Pada Oktober tahun itu pula naskah ini
pertama kali di pentaskan di Royal Court Theater London.
Krapp’s Last Tape, sebuah naskah monolog yang
menghadirkan cerita dari seorang bernama Krapp. Krapp’s Last Tape bukan
satu-satunya naskah yang menghadirkan tokoh Krapp. Krapp juga hadir dalam
naskah-naskah Beckett yang lain seperti End Game dengan masalah yang berbeda.
Lagi-lagi dalam naskah ini Beckett menampilkan kepiawaiannya dalam menangkap
fenomena absurditas.
Menonton Krapp? Silahkan
saja. Kali ini, dalam Rekaman Terakhir Krapp, Beckett mengangkat kisah Krapp
yang ‘gelap’ sampai akhir hayatnya. Krapp dalam cerita ini sudah berumur 69
tahun. Dalam usia tersebut temannya hanyalah kesepian dan keheningan. Krapp tua
itu memiliki hobi yang unik, ia selalu bercerita dan ia merekamnya. Hal itu ia
lakukan sejak dulu. Suatu hari ia mencari-cari sesuatu dalam laci mejanya. Ia
menemukan pisang, makanan yang menjadi kegemarannya sejak dulu, ia berencana
memakannya tapi diurungkan. Tiba-tiba ia mencari-cari sebuah gulungan rekamannya
di masa lalu. Dengan susah payah akhirnya ia menemukannya.kemudian ia memutar
pita tersebut dalam sebuah tape dan mendengarkannya melalui telinga yang sudah
kehilangan sebagian daya dengarnya. Krapp mendengarkan rekaman yang ia buat 30
tahun yang lalu. Ia mendengarkan dengan saksama ceritanya pada saat itu.
Tigapuluh tahun lalu adalah masa dimana ia merasa menjadi masa paling jaya
dalam hidupnya. Dalam rekaman tersebut Krapp dewasa sedang mengomentari masa
remaja Krapp. Ia bercerita tentang bagaimana Krapp remaja mengagumi seorang
gadis bernama Bianca. Selanjutnya ia teringat tentang ibunya yang menemui ajal
di rumah yang terletak diatas kanal. Saat itu ada satu gadis ‘gelap’ yang
tinggal disekitar rumah itu dan juga ia kagumi, namun ia tak berani untuk
berkenalan dengannya. Krapp dewasa menyumpahi hal yang terjadi pada Krapp
remaja. Selanjutnya Krapp dewasa bercerita bahwa kemudian hidupnya menjadi
penuh dengan bermain wanita. Selesai ia mendengarkan, Krapp tua mematikan tape
dan memasang pita kosong. Krapp tua merekam dirinya. Ia menyumpahi lagi dirinya
yang pernah menjadi sangat kelam tersebut. Krapp seolah-olah ingin melupakan
masa kelam tersebut tapi ia sadar bahwa kelam selama ini telah bersamanya
sampai hari itu. Ia sadar bahwa kegelapan selalu bersamanya hingga menjelang
hari akhirnya.
Beckett menggiring emosi dan
psikologi pembaca untuk mengikuti kemauan Krapp tua yang dihadirkan dengan
sangat perlahan. Detail-detail keheningan yang diberikan Beckett sangat banyak
dalam naskahnya. Begitupun ketika naskah ini ditampilkan. Pertunjukan akan
menggiring penontonnya untuk masuk kedalam Krapp secara perlahan. Mencoba untuk
memahami apa yang dilakukan Krapp dan ketika ada yang tak dipahami maka
pertanyaan akan muncul. Munculnya pertanyaan tersebut nantinya akan menjadi hal
yang baik karena penonton ikut terbawa arus perenungan Krapp atas hidup yang
telah dijalaninya (mungkin penonton juga akan ikut merenungi hidupnya) dan
membawa penonton untuk sama-sama menggali apa yang sedang dipikirkan oleh
Krapp.
Apakah kita selalu bisa
membaca pemikirannya? Dalam memproduksi karya pendek, Beckett melakukan
pendekatan karakteristik teks yang diciptakan sendiri. Backett mencoba menggali
unsur tematiknya dan hal itu juga bisa kita temui dalam Krapp. Memainkan
Beckett sama halnya sedang melakukan kompromi dengannya. Sutradara memberikan
penawaran-penawaran seperti aktor juga menunjukkan penawaran atas ciptaannya. Aktor
sendiri perlu menerjemahkan kata-kata yang disampaikan oleh Beckett, kata-kata
yang menjadi simbolisasi atas kekuasaan politik, budaya, dan moralitas. Aktor
tidak hanya menampilkan ketepatan dan kecepatan dalam gerak tubuh, bisnis
akting, dan pendekatan karakter akan tetapi juga dituntut untuk mengetahui apa
yang menjadi motivasi dirinya bergerak. Gerakan yang dilakukan bukan
semata-mata hanya improvisasi. Re-interpretasi diperlukan aktor karena aktor
dituntut untuk mengetahui karakter tokoh pada teks berdasarkan pemaknaan
dialog.
Pertunjukan ini memiliki
sisi unik tersendiri yang sudah dimunculkan oleh Beckett yaitu dengan adanya
alat elektronik yang dihadirkan hidup diatas panggung dan bukan sekedar sebagai
properti atau pendukung (Krapp
mendengarkan pita rekamannya melalui tape). Hal ini menjadi istimewa karena apa
yang ditampilkan aktor nantinya dan apa yang diputar melalui tape sama-sama
harus memiliki karakter yang kuat. Emosi yang terjalin antara aktor yang
memerankan Krapp dan Krapp dalam rekaman haruslah sinkron, saling mengisi, dan
saling mendukung. Pemahaman secara utuh tentang Krapp dimasa remaja, dewasa,
dan tua sangat dibutuhkan disini. Tantangan lainnya seperti naskah-naskah
Beckett yang lain yaitu bagaimana agar penonton mampu bertahan dalam
‘kebosannnya’ menonton pertunjukan Beckett dan bagaimana cara memunculkan
pertanyaan dalam diri penonton sebagai hasil merenung dan refleksi dalam
dirinya.
Meskipun begitu, pertunjukan
tetap boleh diragukan karena tak selalu memiliki makna tunggal. Interpretasi
boleh meleset. Memainkan Beckett ibarat menembak target yang bergerak. Sesekali
kena sayap, sesekali kena kaki, sesekali memecahkan kepala, dan kadang
meremukkan ulu hati.
Bela
Yusti Suryani
(Teater
Mishbah)