Madre:
Feminitas sebagai Kunci dan Benang Merah
Oleh:
Bela Yusti Suryani
PBSI-K
| 10201241029
Saya akan mengawali kritik ini
tidak dengan menggunakan teori kritik sastra manapun. Karena pada dasarnya
kritik itu mengandung lebih banyak subjektifitasnya, refleksi mental atas apa
yang ia kritik. Seperti apa yang disampaikan oleh Dee Lestari sendiri pada
tanggal 31 desember 2012 dalam akun twitternya yang menanggapi tentang #kritik.
Silahkan untuk men-scroll #kritik
dalam aku @deelestari. Di poin ke 9, 10 dan 13 berikut ini yang ia tuliskan:
««««««««««
9. Lalu saya
dipertemukan dengan sebuah buku bisnis yang ditulis seorang bhiksu modern: “The
Diamond Cutter” – Gesche Michael Roach. #kritik
10. Roach
cerita tentang prinsip Buddhisme: segala sesuatu secara inhern bersifat netral.
Tidak ada yang kebetulan baik atau buruk.
Label diciptakan oleh mental. #kritik
13. Jika itu
diterapkan kesemua pihak, kritikus pun tidak punya kebenaran inhern. Yang ia
tulis subjektif, refleksi mentalnya atas apa yang ia #kritik.
««««««««««
“Madre”,
sebuah kumpulan cerita yang terdiri dari 1 novelette, 7 puisi, dan 5
fiksi. Terbit tahun 2011 sebagai buku
ke- 7 milik Dewi setelah ‘Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh’,
‘Supernova: Akar’, ‘Supernova: Petir’,
‘Rectoverso’, ‘Perahu Kertas’, dan ‘Filosofi Kopi’. ‘Madre’ hadir seperti
primadona yang melenggang dengan keanggunannya diatas karpet merah. Novelette
yang berjudul sama dengan judul kumcer ini menjadi chapter pertama dalam buku ini. Bercerita tentang Madre,
sebuah adonan biang dari roti. Bagaimana Madre ini mengubah hidup seorang anak
pantai bernama Tansen menjadi seorang
baker atau pembuat roti. Madre pula yang mempertemukan Tansen dengan
seorang gadis bernama Mei, penerus perusahaan sebuah bakery modern. Jalinan-jalinan cerita yang disusun sederhana
namun penuh kejutan. Mengambil tokoh utama sesuatu yang jarang dilirik orang
apalagi untuk dijadikan ide membuat sebuah cerita. Jarang orang mengerti apa
itu adonan biang dalam dunia kuliner, namun disini Dee dengan ramuan
kata-katanya secara tidak langsung membukakan mata awam bahwa ada sesuatu yang
bernama adonan biang.
Mengapa
adonan biang itu dinamakan ‘Madre’? disini mulai muncul sisi feminisme dari
seorang Dee. ‘Madre’ berasal dari bahasa
Spanyol yang berarti ‘Ibu’. Dee mencoba untuk menjelaskan betapa pentingnya
sebuah adonan biang untuk menjadi induk dari roti-roti berkualitas yang
nantinya akan dibuat sampai ia menamai adonan biang tokohnya ini dengan nama
‘Ibu’. Di dalam cerita Madre ini juga muncul satu adegan dimana ada sebuah
adonan biang yang mati dan bisa mengubah secara drastis produk dari sebuah toko
roti. Adonan itu milik Yeye Mei. Hal
itulah yang kemudian mendasari Mei tertarik dengan Madre yang dimiliki oleh
Tansen. Mei yang sukses dengan Fairy Bread dengan konsep modern tetap berusaha mencari lagi adonan biang
untuk menghasilkan roti-roti dengan rasa klasik.
Madre
benar-benar menjadi tokoh sentral disini, dimana kehidupan orang-orang
disekitarnya benar-benar bergantung padanya dan bisa mengubah hidup tokoh-tokoh
yang lain. Madre memang seperti ibu yang merawat dan menghidupi orang-orang
yang terlibat dengannya yaitu Pak Hadi dan 4 pekerja Tan de Bakker yang lain.
Dari Madre kelima orang itu hidup. Mereka berlima, berenam dengan Madre hidup
seperti satu keluarga, saling menyayangi. Pak Hadi dan teman-temannya begitu
tekun merawat ‘Madre’ dari ketika Tan de Bakker masih hidup maupun sudah
bangkrut. Madre yang berumur lebih dari
40 tahun itu pun terkadang mereka ajak ngobrol selayaknya manusia. Kemudian
Tansen yang ditasbihkan sebagai pewaris ‘Madre’ pada akhirnya hidupnya berbalik
180 derajad. Dari yang semula ia bebas berpetualang kemanapun, sendiri tanpa
sanak saudara, sejak kehadiran ‘Madre’
lahirlah keluarga-keluarga baru untuknya juga keluarganya yang
sebenarnya namun tak ia ketahui keberadaannya sejak dulu. Mei juga hadir dan
bisa bertemu dengan Tansen hingga mereka saling jatuh cinta juga berkat
‘Madre’. ‘Madre’ melahirkan kehidupan-kehidupan baru selayaknya seorang ibu.
Adonan
biang memang sebuah ramuan fungi hasil pengkulturan yang bisa bertahan sangat
lama jika dirawat dengan benar. ‘Madre’
sewaktu bertemu dengan Tansen sudah berumur 40 tahun. ‘Madre’ dalam
keluarga Tansen sudah melewati tiga generasi yaitu nenek Tansen, Ibu Tansen,
dan generasi Tansen. Uniknya disini Dee seolah ‘mematikan’ tokoh-tokoh wanita
dengan cepat. Diceritakan Lakhsmi (nenek Tansen) meninggal tidak lama setelah
melahirkan Ibu Tansen, dan Ibu Tansen meninggal tak lama dari waktu ia melahirkan
Tansen. Dan disini ‘Madre’ memang hadir seolah-olah bagaikan ibu bagi para
tokoh, menggantikan kepergian Lakhsmi dan Ibu Tansen.
Sangat
tepat Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee ini menjadikan ‘madre’ sebagai
garda depan kumpulan cerita ini. ‘Madre’ begitu menghipnotis siapa saja yang
membuka gerbang kumpulan cerita ini. Kini ‘Madre’ juga sedang ada dalam proses
produksi untuk diangkat ke layar lebar. Antusias pembaca terhadap ‘Madre’
begitu besar. Setelah kita membuka gerbang dan disambut oleh ‘Ibu’ yang penuh
kejutan, kita juga disambut dengan 7 puisi dan 5 fiksi milih Dee. Beberapa
pernah dimuat dalam blog pribadinya, dan beberapa baru pertama kali rilis
bersama dengan Kumcer ‘Madre’ ini. Tujuh puisi itu adalah ‘Perempuan dan
Rahasia’, ‘Ingatan Tentang Kalian’, ‘Wajah Telaga’, ‘Tanyaku pada Bambu’, ‘33’,
‘Percakapan di sebuah Jembatan’, dan ‘Barangkali Cinta’. Sedangkan kelima fiksinya
adalah ‘Rimba Amniotik’, ‘Have You Ever?’ Semangkuk Acar untuk Cinta dan
Tuhan’, ‘Guruji’, dan ‘Menunggu Layang-layang’.
Fiksi
dan puisi-puisi wanita kelahiran 20 Januari 1976 ini berisi tentang
perenungan-perenungannya tentang hal-hal sederhana yang ada disekelilingnya dan
disekeliling kita semua namun kadang tak terperhatikan. Dalam ‘Rimba Amniotik’
dan ‘Tanyaku Pada Bambu’ Dee mengungkapkan perenungannya tentang kelahiran, tak
jauh-jauh dari ibu. Dalam ‘Rimba
amniotik’ ia bercerita bagaimana rasanya menantikan sebuah kelahiran, gerbang
yang memisahkan dua kehidupan dari satu jiwa. Seperti yang ia tulis
“Perjalananmu kelak hanyalah dari perutku menuju dekapanku. Namun itulah
perjalanan yang akan mengubah kita berdua. Mengubah dunia.” Dee mengungkapkan bahwa
perjalanan itu adalah “perjalanan yang akan mengingatkan mereka yang
lupa” bahwa kehidupan tak ubahnya dua sisi
koin. Perjalanan yang singkat itu pun membuat kehidupan kembali dari nol
setelah dilewati. Maksudnya disini adalah ketika bayi masih didalam rahim, ibu
dan bayi itu sudah mempunyai kenangan kehidupan dan pengalaman sendiri.
Biasanya para ibu akan mengajak berbicara si janin atau apapun itu dan direspon
oleh si janin. Terkadang mereka pun sudah membuat perjanjian-perjanjian sebelum
datangnya kelahiran. Namun setelah lahir si janin kembali menjadi sosok yang
rapuh bernama bayi dan ingatannyapun seolah di restart. Sedangkan dalam
‘Tanyaku pada Bambu’, puisi ini juga menannyakan hakikat kelahiran, kematian,
kabadian, dan keberadaan. Dee menyampaikannya melalui sebuah bambu.
‘Have
You Ever?’ bercerita tentang tiga buah surat berisi teka-teki yang datang dari seorang
wanita yang kemudian dicintai oleh si tokoh Howard yang membawanya ke benua
seberang, Australia untuk menemukan Bintang Selatan, Mercusuar, dan
menghentikan sebuah pertanyaan “Have You Ever?”. Sebuah cerita mengejutkan, permasalahan yang
aneh, dan tanpa klimaks. Kejadian lima hari yang ajaib yang disebabkan oleh
seorang wanita. Sedangkan ‘Semangkuk acar untuk Cinta dan Tuhan’ berkisah
tentang sebuah wawancara singkat pada seseorang yang bisa dikatakan seorang
yang tenar dan sering berbicara tentang cinta. Disini hanya diungkapkan
bagaimana cinta dan Tuhan itu bukan sebuah konsep teori yang diceritakan
panjang lebar namun sebuah pengalaman spiritual masing-masing individu. Dalam
cerita si wartawan menannyakan dua hal yaitu ‘apa itu cinta?’ dan ‘apa itu
Tuhan?’, pertanyaan-pertanyaan yang melibatkan perasaan, sisi sensitif dari
wanita. Seperti itu juga puisi ‘Wajah Telaga’ dan ‘Barangkali Cinta’ dimana
sama-sama mengungkapkan perenungan tentang cinta dari sisi lembut, sisi
perempuan seorang Dee.
Dalam
puisi ‘33’ Dee menghadirkan angka unik yang penuh dengan filosofi namun tidak
setenar angka 11, 13, maupun 17. Angka 33 disini adalah hadiah darinya, seorang
istri untuk suaminya (Reza Gunawan) dan untuk dirinya sendiri karena mereka
mendapatkan umur 33 tahun secara bersamaan mengingat keduanya lahir pada
Januari 1976 (Dee pada tanggal 20 dan Reza pada tanggal 21). ‘Menunggu
Layang-layang’ memanfaatkan daya tarik seorang tokoh wanita bernama Starla yang
mampu membuat seseorang selama bertahun-tahun mencintainya dalam diam dan
menerima apapun hal yang ia lakukan meski terkadang menyakiti diri
sendiri. Dan ‘guruji’ bercerita dengan
latar spiritual, latar belakang Dee yang gemar meditasi dan olah sukma. Tokoh
wanita bernama Ari disini juga dihadirkan menjadi perempuan yang tidak biasa.
Ia yang nekat karena ‘kehilangan’ sahabatnya. Demi mendapatkan sahabatnya yang
sudah menjadi guru spiritual ia rela melakukan apapun termasuk mengacaukan
kelas Guruji, mantan sahabatnya.
Dalam
kumpulan cerita ini Dee menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak biasa.
Banyak refleksi dari dirinya sendiri yang dimunculkan dalam fiksi maupun puisi.
Dan konsistensi Dee dalam kumcer yang diberi judul ‘Madre’ ini terbukti karena
dari 13 judul yang ada semua mengandung sisi feminitasnya. Konsep feminis
terbukti tak akan jauh dari penulis wanita. Seorang wanita menulis merupakan
aksi feminis dimana wanita juga bisa mendapatkan hak yang sama denagn pria.
Maka dari itu dalam tulisannya pun meski menggunakan tokoh laki-laki, sisi
feminine itu akan selalu muncul.
***
Daftar
Pustaka
Dee. 2011. Madre. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko.
2002. Kritik Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gama Media.
Mardhotillah, Ayu
Ammaliyah. 2012. Teori Sastra-Prosa
(Bagian I). http://aamaliyahm.blogspot.com/
[diakses tanggal 28 Desember 2012 pukul 15.35]
Purkonudin, Ukon. 2011. Kritik Sastra Feminis, Reading as Women. http://ukonpurkonudin.blogspot.com
[diakses tanggal 28 Desember 2012 pukul 15.35]